18 Desember 2012

Cerpen: Siapa Mau Percaya

Jangan terkejut kalau aku bercerita tentang kisah berikut ini. Mungkin kamu tak akan percaya. Kamu akan mengatakan hal itu hanya omong kosong dan bualan saja. Tak mungkin terjadi! Cuma rekayasa, sandiwara, fiktif, tidak rasional, tidak realistis, dan banyak lagi komentar yang akan bermunculan. Tapi intinya satu; tak ada yang mempercayainya!

Begitulah tanggapan orang-orang saat aku menceritakan kisah ini. Walau demikian aku tak akan pernah berhenti untuk bercerita, terutama kepada mereka yang belum pernah mendengarnya. Meski pada akhirnya; tak ada yang mau mempercayai ceritaku. Hal itu tak akan membuatku kecewa dan sedih. Bagiku, bisa menceritakan semua ini sudah cukup melegakan, setidaknya membuatku tidak memikul beban rasa bersalah sepanjang hidup.

Pertama, aku ingin menceritakan tentang jati diriku. Terlahir sebagai anak petani yang miskin, aku hanya bisa mengecap pendidikan hingga sekolah dasar. Ketika usiaku menginjak limabelas tahun, seorang kerabat membawaku pergi ke kota. Mulanya aku diajak bekerja di proyek bangunan, tapi karena tak betah berjemur terik matahari dan tak kuat bekerja berat, aku memilih berhenti.

Seorang teman lalu menawari aku bekerja di rumah keluarga kaya sebagai pembantu. Gajinya kecil. Tapi makan dan tidur di dalam. Aku menerimanya. Rumah keluarga kaya itu benar-benar besar dan mewah, dikelilingi pagar tembok setinggi empat meter. Mirip kraton. Suasana di dalam rumah sangat sejuk. Semua perabotan tertata rapi dan bersih.

Keluarga kaya itu terdiri dari sepasang suami istri dengan dua anak yang sudah besar. Mereka sangat sibuk sekali. Hampir tiap hari sang suami pergi ke kantor dari jam delapan pagi hingga delapan malam, terkadang beberapa hari tidak pulang. Sementara istrinya juga kerap pergi keluar, entah itu arisan, shoping, menghadiri undangan, dan lain-lain. Kedua anaknya apalagi. Status sebagai pelajar dan mahasiswa hanya sebagai gengsi saja, karena mereka lebih sering pergi ke diskotik atau tempat hiburan dari pada ke sekolah. Waktu mereka lebih banyak tersita untuk pesta dan hura-hura.

Kupikir orang yang berpendidikan, kaya, dan terpandang seperti mereka berperilaku santun dan beradab seperti bayanganku tentang sosok priyayi atau bangsawan. Ternyata semua itu keliru. Aku sangat kaget ketika mendengar mereka berbicara dengan bahasa preman jalanan saat memerintah, marah, kesal, atau sedang bertengkar. Kata umpatan seperti; bajingan, anjing, bangsat, bego, tai, lonte, brengsek, perek, jahanam, celeng, dan lainnya kerap terlontar.

Meski aku hanya orang udik dan tak berpendidikan, tapi orangtuaku selalu mengajari berbicara dan berperilaku sopan santun kepada orang lain, apalagi kepada orang yang lebih tua. Sungguh, aku hampir-hampir tak percaya. Padahal mereka termasuk keluarga public figure. Aku tahu hal ini, karena saat nonton televisi aku pernah melihat tampang tuan dan nyonya menghiasi layar kaca. Aku sampai bersorak gembira.

“Lihat, mbok. Itu kan wajah tuan dan nyonya. Kok bisa ya, masuk tivi?” ujarku pada Mbok Inah, pembantu yang sudah lama mengabdi di rumah itu.

“Dasar, ndeso! Katrok! Apa kamu tidak tahu, bapak dan ibu itu orang penting. Mereka orang terpandang, sering diwawancara sama tivi!” tukasnya.

Aku manggut-manggut. Aku agak bingung dengan istilah orang terpandang dan penting. Aku juga bingung dengan pembawaan majikanku yang amat kontras saat tampil di televisi dan di rumah. Di layar kaca mereka terlihat berwibawa, anggun, santun, ramah, dan familier. Ini sangat bertolak belakang dengan pembawaan mereka di rumah. Bahkan dalam hal berperilaku.

Di layar kaca atau di muka umum mereka fasih bicara tentang iman, cinta kasih, kejujuran, transparansi, demokrasi, dan idiom bijak lainnya. Seakan mereka sosok dai atau rohaniawan. Siapa pun pasti terkesan dan terpukau pada mereka. Tapi di mataku, mereka tak ubahnya pemain sinetron, pemain sandiwara. Mereka pandai menyembunyikan watak aslinya. Betapa muak dan menjijikkan tingkah mereka.

Dengarlah. Suatu hari, ketika tuan dan anak-anaknya tidak ada di rumah, nyonya majikan membawa pulang seorang pemuda ganteng. Mereka tampak bergandengan mesra memasuki kamar. Nyonya majikan memanggilku dan meminta dibuatkan minuman. Saat minuman kuantar ke kamarnya, mataku terbelalak. Saat itu pintu tak terkunci dan kulihat nyonya majikan sedang bercinta dengan pemuda itu. Aku hendak berlalu pergi, tapi nyonya majikan memanggilku dan menyuruh masuk.

Aku jadi kikuk dan jengah melihat sepasang manusia berperilaku seperti binatang. Mereka malah tertawa terkikik melihatku tersipu malu. Nyonya majikan menyerahkan sebuah handycam dan memintaku merekam adegan mesum mereka. Aku sudah menolak, tapi nyonya majikan marah-marah dan mengancam akan menembakku. Akhirnya, kuturuti permintaannya. Badanku panas dingin dan jiwaku terguncang hebat melakukan semua ini.

Tapi yang lebih edan lagi perilaku kedua anak majikan. Si sulung yang sudah mahasiswa itu pernah mengajak teman-temannya party di kamarnya. Mereka menghisap shabu-shabu. Aku dipaksa ikut nyabu. Aku tak berdaya. Saat aku teler, mereka mempreteli pakaianku hingga telanjang. Kedua tanganku diikat dan diletakkan di dinding. Mereka ramai-ramai memotret dan merekam gambarku dalam video ponsel. Betapa malunya aku!

Sementara anak bungsu majikan yang masih gadis dan duduk di bangku SMA tampaknya memiliki penyimpangan. Dia sering menyuruhku pergi menyewa DVD porno. Dia menyetelnya sendirian di dalam kamar. Bisa seharian dia tidak keluar kamar. Dia juga pernah menyuruhku membeli alat-alat pemuas libido di sexshop. Aku jadi malu saat berhadapan dengan pelayan toko. Dia menatapku dengan pandangan mata aneh.

“Enggak salah beli yang ini, Mas?” celetuknya seolah meragukan identitasku.

“Bukan. Itu pesanan teman… perempuan,” jawabku gugup.

“Oo…!”

Begitulah. Di rumah itu selain sebagai jongos dan gedibal, aku sering diperlakukan seperti binatang. Aku sebenarnya tak betah dan ingin keluar dari rumah itu, tapi majikanku menolak. Mereka tampaknya membutuhkan pembantu polos, lugu, dan penakut seperti aku. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempertahankan aku. Dilimpahinya aku dengan uang dan fasilitas. Tapi apalah artinya semua itu bila hidupku tersiksa dan terpenjara?

Kebobrokan orang-orang di rumah itu memang sudah demikian parah dan keterluan. Tingkah laku mereka amat menjijikkan. Aku selalu disuguhi tontonan maksiat. Majikan laki-laki yang semestinya menjadi imam dalam keluarga dan memimbing ke jalan lurus malah jadi contoh yang tidak baik. Aku sendiri bingung menilai kepribadiannya. Ketika di luar dia tampak sebagai sosok berwibawa, santun, halus, dermawan, dan rendah hati.

Tapi hal itu ternyata cuma sebagai topeng. Pernah aku diajak majikan laki-laki pergi ke suatu tempat. Tepatnya di sebuah villa yang sepi dan berada di kawasan pegunungan. Di sana sudah menunggu dua orang gadis muda cantik-cantik. Kupikir, dia akan berperilaku binatang seperti istrinya. Tapi apa yang terjadi…? Dia malah menyuruh aku bercinta dengan dua PSK murahan itu. Jika menolak, aku akan didor dengan pistolnya.

Begitulah. Sambil menahan kepedihan aku menuruti keinginannya. Aku dicekoki obat pembangkit libido. Kedua perempuan itu pun seperti macan betina yang kelaparan, mencabik-cabik tubuhku. Sementara tuanku dengan santai duduk di kursi menonton pertunjukan gila itu. Dia pun tertawa terkekeh-kekeh. Dia seperti tak tergerak untuk menggantikan kedudukanku. Kini, tahulah aku kenapa istrinya sering membawa laki-laki muda ke rumah. Karena suaminya impoten!

Benar-benar keluarga sinting! Semua orang di rumah itu sudah edan. Tuan sableng, nyonya gendheng, dan anak-anaknya gelo!

Tak ingin terus menerus tenggelam dalam lautan maksiat, diam-diam aku pergi dari rumah itu. Aku lari sejauh-jauhnya. Kepada semua orang kuceritakan apa yang terjadi di rumah besar dan mewah itu. Tapi tak ada seorang pun yang percaya. Mereka menuduhku membual, bicara ngawur, omong kosong, dan bahkan menuduhku menyebar fitnah. Bagaimana mungkin orang yang alim, dermawan, dan santun seperti dia bisa berperilaku seperti itu? begitu kata mereka.

Begitulah. Tak ada yang percaya pada ceritaku. Apalagi penampilanku berantakan, baju compang-camping, rambut awut-awutan, dekil, dan berjalan kesana kemari tak tentu tujuan. Kenapa aku berperilaku seperti ini? Karena aku ingin menyamarkan penampilanku. Sejak pergi dari rumah itu, orang-orang suruhan bekas majikan memburuku. Mereka berniat melenyapkanku, karena aku dianggap membahayakan kedudukan mereka. Hal ini kuketahui dari percakapan mereka tanpa sengaja di sebuah warung. Aku jadi tak berani kembali ke rumah orang tuaku di desa. Aku hidup menggelandang di jalan.

Suatu hari, aku melihat sebuah baliho besar terpampang melintang di tengah jalan besar. Di sana terpampang wajah bekas majikanku yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah. Aku tersentak. Nuraniku tergugah. Aku terpantik ingin membuka mata publik agar tidak memilih dia sebagai pemimpin di kota ini. Tapi apa lacur, cerita yang kubeberkan pada orang-orang malah dianggap sebagai bualan, omong kosong, ngawur, rekayasa, irasional, dan macam-macam lagi. Intinya; tidak ada yang percaya.

Jadi, siapa yang mau percaya pada orang kecil sepertiku…? *

Tidak ada komentar: