Cerpen

Berikut ini adalah susunan cerpen-cerpen yang bisa kamu baca. Semoga bisa menambah wawasan dan memberi pencerahan.

Istri Suamiku
Cerpen ini dimuat di Majalah Diffa
Edisi No. 11 - November 2011

Perempuan yang duduk di hadapanku masih cukup muda. Umurnya sekira duapuluh lima tahun. Berpakaian sederhana dan memakai make up sederhana pula. Rambutnya yang lurus panjang diikat ke belakang. Meski penampilannya sangat sederhana terpancar keayuan dan kelembutan. Tutur katanya pun halus dan sopan, sehingga tak terkesan dia perempuan jalang.

Selengkapnya baca di sini


Jayadrata
Cerpen ini dimuat di Tribun Jabar
Edisi Minggu, 1 Mei 2011

Kegelisahan berkecamuk dalam dada Jayadrata. Seribu benteng hidup ksatria Kurawa tak juga mampu meredam resah hatinya. Matanya nanar memandang wajah matahari di atas sana yang timbul tenggelam dipermainkan gelombang awan hitam. Dia berharap siang cepat berlalu dan malam pun menjelang agar hidupnya bebas dari ancaman.

Selengkapnya baca di sini


Petruk Jadi Penguasa
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat
Edisi Minggu, 10 April 2011

Kekuasaan ternyata enak dan menyenangkan. Itulah yang terbetik dalam benak Petruk saat berhasil menaklukkan kerajaan Loji Tengaran dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Prabu Welgeduwelbeh. Semua itu terjadi setelah dirinya menggunakan pusaka Kalimasada milik Yudhistira. Tidak ada orang yang sanggup mengalahkannya. Semua orang pintar dan sakti berhasil ditaklukkan!

Selengkapnya baca di sini


Kenaifan Yudhistira
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat
Edisi Minggu, 2 January 2011

Kegelisahan membayang di wajah Yudhistira. Berkali-kali ia menarik nafas dalam, seakan hendak menghilangkan beban yang menghimpit dadanya. Namun beban itu tak jua lenyap, bahkan kian menumpuk dan bertambah.

“Bagaimana, Kakang. Apakah kita akan meneruskan permainan ini?” cetus Arjuna membuyarkan lamunan Yudhistira.

Selengkapnya baca di sini


Bathari Durga
Cerpen ini dimuat di Seputar Indonesia
Edisi Minggu, 12 Desember 2010

Sebagai penguasa tribuwana, Bathara Guru memang sangat sempurna. Gagah, berwibawa, dan sakti mandraguna. Semua dewa tunduk padanya. Para dewi kahyangan pun berkeinginan menjadi permaisurinya, tak terkecuali Dewi Pramuni. Perempuan berparas ayu, kuning langsat, dan elok rupawan itu memiliki hasrat besar menjadi istri penguasa kaum dewa.

Selengkapnya baca di sini


Rawa Rontek
Cerpen ini dimuat di Seputar Indonesia
Edisi Minggu, 7 November 2010

Kabar hilangnya Mbah Parijan menggegerkan kampung kecil itu. Laki-laki yang sudah tua dan sakit-sakitan itu terakhir kali diketahui oleh keluarganya masih berada di kamarnya pada pagi tadi. Saat semua orang sibuk bekerja di sawah, Mbah Parijan sendirian di rumah. Ketika mbah Semi, istrinya, pulang dari sawah dan tidak mendapati suaminya berada di kamar, spontan perempuan itu jadi panik. Seluruh anggota keluarga dan para tetangga dikerahkan untuk mencarinya.

Selengkapnya baca di sini


Wisanggeni
Cerpen ini dimuat di Tribun Jabar
Edisi Minggu, 31 Oktober 2010

Demi memenuhi ambisi putranya, Dewasrani, yang menginginkan Dewi Dresanala, Bathari Durga meminta Bathara Guru, suaminya, untuk menceraikan Arjuna dan Dresanala. Sebagai raja Kahyangan Bathara Guru meminta Bathara Brahma untuk memisahkan Dresanala dan Arjuna.

Selengkapnya baca di sini


Sesal
Cerpen ini dimuat di Solopos
Edisi Minggu, 23 Mei 2010

Kedatangan Bayu dengan membawa seorang gadis yang diakui sebagai kekasih dan calon istri membuat wajah Bu Rahma muram. Padahal gadis itu berwajah cantik, putih, langsing, dan modis. Penampilannya mirip artis. Dia juga seorang wanita karir. Dia bekerja di sebuah perusahaan bonafide.

Selengkapnya baca di sini


Ladang Jagung
Cerpen ini dimuat di Seputar Indonesia
Edisi Minggu, 23 Mei 2010

Selimut senja menghampar dari ujung utara hingga selatan desa.Semburat lembayung bagai selendang bidadari memayungi langit kelam.Suara kepak sayap kelelawar keluar dari sarang memecah keheningan

Selengkapnya baca di sini


Karma Dorna
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat
Edisi Minggu, 2 Mei 2010

Meski terlahir sebagai keturunan brahmana, namun kehidupanku jauh dari kemapanan. Aku harus melalui masa-masa yang sulit karena kungkungan kemiskinan. Namun di balik kesulitan hidup aku sempat mengecap manisnya kehidupan masa kanak-kanak. Saat berguru di sebuah padepokan, aku berteman akrab dengan Drupada, pangeran dari negeri Pancala. Kami saling berbagi dalam suka maupun duka.

Selengkapnya baca di sini


Misteri Hutan
Cerpen ini dimuat di Harian Seputar Indonesia
Edisi Minggu, 11 April 2010

Pagi selalu datang bersama kabut di dusun terpencil pinggiran hutan itu. Seperti lembaran sutera berlapis-lapis, menghalangi mata dari pemandangan sekitar. Udara pun terasa dingin menusuk tulang. Menjelang siang, saat matahari menampakkan sinarnya yang keemasan dari balik bukit cadas, tampaklah wajah dusun dengan lekuk liku jalannya yang belum diaspal, deretan rumah, ladang, dan liuk sungai bagai badan ular memanjang.

Selengkapnya baca di sini


Wayang
Cerpen ini dimuat di Tribun Jabar
Edisi Minggu, 13 Desember 2009

- Dalang -
Kedengarannya enak menjadi dalang. Berkuasa atas semua wayang yang kita mainkan. Dalang tak ubahnya director, sutradara, punya kuasa untuk mengatur dan memerintah. Tapi jangan salah. Selama puluhan tahun aku menjadi dalang, aku seperti terpenjara dalam dunia asing. Aku memang bisa memainkan wayang, tapi tak bisa merubah takdir mereka.

Selengkapnya baca di sini


Durgandini
Cerpen ini dimuat di Seputar Indonesia
Edisi, Minggu, 22 November 2009

Orang-orang memanggilku Durgandini, perempuan berbau amis. Sebutan yang amat merendahkan dan melecehkan sekali. Tapi itulah kenyataan yang terjadi pada diriku. Sejak lahir aku sudah menanggung aib ini. Meski sebenarnya aku anak seorang raja, tapi nasibku tak seindah para putri kraton. Bahkan ayahandaku, Prabu Basuparisara, tak mau menerimaku tinggal di istana. Karena bau amis yang menguar dari tubuhku mengganggu orang-orang sekitar.

Selengkapnya baca di sini


Anggodo
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat
Edisi Minggu, 15 November 2009

“Sudahlah! Aku tak ingin mendengar banyak alasan. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana membebaskan istriku secepatnya. Aku tak mau dia terus disekap oleh Rahwana. Sudah cukup lama dia berada dalam tawanan raja yang doyan perempuan itu. Aku khawatir kalau Shinta sudah diapa-apain. Tolong, kalian berikan solusi yang lebih konkret lagi!” tukas Ramawijaya seraya menatap para senopatinya satu.

Selengkapnya baca di sini

Obyekan
Cerpen ini dimuat di Solopos
Edisi Minggu, 11 Oktober 2009

“Sampeyan sudah sepuluh tahun kerja di pabrik, masak gajinya masih segitu saja. Lihat itu Mas Supri, baru tiga tahun kerja di pabrik sudah bisa beli tivi, motor, dan kulkas!” ucap istriku pagi itu tiba-tiba ngomongin soal Supri, tetangga dekat kami.
Belakangan ini Yatmi memang kerap menyinggung soal penghasilanku sebagai buruh pabrik yang sangat kecil. Yatmi iri melihat kehidupan tetangga kami yang lebih sejahtera.

Selengkapnya baca di sini

Nyanyian Nina Bobo
Cerpen ini dimuat di Solopos
Edisi Minggu, 9 Oktober 2005

Terik matahari menyengat, seakan ingin membakar kulit bumi. Beberapa orang tampak berteduh, sambil mengipas-kipas dadanya. Merasakan gerah. Di sudut trotoar tampak seorang perempuan paro baya menunggu barang dagangannya dengan setia. Wajahnya tampak letih, berkeringat. Sesekali ia menyeka butir keringat di keningnya.

Selengkapnya baca di sini


Ucapan
Cerpen ini dimuat di Solopos
Edisi Minggu, 25 Juli 2004

Kata orang istriku punya lidah ampuh. Setiap ucapan atau sumpahnya akan terjadi. Seperti Midas yang punya tangan sakti, apa pun yang disentuhnya akan berubah emas. Begitulah yang dialami Ratna. Aku sendiri baru tahu hal itu belum lama setelah menikahinya. Tadinya aku tak begitu percaya. Ratna bukan seorang paranormal atau keturunan wali. Mana mungkin dia punya kesaktian macam itu. Dia gadis modern dan berpendidikan yang tak kenal mistik dan takhayul.

Selengkapnya baca di sini


Kampung Pinggiran
Cerpen ini dimuat Solopos
Edisi Minggu, 19 Juli 2009

Dulu, kampung tempat tinggal kami ini masih terasa lapang. Sejauh mata memandang hamparan hijau membentang. Anak-anak pun bebas berlarian menyusur tanah lapang, bermain bola atau menguluk layangan. Berenang di sungai yang jernih airnya. Rumah warga antara satu dan lainnya berjarak rata-rata duapuluh meter, dengan halaman pekarangan yang luas ditumbuhi aneka tanaman bunga dan apotek hidup.

Selengkapnya baca di sini


Bisma
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat
Edisi Minggu, 12 Juli 2009

Sebatang anak panah menancap di dada Bisma, tepat pada jantungnya. Darah mengalir deras. Semula ia mengira anak panah itu berasal dari busur Arjuna, tapi ternyata bukan. Sosok mirip Arjuna itu berdiri gagah di hadapannya. Wajahnya terlihat dingin dan kaku. Namun dari sorot matanya memancar geletar perasaan dalam. Perasaan seorang perempuan yang memendam rindu dendam. Bisma terpana.

Selengkapnya baca di sini


Mantan Pejabat
Cerpen ini dimuat Di Solopos
Edisi Minggu, 31 Oktober 2004

Setelah tidak lagi menjadi pejabat kini sikap dan perilaku Ratno banyak berubah. Bila biasanya ia suka memakai stelan jas rapi dengan dasi atau paling tidak mengenakan baju safari, tapi sekarang lebih suka pakai baju batik biasa. Bahkan kadang cuma kaos oblong dengan sarung.

Selengkapnya baca di sini

Azimat Hidup
Cerpen ini dimuat di Majalah Al-Kisah
Edisi No.07/29 Maret – 11 April 2004

Cita-cita Bondan untuk menjadi orang sakti mandraguna tampaknya telah tercapai. Kini ia dikenal memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Tubuhnya tak mempan senjata tajam. Dia mampu membengkokkan batang besi baja dan mematahkan dengan jari tangannya. Dia juga mampu menghilang dan memindahkan benda dari tempatnya tanpa memegangnya. Terus terang aku sangat kagum dengan kemampuannya itu.

Selengkapnya baca di sini


Bunuh Diri
Cerpen ini dimuat di Solopos
Edisi Minggu, 19 Maret 2006

Seutas tali di sudut kamar membuatku terbujuk untuk melakukan tindakan nekad. Bunuh diri. Ya, mungkin itu satu-satunya jalan yang bisa membebaskanku dari segala beban yang merongrong jiwaku. Kubayangkan, bagaimana kematian datang menjemputku. Mungkin akan terasa amat sakit, seperti dirajam tujuhpuluhribu pedang. Namun kupikir hanya sekejap.

Selengkapnya baca di sini

Kentongan
Cerpen ini dimuat di Solopos
Edisi Minggu, 17 Mei 2009

Malam merambat bagai ular yang malas mencari makan. Keheningan begitu sempurna melukis dirinya di kampung kecil ini. Padahal langkah waktu baru berpijak di angka sembilan. Aku seperti berada di sebuah lorong gelap saat berada di ujung jalan kecil ini. Mencangkung sendirian di pos ronda. Di sepanjang pinggir jalan depan rumah warga tampak kerlip lampu menyala redup, seperti parade kunang-kunang.

Selengkapnya baca di sini


Calo
Cerpen ini dimuat di Solopos
Edisi Minggu, 28 November 2004

Orang menyebutnya calo, makelar, mediator, atau apa saja yang berarti sebagai penghubung. Dan itulah pekerjaan Karman. Laki-laki empatpuluhan tahun itu sangat piawai dalam hal mengurus segala urusan. Banyak orang datang kepadanya untuk mengurus keperluan mereka. Entah itu KTP, SIM, sertifikat, akta lahir, bahkan sampai surat kematian.

Selengkapnya baca di sini

Lubang-lubang Menganga
Cerpen ini dimuat di Solopos
Edisi Minggu, 8 Maret 2009

Lubang-lubang menganga di sepanjang sungai yang oleh warga setempat disebut sungai Luh, yang artinya air mata. Konon, riwayat sungai itu penuh dengan air mata. Pada masa penjajahan dulu, banyak pejuang mati ditembak dan mayatnya dibuang di sungai itu. Saat terjadi pembersihan PKI di tahun 60-anlebih mengerikan lagi, tubuh-tubuh dihanyutkan di sungai tanpa kepala!

Selengkapnya baca di sini

Andai Aku Bisa Sepertimu
Cerpen ini dimuat di Dumalana.com

Kamu memang perempuan yang sempurna. Cantik, anggun, pintar, keibuan, populer, kaya, dan mapan. Kamu juga pintar merawat keluarga. Sungguh, kamu benar-benar perempuan sempurna. Semua kelebihanmu itu membuat aku merasa amat cemburu dan tak berharga di hadapanmu. Andai aku bisa sepertimu...?

Selengkapnya baca di sini


Bukan Orang Miskin
Cerpen ini dimuat di Solopos
Edisi Minggu, 14 Desember 2008

Parno tidak pernah merasa dirinya miskin. Meski diakui kehidupannya terbilang paling sederhana di kampung itu. Rumah masih berupa gubuk; berdinding papan, beratap genteng yang sudah kusam, dan berlantai tanah. Perabotan paling mewah yang dimilikinya hanya satu set meja kursi dari rotan pemberian almarhum bapaknya. Dan sebuah radio transistor lama; sekedar untuk mendengarkan klenengan kesukaannya, atau siaran wayang kulit semalam suntuk.

Selengkapnya baca di sini

Menghapus Dendam Masa Lalu
Cerpen ini meraih Juara Harapan 4 Lomba Cerpen INTI Jakarta
Edisi Mei 2008

Aku sudah berdiri di depan rumah sesuai alamat yang tertera di sampul surat yang kubawa. Rumah model lama yang tampak suram dan kelabu. Sempat ada keraguan menahan tanganku yang hendak mengetuk pintu. Bagaimana tanggapan si pemilik rumah setelah menerima surat ini. Marahkah? Senang? Atau sedih…?

Selengkapnya baca di sini

Penyambung Hati
Cerpen ini dimuat di Majalah Kartini
Edisi 30 Oktober 2008

Tiga hari ini Nina tidak pulang. Batinku sebagai ibu dilanda kecemasan luar biasa. Mungkin ini puncak kemarahan gadis yang sudah duduk di bangku kelas XI SMA itu, karena selama ini aku jarang memperhatikannya. Kesibukan pekerjaan telah banyak menyita waktuku. Aku tak sempat melihat perkembangan putri semata wayangku. Dia lebih banyak berada dalam pengasuhan Bik Tini, pembantu yang kubayar mengurus Nina. Sejak perceraianku dengan Dani lima tahun lalu, aku berusaha menjadi single parent yang baik.

Selengkapnya baca di sini


Wisrawa
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat,
Edisi Minggu, 9 Maret 2008

Dewi Sukesi duduk di hadapannya dengan pandangan mata penuh harap. Wajahnya memancarkan aura kecantikan yang begitu indah, sehingga rembulan di luar pun terasa redup. Untuk beberapa saat Wisrawa, laki-laki setengah baya yang bergelar begawan itu, tertunduk. Bukan karena tak sanggup memenuhi permintaan gadis cantik di hadapannya, namun hatinya tak kuasa menahan getaran asmara yang timbul.

Selengkapnya baca di sini


Cermin Retak
Cerpen ini dimuat di Koran Merapi
Edisi Minggu, 11 Januari 2009


Di kampung kami ada aturan tak tertulis yang berbunyi; siapa saja warga yang ketahuan selingkuh apalagi sampai berzinah, maka hukumannya membayar denda yang besarnya sudah ditentukan. Denda itu bisa berupa membayar uang atau barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Seperti membangun jalan, jembatan, masjid, atau sarana umum lainnya.

Selengkapnya baca di sini

Drupadi
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat
Edisi Minggu, 1 Februari 2009

Drupadi terhenyak mendengar keterangan suami dan keempat saudaranya. Dia seakan tak percaya tubuhnya telah menjadi barang taruhan di meja judi. Entah, setan apa yang telah merasuki jiwa Yudistira sehingga tega mengorbankan istrinya di meja perjudian. Sebagai wujud egoisme dan arogansi laki-laki? Dia merasa berhak menggadaikan apa yang menjadi hartanya, termasuk istri?

Selengkapnya baca di sini

Tidak ada komentar: