Skenario/Drama

Naskah Skenario ini terpilih sebagai 10 nominasi naskah terbaik LOMBA PENULISAN CERITA FILM 2011 dengan tema: Anak-anak dan Kepahlawanan, Kementrian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif RI


JUDUL : AMIN INGIN BERTEMU PAK MENTERI
OLEH : EKO HARTONO
GENRE : DRAMA
TEMA : ANAK/SOSIAL/KEPAHLAWANAN
DURASI : 90 MENIT
SETTING : JAKARTA

Sinopsis :

Amin (anak laki-laki, 12 tahun), duduk di bangku kelas 6 SD, hidup berdua dengan ibunya di rumah petak kecil di pemukiman padat Jakarta. Ibunya buruh cuci. Ayahnya mendekam di penjara, bukan karena perkara kriminal tapi gara-gara ikut demo bayaran. Ayahnya pernah di-PHK oleh majikannya. Karena sudah cukup lama menganggur dia pun mau saja ikut demo-demo bayaran demi sesuap nasi. Kehidupan keluarga Amin memang sangat miskin.

Suatu hari terdengar kabar kampung tempat tinggal Amin akan digusur. Karena kampung itu banyak dihuni penghuni ilegal dan tidak sesuai tata kota. Kelak di tanah itu akan dibangun mal dan perkantoran. Amin pun jadi resah. Dia tidak mau pindah dari kampungnya. Dia berpikiran, kalau digusur mau pindah ke mana mereka? Jumlah uang ganti rugi yang sedikit tak bisa untuk beli rumah baru. Bagaimana pula dengan pekerjaan ibunya? Amin juga tak ingin berpisah dengan teman-temannya. Dia memiliki ikatan emosional dengan kampung itu. Karena di kampung itu ia dilahirkan dan dibesarkan.

Dasar Amin anak pemberani, dia ingin protes atas kebijakan ini. Sayang, upayanya ini banyak mendapat tentangan dari berbagai pihak, tidak hanya dari pejabat RT dan kelurahan setempat tapi juga warga lainnya. Sebagian warga memang pasrah dengan kebijakan penggusuran, karena mereka mendapat ancaman dan intimidasi dari kaki tangan perusahaan pengembang yang menguasai kawasan itu. Beberapa orang oportunis juga memanfaatkan keadaan ini dengan menipu beberapa warga yang sudah lama tinggal di tempat itu dan tidak punya sertifikat dengan cara mengalihkan kepemilikan tanah.

Amin mendapat ide dari temannya, kalau mau protes kenapa tidak langsung ke pejabat yang lebih tinggi dan lebih berkuasa. Tadinya Amin berkeinginan menemui Presiden, tapi karena presiden pasti sangat sibuk dan sudah punya pembantu para menteri yang mengurusi segala urusan pemerintahan, akhirnya Amin berkeinginan menemui Menteri yang mengurusi masalah pemukiman dan kependudukan.

Sebenarnya rumah Pak Menteri dan kantornya tak jauh dari kampung Amin. Tapi di sinilah ironi terjadi. Untuk menemui seorang penguasa (Menteri) saja susahnya bukan main. Berbagai kendala dan rintangan dihadapi Amin. Bagaimana dia harus menghadapi protokoler dan jalur birokrasi yang ruwet/bertele-tele. Dia juga harus berhadapan dengan petugas security. Pendeknya, urusan ketemu Pak Menteri saja membutuhkan perjuangan tidak ringan. Seperti ada gap atau tembok besar yang menghalangi antara pemimpin dan rakyatnya.

Perjuangan Amin yang ingin bertemu Pak Menteri ini penuh liku, hambatan, dan suka duka. Pernah Amin menulis surat yang ditujukan pada Pak Menteri. Karena rumah Pak Menteri cuma dekat dengan kampungnya, dia berniat memasukkan ke kotak surat yang ada di depan rumah Pak Menteri. Tapi baru saja ia sampai di pintu gerbang ditegur oleh Satpam. Amin ditanyai macam-macam. Dia bahkan dituduh anggota teroris. Amin berterus terang kalau ingin menyampaikan surat kepada Pak Menteri. Bukannya menerima surat dari Amin, Satpam malah menyuruh Amin pergi ke kantor pos untuk mengeposkan surat itu. Terpaksa Amin harus mengumpulkan uang lebih dulu agar bisa membeli prangko.

Usaha Amin ingin bertemu Pak Menteri memang tidak mudah. Meski dia sudah menulis surat tapi ditunggu lama tak ada balasan. Beberapa teman mencemooh dan mengejeknya karena terlalu tinggi harapan ingin bertemu Pak Menteri. Para tetangga juga ada yang sinis dan menganggap Amin anak gila. Ibu Amin sampai risih dan malu mendengar gunjingan mereka. Beliau lalu menasehati Amin agar menghentikan niatnya bertemu Pak Menteri. Lebih baik mereka pasrah menerima kenyataan. Wanita itu tak ingin anaknya kenapa-kenapa. Amin sedih juga melihat ibunya yang ikut menanggung malu akibat ulahnya. Tapi dalam hati Amin tetap bertekad akan meneruskan perjuangannya. Hanya saja di hadapan ibunya Amin pura-pura menurut.

Dari sekian banyak warga kampung itu, hanya ada satu orang yang bersimpati dan memahami keinginan Amin, yakni Danang (23 tahun) seorang sopir angkot. Danang pemuda yang lugu, agak pendiam, dan jujur. Dia mau membantu Amin, tapi karena sama-sama orang tidak punya jadi tetap saja menemui banyak kesulitan dan hambatan. Pernah Amin duduk menunggu di dekat pintu gerbang rumah Pak Menteri, bermaksud mencegat mobil Pak Menteri. Ketika mobil itu muncul Amin berteriak-teriak memanggil Pak Menteri, tapi karena jendela kaca tertutup rapat dan mobil melaju kencang jadi Pak Menteri tidak bisa mendengarnya. Tidak kurang akal, Amin mengajak Danang mengejar mobil Pak Menteri dengan angkotnya. Tapi bukan malah berhasil, mobil angkot Danang malah kena tilang polisi.

Meski ikut menanggung susah atas perjuangan Amin, namun Danang ikhlas membantu Amin. Dia menyayangi Amin seperti adiknya sendiri. Dia merantau ke Jakarta menjadi sopir angkot juga demi membiayai sekolah adik-adiknya di kampung halaman. Danang orangnya agak minderan. Makanya ketika dia disukai oleh Prita, gadis anak orang kaya dan kuliahan, dia jadi tidak percaya diri. Apalagi perbedaan status sosial dan pendidikan diantara mereka sangat besar. Danang berusaha menghindari Prita. Sementara Prita sendiri tak berhenti mengejar Danang. Dia mencintai pemuda miskin dan sederhana itu karena ada kelebihan dalam dirinya.

Awal perkenalan Prita dan Danang terjadi ketika Prita jadi penumpang angkot. Tas Prita dirampas oleh pencopet. Danang membantu mengejar pencopet itu. Dia berhasil mengejar pencopet itu dan mengambil tas Prita. Prita jadi terkesan pada kepribadian Danang yang baik dan suka membantu sesama. Danang berbeda dengan para pemuda kota umumnya yang cuek dan tak peka pada kondisi sosial di sekitarnya. Keduanya lalu jadi akrab. Secara kebetulan Prita sedang menulis skripsi tentang kehidupan para perantau khususnya sopir angkot. Dia pun meminta bantuan Danang untuk menyebar kuisioner.

Hampir saja Amin dan Danang putus asa karena tak jua berhasil menemui Pak Menteri, sementara waktu penggusuran telah mendekat. Semua warga sudah diultimatum meninggalkan kampungnya. Amin dan Danang hanya bisa pasrah. Mereka hanya bisa berdoa pada Tuhan ada keajaiban terjadi. Dan keajaiban itu datang dari Prita. Gadis itu datang menemui Danang. Kali ini Danang tak bisa menghindar, karena Amin ikut menahan Danang agar tidak pergi menghindar dari Prita. Kedatangan Prita bermaksud mengabarkan bahwa dirinya lulus ujian skripsi. Dia ingin mengucapkan terima kasih pada Danang. Saat ngobrol itulah Prita baru tahu permasalahan yang dihadapi Amin dan warga kampungnya.

Prita pun bersedia membantu Amin bertemu Pak Menteri. Karena ternyata Prita adalah keponakan Pak Menteri. Dia bersedia membantu Amin dan Danang menemui pamannya tanpa melalui protokoler. Tak terkira betapa senangnya Amin dan Danang. Tanpa banyak menemui kesulitan lagi mereka akhirnya berhasil bertemu Pak Menteri di rumahnya. Ternyata Pak Menteri orangnya ramah dan mau mendengar. Sosoknya terlihat angker dan sulit tersentuh karena citra yang dibentuk oleh para anak buah dan budaya birokrasi yang sangat kaku. Pak Menteri bersedia meninjau ulang kebijakan yang dibuat para bawahannya sehubungan penggusuran pemukiman di kampung Amin.

Akhirnya, kampung Amin tak jadi digusur melainkan ditunda dan dievaluasi kembali. Pak Menteri bahkan berkenan meninjau kampung itu dan mampir di rumah Amin. Orang-orang yang selama ini mencemooh dan mengejek Amin hanya bisa melongo. Sikap mereka kembali berubah seratus delapanpuluh derajat, ganti bersikap manis dan memuji-muji Amin. Tapi meski mendadak jadi orang top, Amin tetap rendah hati dan bersikap biasa. Dia tetap bermain bersama teman-temannya. Dia tidak menganggap diri sebagai pahlawan, karena tujuan utamanya ingin membantu warga!

SELESAI