03 Oktober 2013

Peran Ibu Dalam Membentuk Karakter Anak



Seringkali kita melihat ada anak yang tampak cerdas, trampil, berprestasi, dan menonjol di antara kawan-kawannya. Sebagai ibu kita tentu berharap demikian terjadi pada anak kita. Tapi terkadang muncul pemikiran; ah, kalau anak-anak itu pada dasarnya cerdas, IQ-nya tinggi pantas saja berprestasi. Lagian mereka juga dapat dukungan fasilitas karena orang tuanya kaya. Benarkah demikian bahwa hanya anak yang ber-IQ tinggi dan berasal dari keluarga kaya yang bisa meraih kesuksesan?

Belum tentu, Bu!

Bukan karena IQ tinggi dan dukungan fasilitas lengkap yang menentukan keberhasilan seorang anak, meskipun tak dipungkiri hal ini ikut berperan. Karena kenyataan membuktikan; banyak orang sukses di usia dewasa justru berasal dari keluarga tidak mampu. Banyak orang-orang sukses dan berhasil menjadi pemimpin bukan karena kecerdasan otaknya, melainkan karena pengalaman dan kepribadiannya.

Mereka mungkin berasal dari keluarga sederhana, dalam bimbingan dan tuntunan orang tua yang arif bijaksana, yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan positif, sehingga mereka pun tumbuh menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Mereka mampu mengembangkan bakat dan potensi, serta ketrampilannya karena diberi kebebasan dalam mengekspresikan harapan dan cita-citanya.

Jadi Ibu-ibu tak perlu berkecil hati bila anaknya tidak memiliki prestasi akademik yang tinggi. Sebab, mereka masih bisa meraih prestasi di bidang lain. Seperti misalnya dalam bidang seni, ketrampilan, olah raga, tarik suara, dan banyak bidang lainnya. Yang diperlukan dari orang tua adalah bagaimana memberikan perhatian kepada anak-anak agar mereka bisa mengembangkan bakat dan potensi dengan semaksimal mungkin.

Mendidik Anak Sejak Usia Dini

Untuk membina dan mengembangkan bakat si kecil orang tua bisa memulainya sejak usia dini. Usia antara 0 – 4 tahun yang sering disebut sebagai masa keemasan (golden age), seorang anak mesti dikembangkan kemampuan otaknya. Yang perlu diperhatikan dari anak adalah seberapa jauh anak merasa diperhatikan, diberi kebebasan atau kesempatan untuk mengekspresikan ide-idenya, dihargai hasil karya atau prestasinya, didengar isi hatinya, tidak ada paksaan atau tekanan, ancaman terhadap dirinya dan mendapatkan layanan pendidikan sesuai tingkat usia dan perkembangan kejiwaannya.

Pada usia mulai umur empat sampai enam tahun dikenal dengan usia wonder age sang Ibu mesti memberikan rangsangan/stimulus untuk mengembangkan kecerdasannya. Rangsangan pada anak usia itu antara lain memberikan sentuhan, menunjukkan warna-warni, atau mendengarkan suara hingga otaknya optimal menerima dan mempengaruhi kendali tubuh termasuk otak kanan dan kiri. Jika tidak diberikan rangsangan, maka akan menjadikan anak rentan terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Anak diberikan kebebasan untuk berbuat, maka akan membuat mereka benar-benar mandiri dan mampu mengendalikan dirinya sendiri. Namun sebaliknya, jika anak tidak diberikan kebebasan berbuat akan menjadikan dirinya tidak mandiri dan menggantungkan dirinya kepada orang lain.

Anak yang defendent (ketergantungan) kepada orang lain, karena orang tuanya terlalu protektif sehingga dalam benak anak akan muncul rasa takut salah. Anak tidak diberikan kesempatan offensif sehingga muncul socio-conform, sehingga anak menjadi dependent. Oleh karena itu tidak usah heran jika ada anak yang sehari-harinya belajar sangat pinter dengan nilai-nilainya yang bagus. Namun kurang bersosialisasi atau tidak berani, takut, merasa malu ketika berdiskusi atau menyampaikan pendapat. Anak menjadi self relation atau hanya mampu bersosialisasi dengan dirinya saja tanpa dengan orang lain.

Anak-anak yang tumbuh dalam tekanan-tekanan, misalnya rasa takut, khawatir, stress, dan sebagainya ketika remajanya akan merasakan suatu dorongan-dorongan agresif atau nakal yang menimbulkan efek negatif. Mungkin anak itu kreatif tetapi kreatifitasnya menuju ke arah yang negatif, bahkan bisa ke arah sadis. Tetapi jika anak-anak diperhatikan (care), bahkan sejak masa bayi hingga muncul rasa semangat, maka petumbuhannya akan sangat teratur sekali sehingga dia berpikir logis, lebih memperhatikan (care) kepada orang lain.

Ibu memiliki peran sangat besar terhadap pendidikan anak-anak mulai sejak bayi. Ketika beranjak lebih besar lebih bagus jika anak itu dikirimkan ke child care atau kelompok bermain. Meskipun untuk saat sekarang yang mampu menitipkan anaknya ke tempat bermain adalah orang-orang yang kelas ekonominya menengah ke atas, karena kelompok menengah ke bawah jarang yang menitipkan anaknya di kelompok bermain. Namun demikian yang diperlukan dari seorang ibu adalah tahu cara mengasuh anak karena itu bagian dari tujuan pendidikan, sehingga anak-anak akan tumbuh dengan baik bukan hanya secara fisik saja tetapi juga berkembang secara psikologisnya dan secara neurosis.

Pendidikan Di Sekolah

Pendidikan selalu identik dengan sekolah atau lembaga pendidikan formal. Bahkan sekolah dianggap sebagai kebutuhan pokok yang harus dirasakan oleh anak dan tidak dapat digantikan dengan apapun. Sekolah dianggap sebagai sarana untuk tercapainya keberhasilan dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Oleh karena itulah banyak orang tua yang merasa khawatir jika anaknya tidak sekolah.

Padahal sekolah itu hanya salah satu faktor keberhasilan anak dalam mengenyam pendidikan. Faktor lainnya adalah pendidikan keluarga di rumah karena pendidikan bermula dari keluarga yang dianggap sama pentingnya karena sekolah memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu antara lain keterbatasan waktu dan ruang. Waktu belajar di sekolah sekitar 5 – 8 jam. Tempat belajarnya pun terbatas hanya di ruangan yang terdiri atas empat dinding satu lantai dan satu atap.

Kelemahan ini menyebabkan sekolah tidak dapat menumbuhkembangkan potensi anak secara optimal. Akibatnya tujuan pendidikan untuk mendewasakan, memandirikan anak menjadi terbatas oleh waktu dan ruang tersebut. Sekolah pun tidak dapat mengambil alih sepenuhnya peran orang tua dalam mendidik anak, terutama dalam hal menanamkan nilai-nilai yang dianggap penting seperti pendidikan nilai, moral, sosialisasi, dan agama. Sedangkan sekolah lebih dominan pada pemberian ilmu pengetahuan yang bersifat akademik atau aspek kognitif saja. Orang tua sebenarnya bisa lebih mengarahkan perkembangan dan pertumbuhan anak sesuai dengan bakat dan minat, karena orang tua akan langsung tahu sejauh mana anaknya belajar.

Segala perilaku orang tua, pola asuh, dan pendidikan yang diterapkannya di dalam keluarga pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Perilaku itu antara lain kasih sayang, sentuhan, kedekatan emosi (emotional bonding) orang tua serta penanaman nilai-nlai yang dapat mempengaruhi kepribadian anak. Mengembangkan pendidikan dalam keluarga, maka orang tua memegang peran penting dalam mencetak anak mempunyai akhlak yang luhur, perilaku jujur, disiplin dan semangat, sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya serta menanamkan karakter yang kuat.

Kegagalan penanaman karakter pada anak sejak usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Seperti dalam sebuah ungkapan bahwa mendidik anak-anak kecil ibarat menulis di atas batu yang akan terus berbekas sampai usia tua. Sedangkan mendidik orang dewasa ibarat menulis di atas air yang akan cepat sirna dan tidak berbekas. Membiasakan mendidik anak sejak kecil dapat membuahkan hasil yang terbaik. Sebaliknya membiasakannya ketika dewasa sangat sulit, seperti dalam sebuah perumpamaan bahwa mendidik anak seperti sebatang dahan, ia akan lurus bila diluruskan. Dahan itu tidak akan bengkok meskipun sudah menjadi sebatang kayu.


Mengembangkan Kecerdasan EQ

Dewasa ini sudah dan sedang terjadi perubahan proses pendidikan dari yang lebih mementingkan kecerdasan otak kiri atau IQ ke arah mementingkan kecerdasan otak kanan atau EQ atau kecerdasan emosional. Kecerdasan otak kiri menekankan pada anak untuk menguasai kemampuan kognitif. Keberhasilannya dtentukan oleh kemampuan anak membaca, menulis, dan berhitung pada usia dini.

Kematangan emosi-sosial anak terbentuk sejak usia dini menentukan keberhasilan anak di sekolah dan di masyarakat, serta kehidupannya di masa selanjutnya. Kematangan emosi ditandai antara lain oleh ketertarikan pada sesuatu di sekelilingnya, mempunyai rasa percaya diri, mengetahui kapan dan bagaimana anak meminta pertolongan dari guru atau orang-orang dewasa lainnya, kesabaran menunggu, mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dengan kelompok (Danil Goleman, 2006).

Orang beranggapan keberhasilan akademik anak diukur dengan nilai angka dan ranking bukan pada proses belajar, sehingga anak dipaksa untuk belajar keras. Akibatnya waktu bermain anak tidak ada. Anak akan cepat bosan bahkan mogok belajar, prestasi belajarnya menurun. Pada usia dewasa nanti menjadi sumber daya manusia yang tidak bisa bekerja, atau tidak terampil. Anak tidak menghargai pekerjaan yang memerlukan keterampilan, kerajinan, ketekunan, kerja keras dan cerdas, percaya diri dengan kemampuan sendiri.

Selain itu karena tujuannya mencetak anak pandai di bidang akademik kognitif, maka materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kiri saja yang diperhatikan yaitu bahasa dan logis matematik. Padahal banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan (kesenian, musik, lukis) kurang mendapat perhatian. Kalaupun ada perhatian, maka orientasinya juga lebih pada kognitif berupa hafalan, tidak ada apresiasi dan penghayatan yang dapat menumbuhkan semangat untuk belajar.

Tujuan pendidikan adalah membentuk anak agar senang dan termotivasi untuk terus belajar seraya bermain. Lebih menekankan pada penyiapan kecerdasan emosi sehingga anak diberi kesempatan untuk berkembang secara alami. Anak lebih senang bermain yang dapat mengembangkan fungsi otak kanan, sehingga akan memudahkan anak menguasai pelajaran yang diberikan guru. Anak mengalami proses social emotional learning (kecerdasan emosi), joyful learning (belajar yang menyenangkan), dan active learning (anak terlibat aktif).

Anak bukan sekedar objek tetapi subjek pendidikan. Oleh karena itu guru di sekolah dan orang tua di rumah seharusnya memberikan lingkungan yang dapat menumbuhkan rasa senang dan gembira seolah-olah mereka sedang bermain, padahal sebenarnya sedang belajar. Guru atau orang tua perlu memberikan bekal yang penting bagi anak, yaitu menciptakan kematangan emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademik!

Demikian, Ibu-ibu. Semoga sekelumit bahasan tentang mendidik anak usia dini di atas bisa berguna membantu ibu-ibu dalam mengasuh dan mendidik anak.  

Sumber:
Disaring dari berbagai referensi buku dan internet.

Tidak ada komentar: