Seringkali kita melihat ada anak yang
tampak cerdas, trampil, berprestasi, dan menonjol di antara kawan-kawannya. Sebagai
ibu kita tentu berharap demikian terjadi pada anak kita. Tapi terkadang muncul
pemikiran; ah, kalau anak-anak itu pada
dasarnya cerdas, IQ-nya tinggi pantas saja berprestasi. Lagian mereka juga
dapat dukungan fasilitas karena orang tuanya kaya. Benarkah demikian bahwa
hanya anak yang ber-IQ tinggi dan berasal dari keluarga kaya yang bisa meraih
kesuksesan?
Belum tentu, Bu!
Bukan karena IQ tinggi dan
dukungan fasilitas lengkap yang menentukan keberhasilan seorang anak, meskipun
tak dipungkiri hal ini ikut berperan. Karena kenyataan membuktikan; banyak
orang sukses di usia dewasa justru berasal dari keluarga tidak mampu. Banyak
orang-orang sukses dan berhasil menjadi pemimpin bukan karena kecerdasan
otaknya, melainkan karena pengalaman dan kepribadiannya.
Mereka mungkin berasal dari
keluarga sederhana, dalam bimbingan dan tuntunan orang tua yang arif bijaksana,
yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan positif, sehingga mereka pun tumbuh
menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Mereka mampu mengembangkan bakat dan
potensi, serta ketrampilannya karena diberi kebebasan dalam mengekspresikan
harapan dan cita-citanya.
Jadi Ibu-ibu tak perlu berkecil
hati bila anaknya tidak memiliki prestasi akademik yang tinggi. Sebab, mereka masih
bisa meraih prestasi di bidang lain. Seperti misalnya dalam bidang seni,
ketrampilan, olah raga, tarik suara, dan banyak bidang lainnya. Yang diperlukan
dari orang tua adalah bagaimana memberikan perhatian kepada anak-anak agar
mereka bisa mengembangkan bakat dan potensi dengan semaksimal mungkin.
Mendidik Anak Sejak Usia Dini
Untuk membina dan mengembangkan
bakat si kecil orang tua bisa memulainya sejak usia dini. Usia antara 0 – 4
tahun yang sering disebut sebagai masa keemasan (golden age), seorang anak mesti dikembangkan kemampuan otaknya. Yang
perlu diperhatikan dari anak adalah seberapa jauh anak merasa diperhatikan,
diberi kebebasan atau kesempatan untuk mengekspresikan ide-idenya, dihargai
hasil karya atau prestasinya, didengar isi hatinya, tidak ada paksaan atau
tekanan, ancaman terhadap dirinya dan mendapatkan layanan pendidikan sesuai
tingkat usia dan perkembangan kejiwaannya.
Pada usia mulai umur empat sampai
enam tahun dikenal dengan usia wonder age
sang Ibu mesti memberikan rangsangan/stimulus untuk mengembangkan
kecerdasannya. Rangsangan pada anak usia itu antara lain memberikan sentuhan,
menunjukkan warna-warni, atau mendengarkan suara hingga otaknya optimal
menerima dan mempengaruhi kendali tubuh termasuk otak kanan dan kiri. Jika
tidak diberikan rangsangan, maka akan menjadikan anak rentan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan. Anak diberikan kebebasan untuk berbuat, maka akan
membuat mereka benar-benar mandiri dan mampu mengendalikan dirinya sendiri.
Namun sebaliknya, jika anak tidak diberikan kebebasan berbuat akan menjadikan
dirinya tidak mandiri dan menggantungkan dirinya kepada orang lain.
Anak yang defendent
(ketergantungan) kepada orang lain, karena orang tuanya terlalu protektif
sehingga dalam benak anak akan muncul rasa takut salah. Anak tidak diberikan
kesempatan offensif sehingga muncul socio-conform,
sehingga anak menjadi dependent. Oleh
karena itu tidak usah heran jika ada anak yang sehari-harinya belajar sangat
pinter dengan nilai-nilainya yang bagus. Namun kurang bersosialisasi atau tidak
berani, takut, merasa malu ketika berdiskusi atau menyampaikan pendapat. Anak
menjadi self relation atau hanya
mampu bersosialisasi dengan dirinya saja tanpa dengan orang lain.
Anak-anak yang tumbuh dalam
tekanan-tekanan, misalnya rasa takut, khawatir, stress, dan sebagainya ketika
remajanya akan merasakan suatu dorongan-dorongan agresif atau nakal yang
menimbulkan efek negatif. Mungkin anak itu kreatif tetapi kreatifitasnya menuju
ke arah yang negatif, bahkan bisa ke arah sadis. Tetapi jika anak-anak
diperhatikan (care), bahkan sejak
masa bayi hingga muncul rasa semangat, maka petumbuhannya akan sangat teratur
sekali sehingga dia berpikir logis, lebih memperhatikan (care) kepada orang lain.
Ibu memiliki peran sangat besar
terhadap pendidikan anak-anak mulai sejak bayi. Ketika beranjak lebih besar
lebih bagus jika anak itu dikirimkan ke child
care atau kelompok bermain. Meskipun untuk saat sekarang yang mampu
menitipkan anaknya ke tempat bermain adalah orang-orang yang kelas ekonominya
menengah ke atas, karena kelompok menengah ke bawah jarang yang menitipkan
anaknya di kelompok bermain. Namun demikian yang diperlukan dari seorang ibu
adalah tahu cara mengasuh anak karena itu bagian dari tujuan pendidikan,
sehingga anak-anak akan tumbuh dengan baik bukan hanya secara fisik saja tetapi
juga berkembang secara psikologisnya dan secara neurosis.
Pendidikan Di Sekolah
Pendidikan selalu identik dengan
sekolah atau lembaga pendidikan formal. Bahkan sekolah dianggap sebagai
kebutuhan pokok yang harus dirasakan oleh anak dan tidak dapat digantikan
dengan apapun. Sekolah dianggap sebagai sarana untuk tercapainya keberhasilan
dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Oleh karena itulah banyak orang tua yang
merasa khawatir jika anaknya tidak sekolah.
Padahal sekolah itu hanya salah
satu faktor keberhasilan anak dalam mengenyam pendidikan. Faktor lainnya adalah
pendidikan keluarga di rumah karena pendidikan bermula dari keluarga yang
dianggap sama pentingnya karena sekolah memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan
itu antara lain keterbatasan waktu dan ruang. Waktu belajar di sekolah sekitar
5 – 8 jam. Tempat belajarnya pun terbatas hanya di ruangan yang terdiri atas
empat dinding satu lantai dan satu atap.
Kelemahan ini menyebabkan sekolah
tidak dapat menumbuhkembangkan potensi anak secara optimal. Akibatnya tujuan
pendidikan untuk mendewasakan, memandirikan anak menjadi terbatas oleh waktu
dan ruang tersebut. Sekolah pun tidak dapat mengambil alih sepenuhnya peran
orang tua dalam mendidik anak, terutama dalam hal menanamkan nilai-nilai yang
dianggap penting seperti pendidikan nilai, moral, sosialisasi, dan agama.
Sedangkan sekolah lebih dominan pada pemberian ilmu pengetahuan yang bersifat
akademik atau aspek kognitif saja. Orang tua sebenarnya bisa lebih mengarahkan
perkembangan dan pertumbuhan anak sesuai dengan bakat dan minat, karena orang
tua akan langsung tahu sejauh mana anaknya belajar.
Segala perilaku orang tua, pola
asuh, dan pendidikan yang diterapkannya di dalam keluarga pasti berpengaruh
dalam pembentukan kepribadian anak. Perilaku itu antara lain kasih sayang,
sentuhan, kedekatan emosi (emotional
bonding) orang tua serta penanaman nilai-nlai yang dapat mempengaruhi
kepribadian anak. Mengembangkan pendidikan dalam keluarga, maka orang tua
memegang peran penting dalam mencetak anak mempunyai akhlak yang luhur,
perilaku jujur, disiplin dan semangat, sehingga akhirnya menjadi dasar untuk
meningkatkan kualitas dirinya serta menanamkan karakter yang kuat.
Kegagalan penanaman karakter pada
anak sejak usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya
kelak. Seperti dalam sebuah ungkapan bahwa mendidik anak-anak kecil ibarat
menulis di atas batu yang akan terus berbekas sampai usia tua. Sedangkan
mendidik orang dewasa ibarat menulis di atas air yang akan cepat sirna dan
tidak berbekas. Membiasakan mendidik anak sejak kecil dapat membuahkan hasil
yang terbaik. Sebaliknya membiasakannya ketika dewasa sangat sulit, seperti
dalam sebuah perumpamaan bahwa mendidik anak seperti sebatang dahan, ia akan
lurus bila diluruskan. Dahan itu tidak akan bengkok meskipun sudah menjadi
sebatang kayu.
Mengembangkan Kecerdasan EQ
Dewasa ini sudah dan sedang
terjadi perubahan proses pendidikan dari yang lebih mementingkan kecerdasan
otak kiri atau IQ ke arah mementingkan kecerdasan otak kanan atau EQ atau
kecerdasan emosional. Kecerdasan otak kiri menekankan pada anak untuk menguasai
kemampuan kognitif. Keberhasilannya dtentukan oleh kemampuan anak membaca,
menulis, dan berhitung pada usia dini.
Kematangan emosi-sosial anak
terbentuk sejak usia dini menentukan keberhasilan anak di sekolah dan di
masyarakat, serta kehidupannya di masa selanjutnya. Kematangan emosi ditandai
antara lain oleh ketertarikan pada sesuatu di sekelilingnya, mempunyai rasa percaya
diri, mengetahui kapan dan bagaimana anak meminta pertolongan dari guru atau
orang-orang dewasa lainnya, kesabaran menunggu, mematuhi instruksi, dan mampu
bekerja sama dengan kelompok (Danil Goleman, 2006).
Orang beranggapan keberhasilan
akademik anak diukur dengan nilai angka dan ranking bukan pada proses belajar,
sehingga anak dipaksa untuk belajar keras. Akibatnya waktu bermain anak tidak
ada. Anak akan cepat bosan bahkan mogok belajar, prestasi belajarnya menurun.
Pada usia dewasa nanti menjadi sumber daya manusia yang tidak bisa bekerja,
atau tidak terampil. Anak tidak menghargai pekerjaan yang memerlukan
keterampilan, kerajinan, ketekunan, kerja keras dan cerdas, percaya diri dengan
kemampuan sendiri.
Selain itu karena tujuannya
mencetak anak pandai di bidang akademik kognitif, maka materi pelajaran yang
berkaitan dengan otak kiri saja yang diperhatikan yaitu bahasa dan logis
matematik. Padahal banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan otak kanan
(kesenian, musik, lukis) kurang mendapat perhatian. Kalaupun ada perhatian,
maka orientasinya juga lebih pada kognitif berupa hafalan, tidak ada apresiasi
dan penghayatan yang dapat menumbuhkan semangat untuk belajar.
Tujuan pendidikan adalah
membentuk anak agar senang dan termotivasi untuk terus belajar seraya bermain.
Lebih menekankan pada penyiapan kecerdasan emosi sehingga anak diberi
kesempatan untuk berkembang secara alami. Anak lebih senang bermain yang dapat
mengembangkan fungsi otak kanan, sehingga akan memudahkan anak menguasai pelajaran
yang diberikan guru. Anak mengalami proses social emotional learning (kecerdasan emosi), joyful learning (belajar yang menyenangkan), dan active learning (anak terlibat aktif).
Anak bukan sekedar objek tetapi
subjek pendidikan. Oleh karena itu guru di sekolah dan orang tua di rumah
seharusnya memberikan lingkungan yang dapat menumbuhkan rasa senang dan gembira
seolah-olah mereka sedang bermain, padahal sebenarnya sedang belajar. Guru atau
orang tua perlu memberikan bekal yang penting bagi anak, yaitu menciptakan
kematangan emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil
dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademik!
Demikian, Ibu-ibu. Semoga
sekelumit bahasan tentang mendidik anak usia dini di atas bisa berguna membantu
ibu-ibu dalam mengasuh dan mendidik anak.
Sumber:
Disaring dari berbagai referensi buku dan internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar