Puisi

1. Dzikir


bersama gelap dan sunyi
berkaca diri pada kedalaman hati
mengapa hidup mesti ditawar
bila kita tak sanggup membayar
kita seperti musafir yang disesatkan angin
tak henti mengudap mimpi di siang hari
sementara jemari kita letih menghitung nasib
dan membiarkan jiwa kerontang dimakan usia
subhanallah
satu tarikan nafas
segenap karunia Tuhan meruah luas
alhamdulillah
sedetik jantung berdetak
semilyar cahaya rahmat melesak

la ilahailallah
setetes aliran darah
seluas samudera hikmah mengurai anugerah
allahu akbar
setitik denyut nadi
segala daya insani membuncahkan energi
telah jauh menempuh perjalanan
namun kita lupa untuk pulang
seperti selembar puisi lusuh yang kita simpan
dimakan ngengat dalam lemari ingatan
kapan lagi kita membaca umur
yang berlumut oleh angin dan hujan ?
dengarkan suara cicak bergunjing
membicarakan kita yang alpa membaca doa
seperti musim-musim yang berlari
meninggalkan cuaca di halaman rumah kita
pejamkan mata dari pandangan
tumpulkan rasa dari kenikmatan
tanggalkan pakaian kemunafikan
lantunkan lafal dengan perlahan
subhanallah walhamdulillah wala ilaha ilallah allahu akbar
Tirtomoyo, 19 Maret 2010



2. Pagi

Tak ada yang lebih indah dari pagi
dirangkumnya sinar matahari
diperdengarkan kicau burung bernyanyi
embun menetes membasahi bumi
Tak ada yang lebih sepi dari pagi
kala selimut malam direnggut cakrawala
burung hantu kembali ke sarang
bayanganmu hilang ditelan kegelapan
Tak ada yang lebih perih dari pagi
ketika waktu berjalan merenggut usia
suratmu datang membawa kabar
tak akan pulang sebelum usai perjalanan
tak ada yang lebih sendu dari pagi
saat mekar bunga dihisap sang kumbang
pucuk pohon menanti turunnya hujan
wajahmu tenggelam di renung lamunan

Januari 2010
3. Ini Adalah Dunia Nyata


anak jalanan dengan wajah masai, baju compang-camping, tubuh kurus kering, perut papan, membaca baliho selebar dua kali sepuluh meter di pinggir jalan yang cukup untuk membikin sepuluh baju
wajah bapak-bapak, berpeci, tersenyum malaikat, berdasi, stelan jas Armani, mengumbar simpati, menampakkan gaya khas mirip aktor film masa kini
di bawahnya tertulis janji-janji, pilih nomer satu agar rakyat tidak kelaparan, agar pendidikan terjangkau warga miskin, agar banyak lahan kerja diciptakan, agar rumah-rumah murah dihamparkan, tapi anak jalanan tak mengerti maksudnya…
yang terbayang dalam benak kecilnya adalah surga
tak bisa dijangkau dengan tangan, tapi dengan angan-angan
sementara dia bergelut dengan kenyataan, yang tak pernah terbayangkan
dalam benak siapa pun yang sehari-hari tinggal dalam rumah,
bersekolah, berpakaian, perut kenyang, tak pernah kekurangan
ini adalah dunia nyata
dimana dia bisa merasakan sentuhan tangan dewi rembulan di malam hari, menina bobo tidurnya di emperan toko
dia tidak bisa makan bila kedua tangannya hanya bertopang dagu, kedua kakinya menekuk siku, berdiam merajut ragu, apalagi berselimut malu

sejak matahari beranjak dari peraduan, dia sudah berlari mengejar kepingan, diantara deru kendaraan, bau anyir kota, dan umpat serapah orang-orang
di ujung jalan sudah menunggu tukang palak, yang tak pernah lupa menagih setoran dengan muka masam

tengah hari baru dia bisa merasakan nikmatnya sisa makanan yang dibuang orang di tong sampah dekat restoran, berbagi dengan kucing kudapan tak bertuan
ini bukanlah drama
dimana manusia bisa merasakan pahit getirnya, manis indahnya, suka bahagia, atau duka lara, karena baginya itu sama saja
dia tak tahu apa artinya senang, apa artinya bahagia, apa artinya duka, sebab semuanya berbalut baju sama silih berganti menghiasi hari-harinya
jalan yang ditapakinya adalah jalan sama yang berulang-ulang dilaluinya tanpa tahu ke mana arah tujuannya
bahkan dia tak tahu dari mana berasal, karena semuanya samar-samar, tak ada yang memberitahu siapa orang tuanya, kenapa mereka menghadirkannya ke dunia
dia manusia yang tak punya pilihan, dunia yang telah memilihnya
ini bukan mimpi
dimana orang bisa merajut indahnya dunia dengan harapan dan keinginan, sebab harapan dan keinginan itu bukan lagi bagian dari mimpinya
ketika semua orang merdeka dengan mimpi-mimpinya, dia terbelenggu oleh nasib yang tak jelas ke mana akan membawanya
setiap detik, setiap waktu yang berjalan, menyeretnya dari kubangan ke kubangan, dari lembah ke lembah, kehinaan yang tak berujung

ini adalah dunia nyata
anak jalanan menyusuri trotoar dengan kaki telanjang, tatapan mata tanpa harapan, tubuh tanpa perlindungan, jiwa rawan, hidup tersembunyi di balik mimpi buruk setiap orang

ini adalah dunia nyata
anak jalanan yang berseliweran di tengah jalan, cermin retak masyarakat yang hidup dengan mimpi, tak mau melihat kenyataan dengan wajah sebenarnya

Tirtomoyo, 1 Agustus 2008
4. Gerbong Tua


Menghirup aroma masa lalu
diantara barisan bangku yang lapuk dimakan usia
Di sampingku duduk seorang kakek. Dengan baju kebesaran
deretan lencana berkilau di dada tanda pengabdian
“Ke mana, Kek?” tanyaku bersemat ragu

“Stasiun terakhir. Menuntaskan sejarah

yang belum usai ditulis,” jawabnya serak basah
Ini bukan sekadar perjalanan wisata. Diantara derit roda kereta tua
yang kepayahan membaca jejak sejarah. Matahari dan langit lelah
“Kakek bekas pejuang?” tanyaku ingin tahu

“Tak ada istilah bekas untuk sebuah perjuangan. Karena pejuang hidup
bukan untuk disebut pahlawan. Tetapi mengabdi pada ibu pertiwi!”
Lantang suaranya memecah udara
“Ceritakan pada kami perjuangan di masa lalu. Bukan sekadar angkat senjata
atau pengorbanan jiwa dan harta benda. Sebab, kami butuh keteladanan
sebagai cermin bengala. Agar kelak kami tak sesat arah
menempuh angin sakal dan terjal karang!”
“Perjuangan berlandas persatuan. Apa gunanya senjata dan tentara
bila berjuang mementingkan kelompok dan golongan
Tirulah Soedirman. Mengumpulkan batang lidi menjadi batang sapu
Membersihkan anasir buruk dalam diri. Menciptakan kebersamaan
di tengah penderitaan sesama.”
Hembusan angin tenggara dari celah jendela. Lagu dan doa
dilantunkan pada setiap upacara bendera. Hanya seremonial belaka
“Dahulu, di gerbong tua ini. Jendral dan kopral duduk bersama
merancang rencana-rencana. Teriakan freedom, liberty, dan egality menyemangati
Bambu runcing dan perundingan seiring sejalan. Tidak saling mengklaim kemenangan
sebab, kemerdekaan bukan sebuah hadiah. Darah dan air mata suluhnya
kebenaran dan keadilan sebagai pedoman. Kemakmuran seluruh rakyat adalah tujuan!”
Menjelang senja kereta berhenti di stasiun terakhir
kami berpisah setelah uluk salam sejahtera dan saling menitip doa
Di sudut-sudut jalanan dan kampung pinggiran. Anak-anak bertelanjang dada
dengan perut lapar dan tubuh penuh koreng bernanah
Kuborehkan salep kasih sayang dan ketulusan. Untuk sebuah perjuangan
bendera pun siap membalut luka para pejuang!
Tirtomoyo, Pebruari 2010
5. Sajak Perjalanan


Inilah persinggahan yang lama kita tinggalkan

Untuk sebuah perjalanan panjang tak berkesudahan

Karena kita menganggap bumi datar sementara logika

Selalu bengkok menuruti hawa nafsu



Sajadah tempat bersujud telah lapuk

Dimakan rengat-rengat bertasbih sementara lidah kita

Begitu kaku menyebut asma-Nya

Rumah Allah telah lama sunyi

Tak memperdengarkan lagi shalawat dan asmaul husna



Anak-anak asyik dininabobokan televisi dan internet

Dongeng sebelum tidur yang dibacakan ibu-ibu mereka

Berganti sinetron dan gebyar layar kaca

Para pecinta-Mu bagai musafir yang tersesat di padang Sahara

Melihat dunia seperti fatamorgana

Sementara bayangan surga begitu nyata



Gedung-gedung tinggi menjulang

Bagai pohon-pohon yang tumbuh di hutan beton

Orang-orang berlomba meraih kemukjizatan

Di tengah ketakberdayaan melawan alam

Yang semakin tak bisa dibaca gelagatnya



Bencana dan badai berpusar di tengah kota

Menciptakan kegamangan dalam hati mereka

Mencari sosok pelindung dan penyelamat

Namun yang didapat hanya para dajjal pembawa kesesatan



Dunia semakin tua kita pun seperti bayi yang baru lahir

Menatap pesona dunia dengan mata buta

Padahal semua hanya bayangan semu semata

Yang akan kita tinggalkan di ujung senja

Tirtomoyo, Maret 2010