Humor

1. Kenapa Tidak Membawa Gajah?


Acara demonstrasi dengan membawa-bawa binatang tampaknya sedang ngetren. Ada yang berdemo sambil membawa ayam jago, kambing, kelinci, ular, dan juga kerbau. Soal membawa kerbau ini bahkan sempat membuat pemimpin nomer satu di negeri ini tersinggung berat.

Sosok kerbau dianggap sebagai pelecehan, tidak etis, dan merendahkan martabat manusia. Karena kerbau identik dengan pribadi yang malas, santai, tukang makan (sampai badannya gemuk), dan tentu saja dianggap bodoh.

Hal ini memancing rasa penasaran Kasim, seorang wartawan senior. Sebagai wartawan berpengalaman dia ingin mengutamakan check and balance. Jadi suatu berita akan seimbang dan faktual bila berdasarkan pengakuan kedua belah pihak. Di media sudah ditulis tanggapan dan argumentasi dari orang-orang yang berhubungan dengan isu perkerbauan ini.

Yang belum terekspos adalah pengakuan dari sang kerbau sendiri. Belum ada satu pun wartawan yang mengorek keterangan si kerbau. Kasim berencana mewawancari sang kerbau. Dia tahu, idenya ini gila. Tapi dia yakin, kerbau pun bisa bicara (tentu saja dengan bahasa kerbau). Berkat bantuan seorang ahli bahasa binatang, Kasim berhasil mewawancari si kerbau yang jadi ikon demonstrasi.

Dalam satu sesi wawancaranya, si kerbau membuat pernyataan. “Para manusia ini aneh sekali. Kenapa saya diidentikkan dengan gemuk, malas, dan bodoh? Tentu saja saya tak terima. Mereka pikir saya ini apa? Justru mereka yang malas dan bodoh. Tidakkah suatu kemalasan dan kebodohan karena mereka tidak membawa Gajah, yang badannya lebih besar?”
2. Siapa Yang Mau Menggantikannya?

Kiyat, seorang petani polos dan lugu, kehilangan kerbaunya. Dia lalu mencari kesana kemari. Seorang tetangga memberitahu kalau kerbaunya dibawa ke pusat kota oleh para mahasiswa untuk diajak berdemonstrasi.

“Aneh-aneh saja. Kerbau kok diajak berdemo,” gumamnya. Dengan muka bersungut-sungut Kiyat lalu menuju ke pusat kota.

Sampailah dia di pusat kota. Dia melihat kerbaunya diarak oleh para demonstran menuju ke istana negara. Kerbaunya tampak berbeda karena didandani sedemikian rupa. Pada tubuhnya ditulis: Si Bu Ya.

Kiyat menghampiri kerbaunya dan berniat membawanya pulang, tapi tindakannya dicegah oleh para demonstran.

“Lho, Pak. Mau dibawa ke mana kerbaunya?”

“Mau saya bawa pulang. Ini kerbau saya!”

“Tapi, Pak. Aksi demonstrasi belum selesai. Bapak tak usah khawatir soal kerbau bapak. Kami akan menjaganya dengan baik. Kami akan beri uang pada bapak sebagai pengganti selama kerbau bapak kami ajak demonstrasi. Pokoknya ganti rugi yang layak!”

“Benar, Pak. Kita akan rawat kerbau bapak dengan baik. Kita akan beri dia makan, kita mandikan, kita minta dokter hewan untuk memeriksa kesehatannya. Pokoknya kita beri pelayanan spesial!” ujar pendemo yang lain ikut meyakinkan.

“Itu tidak perlu. Pokoknya kerbau ini akan saya bawa pulang!” Kiyat ngotot sambil menarik tali dadung sang kerbau.

“Tolong, Pak! Please! Beri kesempatan kerbau ini ikut demo satu hari saja. Nanti kalau sudah selesai kami antarkan pulang. Kami akan beri bapak bonus!”

“Betul, Pak. Ini demi perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan!”

“Saya sebenarnya juga bersimpati pada perjuangan kalian. Saya hargai itikad baik kalian. Saya tahu, kalian mau mengganti semua kerugian saya. Cuma masalahnya, kerbau ini mau saya potong hari ini juga. Apakah ada diantara kalian mau menggantikannya?” ujar Kiyat dengan entengnya.

Para demonstran cuma saling pandang dan tersenyum kecut. (*)

3. Enak, Tapi Tak Dapat Duit

Inilah percakapan diantara para binatang di sebuah kandang. Mereka sedang membicarakan Si Kerbau yang sedang naik daun. Si Kerbau kini jadi bintang. Sosoknya muncul di berbagai stasiun televisi karena dijadikan ikon dalam aksi demonstrasi.

“Wah, Si Kerbau sekarang enak. Jadi terkenal. Namanya jadi bahan pembicaraan di mana-mana!” cetus Si Itik.

“Apanya yang enak? Dia tak lebih badut sirkus. Dia diarak ke mana-mana menjadi tontonan manusia. Apa itu tidak memalukan?” dengus Si Kambing.

“Betul itu! Dia cuma dijadikan bahan olok-olok. Dia dianggap binatang malas, tukang makan, dan bodoh. Kalau aku sih, tidak sudi diperlakukan seperti itu!” ujar Si Ayam.

“Biar begitu yang penting kan terkenal!” celetuk Si Bebek.

“Buat apa terkenal, tapi sengsara…?!” tukas Si Sapi.

“Aneh sekali para manusia. Kenapa kita mesti dibawa-bawa ke arena demonstrasi. Kenapa harus kita yang dijadikan simbol untuk memperolok-olok dan mengkritik penguasa? Memangnya kita seperti mereka yang kerjanya cuma bikin keonaran dan kerusakan!” dengus Si Merpati sinis.

“Betul itu! Kita, kaum binatang, semestinya tidak terima dijadikan bahan olok-olok. Kalau manusia punya jargon perikemanusiaan, kita juga punya jargon perikebinatangan. Kita harus menjunjung tinggi perikebinatangan! Setuju?”

“Setujuuuu…!” sahut semua binatang.

Tiba-tiba Si Kerbau yang habis diajak berdemo masuk ke dalam kandang. Wajahnya tampak kusut, sepertinya hatinya sedang tidak gembira. Teman-temannya jadi heran. Mereka lalu bertanya. “Kenapa kamu, Kerbau? Habis pulang jalan-jalan kok malah cemberut?”

“Iya, nih! Apa acara demonya kurang menyenangkan?”

“Bukankah enak selalu disorot kamera?”

“Enak kepale lu peyang? Sudah capek berjalan keliling kota, kepanasan, kehujanan, eee… yang dapat duit malah si Bos (Pemilik kerbau-pen)!” sungutnya.

Teman-temannya pada bengong. (*)


4. Kasus Bank Century

Heboh kasus bank Century menimbulkan dua kubu yang bertentangan, yakni kubu yang pro dan kontra dengan kebijakan pemerintah. Di rapat pansus kasus bank Century pun masyarakat sudah bisa membaca bahwa ada dua kubu yang berbeda pendapat dalam membahas kasus ini. Mereka sepertinya tidak peduli, bagaimana harus mengembalikan dana nasabah bank Century yang belum dibayar, tapi malah sibuk berargumen dan membela kepentingan masing-masing.

Dalam sebuah sesi rapat terjadi perdebatan seru. Secara kebetulan yang jadi pimpinan rapat saat itu Bang Gayus Sitompul berasal dari fraksi yang kontra pemerintah. Salah satu anggota Pansus, Bang Ruhut Lumbuan, berasal dari fraksi yang pro pemerintah, mendebat pimpinan rapat. Suasana pun berubah panas dan tegang. Merasa jengkel dengan ulah Bang Ruhut yang selalu ngeyel, Bang Gayus pun menegur.

“Saudara bisa diam, tidak?! Beri kesempatan yang lain untuk bicara!” seru Bang Gayus.

“Ini hak saya sebagai anggota untuk bicara. Beri kesempatan saya menyelesaikan kalimat saya!” bantah Bang Ruhut.

“Tidak bisa, waktunya sudah habis!”

“Pimpinan jangan otoriter. Pimpinan tidak demokratis!”

“Diam kamu!”

“Kamu yang diam!”

“Diam!”

“Bangsat!”

“Kamu yang bangsat!”

“Monyet!”

“Kerbau!”

Melihat perdebatan memanas antara Bang Gayus dan Bang Ruhut, anggota rapat pansus yang lain segera menengahi.

“Interupsi! Interupsiiii…!”

“Bagaimana ini? Kenapa kita malah pada ribut sendiri. Ini forum yang terhormat. Jaga nama baik dewan. Tidak etis sesama anggota pansus mencela dan memaki, apalagi membawa nama binatang! Apa kata rakyat nanti? Padahal rapat ini ditayangkan televisi dan ditonton jutaan pemirsa. Mau ditaruh di mana muka kita?” kata Bang Rahmat Andi dengan nada geram.

“Ada ketupat di rantang susun, boleh berdebat asal dengan santun. Apalah pula pakai menyumpah dengan menyebut binatang, kasihan binatangnya yang dijadikan kiasan!” anggota pansus yang lain mengingatkan dengan berpantun.

“Hei, tadi siapa yang bilang kerbau?” celetuk seorang anggota pansus.

“Memang kenapa?” sahut temannya.

“Nanti yang punya nama tersinggung!”

Semua yang mendengarnya tertawa geli. (*)