27 September 2009

Ucapan

Cerpen ini dimuat di SOLOPOS Minggu edisi 25 Juli 2004
Oleh : Eko Hartono.


Kata orang istriku punya lidah ampuh. Setiap ucapan atau sumpahnya akan terjadi. Seperti Midas yang punya tangan sakti, apa pun yang disentuhnya akan berubah emas. Begitulah yang dialami Ratna. Aku sendiri baru tahu hal itu belum lama setelah menikahinya. Tadinya aku tak begitu percaya. Ratna bukan seorang paranormal atau keturunan wali. Mana mungkin dia punya kesaktian macam itu. Dia gadis modern dan berpendidikan yang tak kenal mistik dan takhayul.

Tapi sebuah kejadian aneh bin ajaib yang terjadi di depan mataku membuatku mau tak mau mempercayai cerita itu. Ketika sedang berjalan di pinggir jalan, tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju kencang hampir menabrak istriku. Dengan perasaan marah Ratna langsung menyumpahi sang pengendara motor yang tak berhenti itu.

“Naik motor sembarangan! Kusumpahi biar nabrak pohon sekalian!” demikian serunya.

Dan belum ada sepuluh detik istriku selesai bicara, tahu-tahu… braaak!

Pengendara motor itu benar-benar menabrak pohon. Semua orang berhamburan menghampiri. Aku pun ikut melihat. Untung pengendara itu tak mengalami luka serius. Tapi kejadian itu membuat aku tiba-tiba jadi berpikir ngeri. Perasaanku tercekam. Ucapan istriku berbuah kenyataan!

“Jangan berpikir macam-macam, Mas. Aku ini cuma orang biasa. Tidak punya kelebihan apa-apa. Kebetulan saja kalau pengendara motor itu nabrak pohon setelah kusumpahi. Itu namanya kualat! Gusti Allah sudah mengatur orang itu nabrak pohon biar sadar akan perbuatannya!” elak istriku ketika aku bertanya dari mana ia mendapatkan kelebihan itu.

“Tapi semua orang tahu dan melihat, Rat. Setelah kamu mengucapkan sumpah, orang itu langsung nabrak pohon. Saudara-saudara kamu juga pernah bilang setiap kamu mengucap sumpah akan terbukti terjadi!” tukasku masih tak yakin.

“Itu hanya kebetulan saja, Mas. Masak hanya karena ucapan bisa membuat orang celaka!”

“Tapi itu bener, Rat. Dari mana kamu dapat ilmu macam itu?”

“Aku tidak punya ilmu apa-apa, Mas. Aku kan cuma wanita biasa. Sudahlah, ndak usah berpikiran macam-macam!”

Aku pun diam dan tak bertanya-tanya lagi. Sepertinya istriku berkata jujur. Dia memang tidak punya ilmu apa-apa. Tapi tetap saja hal itu menimbulkan perasaan tertentu dalam hatiku. Tiba-tiba saja aku jadi takut dan ngeri. Dengan kelebihan yang dimiliki Ratna, hal itu bisa menjadi senjata ampuh baginya bila kami terlibat konflik. Bagaimana kalau dia marah padaku, lalu tanpa sadar mengucap sumpah yang buruk?

Aku bisa disumpahi pelo, kecebur jurang, ditabrak truk, bisulan, lumpuh, impoten, atau keadaan-keadaan lain yang lebih buruk!

Oh, tidak! Aku berharap hal itu tak terjadi. Tapi siapa bisa mengira kemungkinan seperti itu tak terjadi? Tidak ada jaminan bahwa istriku tidak akan menyumpahi aku? Apalagi bila ingat Ratna tergolong perempuan berhati panas. Setiap tersinggung sedikit kemarahannya langsung meledak. Perasaanku jadi tidak nyaman. Setiap saat dihinggapi was-was Ratna akan marah dan melemparkan sumpah.

Aku sendiri berusaha untuk menjaga sikapku agar tidak terlalu bersinggungan keras dengan istriku. Bila ada masalah aku berusaha menyelesaikannya tanpa harus ada pertengkaran. Bila perselisihan atau perbedaan itu begitu tajam, aku pun mencoba mengalah. Aku tak berani memaksakan keinginan dan kehendakku meskipun itu benar bila ternyata bertentangan dengan kehendak istriku, karena aku tak mau ketiban sumpah.

Dengan kondisi semacam ini membuatku tak ubahnya seperti liliput melawan raksasa. Aku begitu kecil dan tak berdaya. Aku kehilangan taji diriku sebagai pemimpin rumah tangga. Aku lebih suka diam dan mengalah. Aku berusaha tidak banyak omong dan banyak tingkah di hadapan istriku. Aku tidak berani bersinggungan dengan Ratna.

Sikap dan gelagatku ini tampaknya ditangkap oleh mata istriku. Dia pun jadi bertanya-tanya.

“Kenapa sih, sikap Mas akhir-akhir ini agak lain? Ada apa, Mas?” tanyanya penasaran.

“Ah, enggak ada apa-apa. Aku biasa saja kok,” kataku mengelak.

“Jangan pura-pura. Berterus teranglah. Nanti aku sumpahin jadi orang bisu…”

“Jangan, jangan, Rat! Kamu jangan sembarangan mengeluarkan sumpah. Aku bisa bisu beneran nanti. Itulah yang kutakutkan. Kamu akan sembarangan mengucap sumpah!” ujarku gugup.

“Ah, enggak, Mas! Aku kan cuma bercanda…?” tukas Ratna tersenyum geli.

“Tapi canda kamu bisa berakibat buruk. Sumpah kamu terlalu manjur. Jadi jangan sembarangan saja. Aku tidak mau kejadian beneran!”

“Apakah itu yang membuat Mas akhir-akhir ini jadi agak lain sama aku? Sepertinya Mas takut aku akan menyumpahi Mas?”

Aku tak bisa berbohong lagi. Aku mengangguk pelan. Ratna mendesah panjang. Wajahnya berubah muram.

“Jadi Mas masih memikirkan soal cerita omong kosong itu? Mas percaya aku bisa nyumpahin orang? Sudahlah, Mas. Jangan berpikiran seperti itu. Aku tak yakin semua ucapanku bisa menjadi kenyataan. Itu hanya kebetulan saja!” ujar Ratna tampaknya ingin meyakinkan aku.

“Tapi kenyataannya begitu, Rat. Sudah sering terbukti ucapanmu selalu menjadi kenyataan. Sumpahmu manjur. Aku takut kalau kamu marah sama aku, lalu kamu menyumpahi aku…?” kataku dengan nada getir.

“Itu tak akan terjadi, Mas. Aku tidak akan menyumpahi Mas. Percayalah, semarah-marahnya aku, tidak akan menyumpahi yang buruk. Aku bahkan berharap rumah tangga kita dilimpahi kebahagiaan dan keberkahan. Aku pun sadar, diriku banyak kekurangan. Jadi tidak mungkin aku berpikiran akan menyumpahi suami. Aku sangat mencintai kamu, Mas!” tegasnya.

“Ya, tapi yang namanya manusia bisa saja lupa, Rat. Ketika emosi sudah tak terkendali dan kesadaran sudah hilang karena ditutupi awan amarah, malaikat mana bisa mencegah ucapan buruk tidak keluar? Itulah yang kutakutkan, Rat. Kamu kehilangan kontrol, lalu menyumpahi aku!”

“Ya, Allah! Betapa piciknya pikiran kamu Mas. Ini sungguh tidak masuk akal. Sudah berulangkali kubilang, aku tidak punya kekuatan apa-apa untuk merubah nasib seseorang. Yang bisa menentukan nasib baik dan buruk manusia itu Tuhan, bukan kutukan atau sumpah!” tandas Ratna.

Aku tercenung. Hatiku masih dibelit keraguan. Aku masih belum bisa menerima argumentasi Ratna itu. Memang segalanya Tuhan yang berkuasa, tapi bisa saja lewat tangan dan ucapan manusia sesuatu bisa terjadi. Ratna tak sadar bila dirinya menjadi ‘tangan’ Tuhan yang sanggup merubah nasib seseorang. Aku lebih meyakini kepercayaan itu!

“Apakah aku perlu bersumpah bahwa aku tidak akan mengutuk suamiku sendiri agar kamu percaya?” lanjut Ratna kemudian.

“Tidak usah, Rat. Aku percaya kok sama kamu,” tukasku jadi tak enak. Aku tak mau perbincangan ini berubah menjadi perdebatan sengit yang justru memancing emosi istriku. Tapi rupanya Ratna sudah terlanjur mengungkapkan perasaannya.

“Aku akan bersumpah, jika sampai aku mengutuk suamiku maka aku akan terkena celaka sendiri!” serunya mantap.

“Ratna!” pekikku kaget.

“Kita harus berpikir rasional, Mas. Rumah tangga kita jangan disetir oleh pikiran irasional yang mempercayai kutukan dan sejenisnya. Hidup kita diatur oleh Tuhan bukan oleh ucapan seseorang! Mengerti kan, Mas?”

Mau tak mau aku mengangguk. Tapi aku sebenarnya masih memikirkan ucapannya belum lama. Ada rasa gelisah, was-was, ngeri, dan takut. Bilakah sumpahnya itu benar-benar akan terjadi?

Hari itu aku menunggui istriku di rumah sakit. Dia baru saja mengalami kecelakaan ringan terkena ledakan kompor. Untung lukanya tidak terlalu parah. Ratna termakan sumpahnya sendiri? Tidak! Bukan itu yang menyebabkan dirinya celaka, melainkan karena keteledorannya sendiri. Dia mengabaikan peringatanku agar tidak mengisi minyak di saat kompor sedang menyala.

“Nanti kompornya bisa meledak dan mengenai kamu!” ujarku waktu itu.

Benar saja. Belum selesai aku bicara, hal itu benar-benar terjadi. Aku terpana. Bukan karena kejadian itu, tapi memikirkan ucapanku. Ternyata ucapanku terbukti nyata. Kata-kataku membawa tuah! Tapi apakah itu berarti aku memiliki lidah ampuh juga? Mampu mewujudkan kenyataan yang belum terjadi? Wallahualam. Semuanya adalah Kuasa Tuhan! Setiap manusia punya kekuatan sama untuk membuktikan ucapannya menjadi kenyataan!

Tirtomoyo, 8 Juli 2004

Tidak ada komentar: