27 September 2009

Nyanyian Nina Bobo

Cerpen ini dimuat di Solopos, Minggu, 9 Oktober 2005
Oleh : Eko Hartono.


Terik matahari menyengat, seakan ingin membakar kulit bumi. Beberapa orang tampak berteduh, sambil mengipas-kipas dadanya. Merasakan gerah. Di sudut trotoar tampak seorang perempuan paro baya menunggu barang dagangannya dengan setia. Wajahnya tampak letih, berkeringat. Sesekali ia menyeka butir keringat di keningnya.

Dia berharap ada orang menghampirinya dan membeli barang dagangannya. Namun orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya seperti angin lalu. Mereka tampak bergegas, tak mempedulikan wajah-wajah penuh harap para pedagang oprokan yang berderet di sepanjang trotoar itu.

“Piye, Nem, daganganmu?” tanya seorang laki-laki tua kepada perempuan bernama Parinem itu.

“Sepi, Mbah!” sahutnya lesu.

“Aneh ya, tidak biasanya jualan kita hari ini lebih sepi?”

“Maklumlah, Mbah. Kondisi ekonomi sekarang tambah sulit. Barang-barang kebutuhan semakin mahal, banyak orang menghemat pengeluarannya!”

“Hidup semakin lama kok jadi tambah berat. Kapan kita bisa merasakan hidup enak, apa-apa serba murah dan cari rejeki mudah. Apa ini yang namanya zaman kalabendu?” gumam laki-laki tua penjual pernak-pernik barang antik itu yang biasa dipanggil mBah Sastro.

Saat mengucapkan kalimatnya, laki-laki tua itu menerawangkan pandangannya ke arah langit. Seolah ia sedang berbicara dengan Sang Penguasa Kehidupan. Dalam usianya yang mulai uzur, asam garam kehidupan tentu sudah kenyang dimakannya. Namun dari keluhan yang keluar dari mulutnya, seakan hidup yang dijalani tak pernah sekalipun memberikan kebahagiaan buat dirinya. Bahkan seakan beban yang dipikulnya semakin berat.

“Sampeyan enak, mBah, sudah tidak ngurus anak. Semua anak sampeyan sudah pada mentas? Lha kalau saya? Sudah janda, punya tiga anak semuanya masih kecil-kecil dan bersekolah. Semuanya butuh ragat!” tukas Parinem membandingkan.

“Sama saja, Nem. Biarpun semua anakku sudah mentas, tapi hidup mereka tetap susah. Mereka semua tidak ada yang hidup kepenak. Malahan si Narto sama Santoso masih pada menganggur. Padahal mereka juga mesti menghidupi istri dan anak masing-masing. Aku tetap berdagang begini juga buat mencukupi kebutuhanku sendiri dan sedikit-sedikit bisa bantu anak-anakku. Tapi kok ya cari uang tambah sulit…”

“Semestinya orang tua seperti sampeyan istirahat di rumah, tidak lagi ngoyo cari uang seperti ini.”

“Ya, maunya begitu, Nem. Tapi mau bagaimana lagi? Mungkin sudah nasibku begini….”

Parinem mendesah nafas panjang. Meski dirinya hidup susah dan miskin, namun melihat perjuangan mBah Sastro, hatinya ikut trenyuh dan prihatin. Sudah lebih dari lima tahun ia mengenal laki-laki tua itu. Sejak dirinya memulai usaha berdagang di pinggir jalan ini. Dan jauh sebelum itu mBah Sastro sudah lebih dulu menggeluti usahanya. Namun ternyata nasibnya tak banyak berubah.

Dari mulai pemerintahan Soekarno hingga menginjak presiden sekarang, mBah Sastro masih bertahan dengan profesinya, pedagang kaki lima. Memang beberapa kali ia sempat gonta-ganti jenis barang dagangan sebelum akhirnya mengkhususkan diri pada barang antik, namun semua itu tak mampu merubah nasibnya. Keberadaan mBah Sastro tak ubahnya seperti barang-barang yang dijualnya. Antik, bersejarah, bernilai tinggi, namun jarang dilirik orang. Bahkan sering dilupakan.

Memang orang-orang seperti mBah Sastro dianggap tidak memberikan kontribusi bagi kemajuan ekonomi bangsa. Orang-orang seperti mBah Sastro bahkan sering dilecehkan, direndahkan, dan dicampakkan. Sering terjadi aksi penggusuran dan penertiban yang dilakukan aparat untuk menyingkirkan mereka dengan dalih kepentingan umum. Namun kenyataannya, hal itu hanya untuk memberi kesempatan bagi pedagang bermodal besar untuk menancapkan kekuasaannya dengan jaringan mal, plaza, dan supermarket.

Tapi lihatlah ketika krismon melanda negeri ini, pedagang-pedagang besar collaps dengan meninggalkan beban utang yang menumpuk di pundak negara. Sementara pedagang-pedagang kecil tetap survive. Disadari atau tidak keberadaan pedagang-pedagang kecil itu justru memberi kontribusi besar bagi ekonomi bangsa. Paling tidak mereka tidak menambah deret pengangguran dan kaum miskin di negeri ini. Dengan tetap berjualan, mereka menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang mandiri. Tidak membebani negara!

Namun dengan kenyataan pahit yang dihadapi para pedagang kecil –penghasilan pas-pasan, sering digusur, dipermainkan oleh fluktuasi harga, dan dipandang sebelah mata oleh pemerintah— akankah nasib mereka bisa membaik? Rasa skeptis dan pesimisme menjangkiti hati Parinem sebagai pedagang kecil. Apalagi berkaca pada pengalaman hidup mBah Sastro. Terbayang dalam benaknya masa depan suram terpampang di depan mata. Akankah nasibnya kelak sama seperti mBah Sastro?

Oh, betapa pahitnya.

Tiba-tiba lamunan Parinem buyar oleh suara gemuruh dari ujung jalan. Seperti ada gelombang lautan manusia menyerbu ke arah mereka. Parinem sempat ketakutan, mengira gerombolan itu petugas keamanan yang biasa merazia pedagang kaki lima. Sudah hal biasa kehadiran petugas Tramtib Kota menjadi momok, seakan monster penebar bencana. Namun hatinya merasa lega saat mendengar seruan seseorang.

“Ada rombongan kampanye Pilkada!”

Sama saja. Kampanye Parpol, Pilpres, atau Pilkada selalu mengorbankan kepentingan umum. Para pedagang kaki lima mesti hati-hati, kalau tidak ingin barang dagangannya diinjak-injak atau terlindas roda kendaraan. Meski ada pula yang diuntungkan, bila kebetulan ada yang mampir untuk membeli. Tapi tetap saja, rasa was-was menghinggapi mereka. Kehadiran rombongan kampanye tak ubahnya monster dalam pakaian yang lain!

Benar saja, rombongan manusia yang berjejal memenuhi jalan raya sempat merepotkan para pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di pinggir trotoar. Mereka buru-buru mengemas sebagian barang dagangannya agar tidak terdesak dan terinjak kaki-kaki liar. Tapi celaka, rombongan kampanye yang dipimpin seorang calon walikota itu justru berhenti tepat di depan puluhan pedagang yang berada di kawasan itu. Dengan berdiri di atas mobil bak terbuka, calon walikota yang masih cukup muda, necis, dan berpenampilan keren itu penuh semangat memberikan orasinya sambil mengacungkan kepalan tangan ke udara.

“Saudara-saudaraku, para pedagang kecil. Jangan khawatir! Jangan mengeluh. Saya berjanji, kelak jika saya terpilih sebagai walikota, saya akan memperhatikan nasib kalian. Saya akan mengangkat derajat kalian ke tempat yang lebih tinggi. Kalian tidak akan terkena gusur lagi. Kalian bisa berjualan dengan tenang dan mendapat penghasilan besar. Saya akan mengangkat ekonomi dan kesejahteraan hidup kalian. Percayalah! Untuk itu saya harapkan kalian mencoblos gambar saya. Ingat, coblos gambar saya…!”

Begitulah sebagian orasi yang diucapkan sang calon walikota. Orang-orang bertepuk tangan meriah sambil bersiut riuh rendah, seperti pertunjukan orkestra nan indah. Namun bagi Parinem dan orang-orang yang berjualan di tempat itu, kampanye sang calon walikota tak ubahnya penjual obat gadungan di sudut pasar. Ia menawarkan obat berkhasiat, tapi tak pernah terbukti kemanjurannya.

Apa yang diucapkan sang calon walikota itu sama isi dan kemasannya dengan orasi para calon legislatif, calon presiden, dan calon-calon pejabat publik sebelumnya. Semuanya serba memberi harapan, janji-janji, dan angan-angan manis. Namun pada kenyataannya kemudian, anak-anak Parinem masih harus bayar SPP, harga BBM terus melonjak, harga sembako melambung tinggi, dan Parinem masih harus main zig-zag dengan petugas Tramtib. Bahkan Parinem masih terus melihat orang-orang tua seperti mBah Sastro berjuang bersimbah peluh di pinggir-pinggir jalan.

Seperti sebuah lagu lama. Orasi calon-calon petinggi negeri ini hanyalah nyanyian nina bobo yang melenakan!

Tidak ada komentar: