01 Desember 2009

Anggodo

Cerpen ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 15 November 2009
Buka website di: www.kr.co.id
Oleh Eko Hartono


“Sudahlah! Aku tak ingin mendengar banyak alasan. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana membebaskan istriku secepatnya. Aku tak mau dia terus disekap oleh Rahwana. Sudah cukup lama dia berada dalam tawanan raja yang doyan perempuan itu. Aku khawatir kalau Shinta sudah diapa-apain. Tolong, kalian berikan solusi yang lebih konkret lagi!” tukas Ramawijaya seraya menatap para senopatinya satu persatu.

Lesmana, Sugriwa, Wibisana, Anoman, Anggodo, dan para senopati lain yang berada di ruang paseban saling berpandangan. Mereka tampak tegang, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tiba-tiba Anggodo mengacungkan tangan.

“Saya punya solusi yang mungkin cukup konkret dan efektif, Gusti Prabu!” ujarnya dengan mantap.

Semua mata langsung tertuju pada Anggodo. Ramawijaya pun tertarik untuk mendengarkan usul senopatinya yang masih muda dan energik itu.

“Apa usulmu, Anggodo?” tanya Ramawijaya.

“Begini, Gusti Prabu. Saya mendengar kalau negeri Alengka adalah negeri yang sangat bobrok dan korup. Birokrasinya ruwet dan kacau. Para pejabatnya suka disuap dan diberi upeti. Saya punya usul, bagaimana kalau kita menggunakan jalur belakang alias potong kompas!” kata Anggodo.

“Maksudmu, kita juga main kotor seperti mereka? Tidak, Anggodo! Kita ini para kesatria. Kita sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Saya tak mau memakai cara-cara kotor begitu. Saya tak mau nama saya sebagai raja yang bersih dan kredibel jadi tercemar!” tolak raja Ayodya itu.

“Tapi ini demi kebebasan Dewi Shinta, Gusti Prabu. Saya berjanji tidak akan membeberkan hal ini di depan publik. Saya tidak akan melibatkan nama Gusti Prabu atau para pejabat Ayodya. Ini adalah usaha saya sendiri. Gusti Prabu tentu masih ingat, saya adalah putra almarhum Subali yang dulu sangat dekat dengan penguasa Alengka. Kalau Gusti Prabu tidak percaya bahwa di kerajaan Alengka hukum bisa dibeli dengan uang, tanyakan saja pada Kakang Wibisana!”

Nama yang disebut oleh Anggodo tak lain adalah saudara Rahwana yang membelot ke pihak Ramawijaya karena tak sepaham dengan kakaknya. Gunawan Wibisana yang disebut namanya mengganggukkan kepala, mengamini pendapat Anggodo. Dia memang sangat tahu dengan seluk beluk pemerintahan Alengka. Di bawah kekuasaan Rahwana negeri Alengka menjadi sangat korup dan amburadul. Banyak pejabat dan para pengusahanya main suap dan korupsi. Hukum hanya jadi permainan. Itulah sebabnya Wibisana memilih pergi dari Alengka dan bergabung dengan kerajaan Ayodya.

“Seperti Gusti Prabu tahu, Rahwana yang licik itu punya alasan kuat untuk menguasai Dewi Shinta. Dengan dalih telah mendapat persetujuan dari para dewa dia merasa berhak atas Dewi Shinta, karena para dewa pernah menjanjikan menggantikan Dewi Sri yang tak jadi diperistri oleh Rahwana dengan titisannya. Dewi Shinta tak lain adalah titisan Dewi Sri. Jadi kelicikan mesti dibalas dengan kelicikan, Gusti Prabu!” tandas Anggodo mencoba mempengaruhi Ramawijaya.

Tak punya banyak pilihan akhirnya Ramawijaya mengutus Anggodo pergi ke negeri Alengka. Dengan berbekal uang yang sangat banyak Anggodo menyusup ke dalam negeri Alengka. Dia berhasil menyuap petugas keamanan yang menjaga perbatasan. Dia juga berhasil menyogok para pejabat tinggi kerajaan Alengka sehingga bisa bertemu langsung dengan Rahwana, penguasa kerajaan Alengka. Di hadapan penguasa Alengka inilah Anggodo berusaha menjalankan taktik dan strateginya. Dia mencoba bernegosiasi dengan raja lalim itu untuk membebaskan Dewi Shinta.

“Sudahlah, Paman Rahwana. Lepaskan saja Shinta. Buat apa sampean ingin memilikinya. Masih banyak perempuan lain yang lebih cantik dari Shinta. Saya bisa bawakan puluhan perempuan cantik buat Paman!” Demikian ujar Anggodo memanggil Rahwana dengan sebutan Paman, karena ternyata Rahwana adalah pamannya sendiri. Rahwana memperistri Dewi Tari yang tak lain adalah saudara kembar Dewi Tara, ibu kandung Anggodo.

Rahwana yang sebenarnya sudah tahu tujuan kedatangan Anggodo cuma tersenyum.

“Atau kalau paman menginginkan uang, emas, atau apa saja kemewahan duniawai, saya akan sediakan. Pokoknya paman terima bersih saja. Raja saya siap menyediakan semua itu, asal Shinta dikembalikan,” cerocos Anggodo kembali berusaha merayu raja Alengka itu.

“Soal itu dibicarakan nanti saja. Aku ingin merayakan pertemuan kita ini dengan minum-minum. Aku sangat senang bisa bertemu dengan keponakanku yang ternyata gagah perkasa dan telah menjadi senopati negeri Ayodya. Almarhum ayahmu yang sakti mandraguna dan bijaksana tak lain adalah guru besarku! Jadi kita sebenarnya masih kerabat!” ujar Rahwana sambil menepuk bahu Anggodo dengan penuh rasa persahabatan.

Perasaan Anggodo membumbung. Dia tak mengira bila Rahwana ternyata cukup baik dan ramah, jauh dari kesan orang selama ini. Dari cerita yang dia dengar, Rahwana adalah raja lalim dan kejam. Dia membayangkan sosok Rahwana yang kaku, kasar, dingin, dan tak banyak senyum. Tapi kenyataan, Rahwana tahu bagaimana memperlakukan seorang tamu. Apalagi tamu itu adalah keponakannya sendiri. Dia menjamu Anggodo dengan pelayanan spesial.

Anggodo yang masih muda dan belum berpengalaman terbuai oleh pelayanan Rahwana. Dia tak sadar bila Rahwana adalah manusia yang amat licik. Dia mendapat julukan Dasamuka yang artinya memiliki sepuluh wajah. Dia mampu berubah-ubah dalam waktu sekejap. Rahwana bukan manusia biasa. Dia manusia paling licik sedunia!

Tanpa disadari oleh Anggodo di dalam minumannya telah dicampur arak. Dengan sikap penuh persahabatan Rahwana terus menuangkan arak ke dalam gelas minuman Anggodo setiap kali kosong. Anggodo pun tak hentinya minum. Wajahnya mulai terlihat memerah karena pengaruh arak. Ucapannya pun mulai ngelantur. Kesempatan ini tak disia-siakan Rahwana untuk mencuci otak Anggodo. Mempengaruhi pikirannya.

“Ketahuilah, Anggodo. Kamu sebenarnya tak pantas berbakti pada Rama. Dia bukan rajamu, tapi musuhmu. Mungkin kamu tak tahu, apa penyebab kematian ayahmu. Dia sebenarnya mati di tangan Ramawijaya. Dia tewas oleh panah yang dilesatkan oleh Rama!” ujar Rahwana dengan sangat meyakinkan.

“Benarkah apa yang paman katakan?” sahut Anggodo galau.

“Buat apa aku bohong? Subali adalah guruku! Aku sangat menghormatinya. Aku tahu benar riwayat ayahmu!” tegas Rahwana.

Darah Anggodo mendidih mendengar keterangan Rahwana. Dia tak mengira bila Rama adalah pembunuh ayahandanya. Pantas selama ini Rama bersikap baik padaku! Selalu memujiku! Memberiku jabatan dan pangkat tinggi! Semua itu ternyata ada udang di balik batu! Ramawijaya ingin menutupi kejahatannya! Demikian pikir Anggodo geram.

Tanpa pikir panjang Anggodo bergegas pulang. Dia lupa pada tugasnya semula. Dia akan membuat perhitungan dengan Ramawijaya. Dia ingin membalas dendam pada rajanya. Ketika sampai di halaman istana Ayodya, Anggodo berteriak-teriak memanggil Ramawijaya. Dia tak mengindahkan lagi tata krama dan kesopanan. Dia menyebut Ramawijaya sebagai raja pembohong dan pembunuh! Orang-orang berhamburan menonton.

Ramawijaya dan patih Sugriwa serta para senopati keluar dari dalam istana. Mereka kaget mendapati Anggodo berceloteh tak karuan, menghina dan melecehkan Ramawijaya. Bahkan Anggodo menantang Ramawijaya untuk beradu kesaktian. Mendengar hal ini Ramawijaya menjadi gusar dan naik pitam. Dia hendak merangsek maju, tapi ditahan Anoman. Senopati kera putih itu akan turun menghadapi Anggodo.

“Biar saya saja yang menanganinya, Gusti Prabu. Anggodo tampaknya sedang mabuk. Dia telah dicuci otaknya oleh Rahwana!” ujar Anoman.

Begitulah. Anoman yang sebenarnya saudara sepupu Anggodo segera turun menghadapi Anggodo. Mereka beradu kesaktian. Tapi karena Anggodo dalam keadaan teler dan ilmunya tak setinggi Anoman, maka dengan mudah dikalahkan. Anoman mengguyur kepala Anggodo dengan air agar sepupunya itu sadar dari pengaruh arak. Ketika Anggodo benar-benar telah sadar dari pengaruh arak, Anoman kemudian mengajaknya bicara dari hati ke hati.

Anoman menceritakan kejadian sebenarnya tentang kematian Subali, pamannya, seperti yang didengarnya dari Sugriwa, ayahnya. Ramawijaya tidak membunuh Subali, tetapi membunuh kejahatan yang ada dalam diri Subali. Subali menjadi jahat karena pengaruh Rahwana. Anoman juga meyakinkan Anggodo bahwa Rahwana adalah musuh nyata mereka. Rahwana sangat pintar, licik, curang, dan bengis. Dia tak segan berbuat apa saja untuk mencapai keinginannya. Dalam diri Rahwana hanya ada nafsu dan keserakahan. Anggodo telah tertipu oleh kebaikan dan keramahan Rahwana.

“Satu hal lagi yang perlu kamu pahami, Anggodo. Jangan pernah berpikir bahwa kejahatan bisa dilawan dengan kejahatan. Itu naif namanya. Kejahatan Rahwana harus ditangani dengan tegas. Tidak ada tawar menawar dalam kejahatan. Karena kebenaran berdiri di atas kebenaran yang nyata, bukan kebenaran yang dibalut dengan kepura-puraan dan kebohongan!” tandas Anoman.

Anggodo hanya diam tercenung. Merenungi kebodohannya! (*)

Tirtomoyo, 9 November 2009

Tidak ada komentar: