30 Desember 2009

Wayang

Cerpen dimuat di TRIBUN JABAR, 13 Desember 2009
Oleh Eko Hartono


1. Dalang

Kedengarannya enak menjadi dalang. Berkuasa atas semua wayang yang kita mainkan. Dalang tak ubahnya director, sutradara, punya kuasa untuk mengatur dan memerintah. Tapi jangan salah. Selama puluhan tahun aku menjadi dalang, aku seperti terpenjara dalam dunia asing. Aku memang bisa memainkan wayang, tapi tak bisa merubah takdir mereka.

Aku terikat pada pakem, pada aturan. Pernah ada niat mengubah karakter wayang menjadi lebih kreatif, inovatif, dan modern. Istilahnya wayang kontemporer. Tapi apa lacur? Aku dikritik habis. Penonton bubar. Tapi yang lebih mengenaskan; telur busuk dan (maaf) tai melayang ke wajahku. Mereka protes. Mereka tidak suka melihat wayang yang menyalahi pakem. Mereka menuduhku gendheng, stress, fasis, komunis, dan seabrek tuduhan miring lainnya.

Padahal aku cuma ingin memberi sedikit perbedaan, suatu pencerahan. Hidup tidak hanya berisi hitam dan putih, ada wilayah abu-abu. Tidak ada manusia sempurna, yang benar adalah manusia bisa berbuat salah dan dosa. Maka, ketika aku memunculkan Duryudana yang baik, alim, dan bijaksana tentu bukan suatu kesalahan. Begitu juga dengan sosok Sengkuni, Dursasana, Durmogati, atau seorang Rahwana? Sebaliknya, Arjuna bisa saja tampak seperti preman jalanan yang suka mabok, judi, dan main perempuan.

Aku bukan mau melawan arus. Aku cuma ingin menyuguhkan drama kehidupan. Bahwa manusia dalam perjalanan hidupnya pernah mengalami masa-masa gelap dan kelabu. Ini sesuai dengan realitas yang ada di tengah masyarakat. Di dunia nyata banyak orang memainkan peran ganda. Dari luar tampak sebagai penegak hukum, pembela kebenaran, dan penjaga moralitas, namun diam-diam berbuat korupsi, a susila, dan melanggar hukum. Begitu pun sebaliknya.

Jika pekerjaan dalang hanya sekadar memainkan cerita yang sudah jelas prolog dan epilognya, buat apa menjadi dalang? Pertanyaan itu terasa menghunjam ke relung hatiku. Seperti terbangun dari mimpi panjang, aku baru sadar bahwa menjadi dalang sesungguhnya tak beda dengan wayang. Aku tidak bisa bergerak bebas memainkan perananku. Tugasku hanya sebatas mementaskan dan menampilkan apa yang sudah tersurat. Jika ada sedikit keleluasan yang diberikan padaku sifatnya hanya improvisasi dan inovasi teknis saja.


2. Wayang

Para wayang diliputi gelisah. Saat rehat dari pertunjukan mereka berkumpul di kotak tempat mereka biasa ditidurkan. Satu persatu wayang bangkit dari pembaringan. Seperti anggota DPR yang sibuk rapat, mereka duduk melingkar di sisi kotak. Masing-masing menyampaikan uneg-uneg.

“Ini tak bisa dibiarkan! Ini sudah kacau, sudah di luar kewajaran!” seru Bima mula-mula dengan nada gusar. “Bagaimana mungkin aku harus berperan sebagai tukang pukul. Jadi centeng pasar! Ini sudah tidak logis! Aku memang garang dan sangar, tapi bukan berarti harus jadi preman!”

“Tenang, Bima. Ini hanya sekadar lakon. Kita cuma memainkan sebuah sandiwara. Masyarakat akan tetap mengenalmu sebagai Bima alias Werkudoro, kesatria pembela kebenaran!” ujar Sri Kresna menenangkan.

“Benar, Bim. Kamu tidak perlu kebakaran jenggot. Sekali-kali kita tukaran peran tidak apa-apa,” cetus Duryudana kalem.

“Tukaran peran, kepala lu peyang!”

“Sebenarnya kamu memang pantas berperan sebagai preman. Lihatlah caramu bicara, kasar dan berangasan. Kenapa kamu tidak nikmati saja hal itu,” tukas Dursasana.

“Sontoloyo! Kamu pikir ini mainan? Ini sudah merusak citra diri! Aku tidak bisa membiarkan kehormatanku jatuh. Masyarakat sudah kadung mengenal diriku sebagai orang baik-baik. Kalau tiba-tiba aku harus berperan jadi orang jahat sama saja mencoreng nama baikku sendiri. Aku tidak terima!”

“Sudahlah, Bim. Kita terima saja. Cuma sandiwara saja, kok!”

“Tidak bisa! Ini bukan sekadar sandiwara, tapi sudah jadi panutan. Kita tidak bisa menghapus memori masyarakat akan sosok Pandawa sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Jika lakon itu dirubah masyarakat akan kehilangan keteladanan. Mereka bisa terpengaruh dan teracuni. Kita harus kembali pada pakem, pada aturan yang sudah disepakati!”

“Kita cuma wayang, Bim. Kita bergantung sama dalang. Kalau dalang bilang A kita juga ikut A. Mana ada wayang menentang sama dalang. Bisa-bisa kita dipecat jadi wayang,” kata Arjuna mengingatkan Bima.

“Walau cuma wayang kita juga punya hak asasi. Kita punya kebebasan menentukan nasib kita sendiri!”

“Sudahlah, Bima. Tak ada gunanya protes. Suara kita bakal menguap. Kita ikuti saja permainan Pak Dalang. Nanti yang dapat resiko dan bertanggung jawab Pak Dalang. Kita enjoy saja!” ujar Puntadewa menepis keresahan adiknya.

“Sebenarnya apa yang diungkapkan Kakak Bima benar. Kita tidak bisa membiarkan nasib kita dipermainkan seenaknya oleh dalang. Di mana-mana yang namanya dalang selalu cari enaknya sendiri. Kalau ada apa-apa, mana mau bertanggung jawab dan mengambil resiko. Selalu wayang yang dijadikan korban dan kambing hitam!” cetus Nakula.

“Aku sependapat dengan Nakula. Kita jangan cuma jadi wayang yang pasrah. Kita harus jadi wayang merdeka dan bisa memberdayakan diri. Jangan seperti di negeri Indonesia. Orang-orang cuma pasrah menjadi wayang yang mau dipermainkan dalang. Karena silau harta, wanita, dan jabatan, orang-orang mudah diperdaya oleh dalang!” ujar Sadewa.

Semua tercenung mendengar pendapat Nakula dan Sadewa. Tampaknya mereka baru sadar bila posisi sebagai wayang sangat rentan oleh penindasan dan kezaliman.


3. Penonton

Beberapa orang penggemar pertunjukan wayang berkumpul di warung pinggir jalan. Mereka sedang membahas pertunjukan wayang yang dimainkan Pak Dalang. Mereka ada yang menyatakan kekecewaan dan rasa marah pada sang dalang, tapi tak sedikit yang memujinya.

“Dasar, Dalang gendheng! Memainkan wayang seenak perutnya sendiri. Dia menjungkirbalikkan fakta dan kenyataan!” ujar salah seorang dari mereka.

“Menjungkirbalikkan bagaimana? Aku justru salut pada Pak Dalang. Dia berani menampilkan fakta dan kenyataan yang berbeda. Kita jenuh disuguhi tontonan monoton. Dimana-mana tokoh Pandawa selalu ditampilkan baik, alim, dan lurus. Padahal sebagai manusia biasa mereka juga bisa berbuat khilaf dan dosa. Kita pengen melihat kehidupan apa adanya. Tidak perlu rekayasa dan pura-pura!” tukas temannya menampik pendapatnya.

“Betul itu, Mas. Sudah semestinya kita berlaku adil dan obyektif. Semua manusia pada dasarnya punya kesempatan sama untuk berbuat baik dan buruk. Apakah karena sudah menyandang predikat kesatria, brahmana, atau pandhita lantas tidak bisa berbuat salah? Itu suatu pendapat keliru! Ukuran kebaikan dan kejahatan tidak berdasar status sosial, pangkat, atau jabatan. Lihatlah, banyak mereka yang menyandang pangkat dan jabatan sebagai penegak hukum, tapi ternyata masih suka korupsi dan bersikap sewenang-wenang. Jadi, kebaikan dan kejahatan bisa terjadi pada siapa saja. Yang disebut baik dan jahat bukan orangnya, tapi sifat atau kelakuannya!” dukung teman lain yang sependapat.

“Tapi dalam wayang sifat jahat sudah melekat pada diri Kurawa sedang sifat baik melekat pada diri Pandawa. Kita tidak bisa merubah skenario yang sudah digariskan. Itu namanya merusak pakem alias menyalahi takdir!”

“Takdir itu hal gaib. Tidak ada manusia yang tahu takdirnya selain Sang Pencipta. Setiap manusia memiliki kesempatan atau kemungkinan untuk berbuat baik dan jahat. Jadi yang terpenting adalah fakta. Jika fakta membuktikan seseorang berbuat kesalahan, maka sudah semestinya mendapat hukuman!”

“Sulit membayangkan Pandawa dihukum karena berbuat kesalahan?”

“Jangan salah! Pandawa juga punya catatan buruk. Mereka pernah berbuat kesalahan karena bermain judi dan mempertaruhkan Drupadi. Mereka pernah menghina dan tidak mengakui Karna sebagai saudara. Mereka juga pernah mencuri ilmu kesaktian milik dewa. Sebaliknya, bala Kurawa juga ada yang berbuat baik. Duryudana menunjukkan rasa kemanusiaannya saat menolong Karna, Bisma memperlihatkan kebijaksanaannya sebagai penasehat Kurawa!”

“Tapi sebaik-baik Kurawa mereka tetaplah sosok antagonis. Mereka wayang yang jahat. Mereka telah merebut hak Pandawa sebagai pewaris tahta!”

“Tidak bisa! Kurawa tidak jahat!”

“Pandawa juga tidak jahat!”

“Kalau semuanya tidak jahat, lalu siapa yang jahat?”

“Dalang! Ya, Pak Dalang yang jahat!”

“Kenapa Pak Dalang yang disalahkan?”

“Karena dia telah merekayasa kejahatan pada diri wayang!”

“Dalang cuma memainkan peran. Dia bukan penulis skenario. Yang salah adalah si pembuat cerita!”

“Tidak bisa! Si pembuat cerita cuma sekadar memenuhi selera penonton. Jadi penonton yang salah!”

“Kok kita yang salah?”

“Ya! Karena kita selalu menuntut yang terbaik pada diri wayang, dalang, dan pertunjukan itu sendiri. Bagaimana kalau kita berhenti menuntut. Kita biarkan kehidupan berjalan menurut kodratnya. Bukan dalang, bukan wayang, dan juga bukan penonton yang menentukan nasib, tapi diri masing-masing!”

Semuanya terdiam. Merenungkan persoalan ini lebih dalam. Memang mudah mencari kambing hitam. Yang susah adalah bersikap jujur dan bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan! (*)

Tirtomoyo, Desember 2009

Tidak ada komentar: