22 April 2010

Mensyukuri Lahan Dari Tuhan

Dimuat di Wawasan, Minggu, 30 Desember 2001

Surat sastra untuk Eko Hartono:


Bung Eko Hartono, di dusun yang jauh.

Sore hari, ketika kedua anakku merengek minta diantar ke sebuah persewaan komik dan majalah untuk memburu komik Crayon Shincan dan sisa-sisa poster kelompok Westlife, mau tidak mau aku harus menurutinya. Sampai di sana, ketika kedua anakku sibuk membolak-balik segunung komik, aku nyelonong ke rak lain. Membuka-buka majalah bernafaskan wanita yang lama tidak kulanggan.

Ah, ternyata, dari setumpuk majalah yang kuaduk-aduk, beberapa kali aku sempat bertemu dengan “nama besarmu”. Seorang penulis cerita pendek yang cukup produktif dan memilih menetap di wilayah Banyakprodo, Tirtomoyo, Wonogiri. Seratus empatpuluh kilometer lebih dari jantung ibukota Jawa Tengah. Aku tahu alamat lengkapmu justru ketika tanpa sengaja membaca sebuah halaman yang berisi pengumuman hasil lomba menulis fiksi. Kebetulan namamu bertengger sebagai salah seorang pemenangnya. Bukan main……. Pikiranku seketika tergugah. Meroket, menjelajah ke belantara desa yang (maaf) namanya tidak pernah disentuh peta.

Ego primodialistisku tidak bisa dibendung. Aku terus punya target untuk memburumu, paling tidak ketika aku sempat pulang menjenguk kampung halaman. Toh untuk menembus dusunmu, imej yang langsung mematuk kepalaku masih seperti dulu. Aku harus mengalahkan seting bernuansa kepul hawa desa, regol perempatan kampung, ladang jagung, tegalan, kicau burung pritganthil di atas lengkung bambu tegak melangit dan sejenis itu. Di situ kita bisa mengobrol panjang dengan topik sekitar mobilitas kepenulisan. Redaktur koran daerah yang sok sulit ditembus, honor ala kadarnya –hingga nampaknya kau lebih suka berbau fiksi di berbagai media ibukota. Aku tidak bisa menahan pilihan jenius itu, Bung. Toh pengalaman pribadi bisa dijadikan tiket untuk “bersombong”. Jika ingin meraup satu juta rupiah bukankah cukup kita tulis empat-lima cerita pendek saja?

Bung Eko yang baik,

Niat untuk mengunjungimu mendadak sontak pernah terganggu, ketika aku menyadari tidak seproduktif dulu. Ibadah suntukku di sejumlah lembaga pendidikan telah derap kreativitasku bergerak lamban. Belum peran gandaku untuk mengurus kedua putriku yang titipan Tuhan itu. Ya, aku tidak seganas dulu dalam meraung-raungkan deru tuts-tuts mesin ketikku.

Dulu, dulu itu, ketika aku mengetik hingga larut malam, almarhumah istriku selalu menyodorkan segelas kopi hangat atau susu di sisi tumpukan naskahku. Dan, kalau penjual mi thok-thok lewat, dia dengan kesetiaan khasnya bergegas memesan sepiring mi godog lengkap lengkap dengan beberapa sunduk sate ayamnya. Lumayan juga, honor satu tulisan bisa untuk “pesta” sebanyak tigapuluh hingga empatpuluh porsi. Di titik kenangan inilah aku sering tersenyum getir sendiri. Benar kalau dulu – lewat surat pribadi— Darminto M Sudarno pernah memuji tulisan tulisan-tulisanku yang mengamuk di media ibukota. Bahkan seorang redaktur pernah bertanya, kapan saya sempat menikmati tidur.

Bung Eko, untuk memperkenalkan diri kepadamu, mestinya aku tidak perlu mempromosikan siapa aku. Biarlah kamu mengenalku lewat tulisan-tulisanku. Tetapi kesempatan menulisku sekarang di mana? Aku hanya bisa tersenyum kecut ketika sohibku Tri Wiyono sering menelpon malam hari, pamer cerpen-cerpennya sekaligus meledek/menanyakan mana tulisanku sekarang. tak kurang budayawan S. Prasetyo Utomo pun mendorong agar aku mengurangi mengajar, segera mencari istri dan bisa menulis lagi. Begitulah, aku harus belajar menulis berkat subsidi energi sejumlah teman.

Bung Eko yang ramah,
Ketika beberapa biji tulisanku muncul di berbagai media, aku baru punya nyali mengunjungimu. Dengan diantar penyair dan penggiat seni Didit Setyo Nugroho, kami menerabas juga halaman rumahmu. Terasmu yang bisu, puluhan pakaian berjajar rapi menunggu pembeli, dan dirimu yang terkejut ketika itu –bagai sekilas adegan sarat dugaan.

Kita saling menguak diri, bertukar cerita. Cukup trenyuh juga merekam jatuh bangun proses kreatifmu, hingga puluhan/ratusan kali namamu terpampang gagah di rubrik cerpen beberapa majalah wanita dan tabloid bertiras deras. Dengan kungkungan alam desa, dengan keterbatasan langkah dan gerak, pendidikan ala kadarnya: cerpen-cerpen yang cerdas dan kritis tukikan psikologisnya bisa kamu ramu dengan talenta dan kerja keras yang tidak ada habis-habisnya.

Kamu juga bercerita baru saja memenangkan sayembara penulisan fiksi. Kamu menunjukkan plakat kemenangan hingga kedua anak kembarmu melonjak spontan, mengelu-elukan supremasi yang kami letakkan di meja tamu itu.

“Bapak dapat uang banyak! Bapak dapat uang banyak!” teriak anak-anakmu. Saling berloncatan. Dunia kepenulisan yang menjadi pilihanmu telah mengalir terekspresi sampai wajah riang anak-anak. Kamu tersipu. Kamu bahagia, dan tidak menduga kalau kami melangkah juga ke dusun yang jauh dari dengung play-station, dering telepon dan wangi kafe.

“Begitulah Mas, kalau ada honor datang, istriku segera lari ke kota Wonogiri, membeli majalah yang memuat tulisanku. Tetapi kadang-kadang sering tidak kebagian,” katamu.

Untuk ke kota Wonogiri, bukankah istrimu harus naik sepeda onthel, atau nunut tukang ojek ke kota kecamatan, dan baru naik bus ke kota Wonogiri yang jauhnya empatpuluh kilometeran itu?! Aku sulit membayangkan kedahsyatan cinta seorang istri: Istrimu!

Di tengah lautan fasilitas, manusia terkadang bisa kalah cerdas. Asal hidup dilewati dengan perjuangan, perjuangan dan terselimuti substansi doa di dalamnya –pasti Tuhan akan menghamparkan ladang. Kita harus mensyukuri lahan dari Tuhan. Ibarat ladang kita harus setia mencangkulinya dengan ketajaman jitu. Aku pun menoleh malu kalau tidak ikut berburu menanam berbagai tulisan di ladang yang telah digelar Tuhan.

Dan kamu Bung Eko Hartono beserta istri dan anak kembarmu, semoga masih mengingatku. Ya, aku yang pernah menanam tujuh judul puisi di sebuah koran edisi Minggu bersama cerpen dan cerita anak-anakmu. Ah, aku harap deru mesin ketikmu ikut menyemangatiku. Salam selalu! (Budi Wahyono, di belantara kota Semarang).

Tidak ada komentar: