Cerpen ini dimuat Di Tribun Jabar, Minggu, 31 Oktober 2010
Oleh : Eko Hartono
Lihat di situs: www.tribunjabar.co.id
DEMI memenuhi ambisi putranya, Dewasrani, yang menginginkan Dewi Dresanala, Bathari
Durga meminta Bathara Guru, suaminya, untuk menceraikan Arjuna dan Dresanala.
Sebagai raja Kahyangan, Bathara Guru meminta Bathara Brahma untuk memisahkan
Dresanala dan Arjuna.
Mendapat perintah dari atasannya, Brahma pun menurut. Dia lalu meminta Arjuna kembali
ke marcapada karena Dresanala akan dijadikan penari kerajaan. Narada, yang tak setuju
dengan kebijakan Bathara Guru, menyatakan mengundurkan diri sebagai penasihat Raja
dan mengikuti Arjuna.
Begitulah, setelah Arjuna kembali ke dunia, Brahma lalu menemui putrinya dan
memintanya agar mau menikah dengan Dewasrani. Tapi Dresanala menolak. Dia
menyatakan bahwa dirinya sudah mengandung benih Arjuna. Betapa murkanya Brahma.
Dia kemudian menghajar Dresanala dan memaksa mengeluarkan jabang bayi yang ada
dalam kandungan.
Bayi yang belum saatnya lahir itu pun keluar. Dengan kejam Brahma membuangnya ke
dalam Kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Untunglah, peristiwa itu diketahui oleh
Narada. Dewa yang baik hati itu segera mengambil jabang bayi dari dalam kawah berapi.
Ajaib, bayi tak berdosa itu ternyata masih hidup dan menjelma sebagai pemuda yang
gagah perkasa. Narada lalu memberinya nama Wisanggeni, yang artinya "racun api".
Narada lalu menceritakan kepada Wisanggeni tentang riwayat hidupnya. Hati Wisanggeni
meradang. Dengan penuh emosi dia lalu bergegas menuju Kahyangan. Dia mencari
Bathara Guru dan Bathara Brahma yang telah bersekongkol melenyapkan dirinya. Dengan
perasaan marah ia bertanya pada Brahma, sang kakek, kenapa dirinya begitu dibenci dan
tidak disukai.
"Karena kamu tidak pantas lahir ke dunia ini. Kamu buah percintaan terlarang antara
Arjuna dan Dresanala. Di Kahyangan ini ada peraturan dewa tak boleh kawin dengan
manusia. Tapi ibumu, Dresanala, melanggar pantangan itu. Karenanya, kamu harus
dimusnahkan. Kamu adalah aib yang akan mencoreng nama baik kerajaan Kahyangan!"
ujar Brahma gusar.
"Tapi, Kek. Kalau memang Arjuna dan Dresanala yang bersalah, kenapa aku yang harus
dihukum? Kenapa bukan ayah dan ibuku.?" gugat Wisanggeni.
"Kamu tak perlu bertanya soal itu. Yang jelas, kamu harus dimusnahkan. Kamu harus
dilenyapkan untuk menjaga kewibawaan Kerajaan Kahyangan!"
"Omong kosong dengan kewibawaan. Kewibawaan macam apa yang tega menyakiti
orang lain? Kalian para dewa memang arogan. Kalian berlagak menjadi penjaga kebenaran
dan kebaikan, tapi kenyataannya kalian hanya menuruti ego dan kepentingan pribadi!'
"Dasar, mulut kamu lancang! Kamu memang pantas dimusnahkan!"
Begitulah. Keberanian Wisanggeni menentang dewa membuat Kahyangan gempar. Para
prajurit dan punggawa Kahyangan dibuat kocar-kacir. Bathara Guru dan Bathara Brahma ia
kalahkan.
Merasa dirinya tidak diterima di Kahyangan, Wisanggeni lalu turun ke marcapada mencari
Arjuna. Dia baru ingat bahwa ia masih punya ayah. Tidak seperti keluarga para dewa yang
angkuh dan sombong, mungkin keluarga dari ayahnya lebih familier dan mau menerima
dirinya. Dengan menyimpan suatu harapan besar, Wisanggeni berangkat menemui
keluarga Pandawa.
Terbayang dalam benaknya, ayahnya akan menyambut dirinya dengan tangan terbuka
dan penuh kehangatan.
Tapi apa lacur? Semua bayangan indah itu lenyap tatkala dia berhadapan dengan keluarga
Pandawa. Mereka tak mengakui bahwa dirinya anak kandung Arjuna. Meski Wisanggeni
telah menunjukkan bukti bahwa dirinya lahir dari rahim Dresanala yang pernah menjalin
cinta dengan Arjuna, keluarga Pandawa tidak percaya. Arjuna tidak mengakui dirinya
sebagai anak!
Betapa hancur hati Wisanggeni mendengar pengakuan Arjuna. Dia tak bisa menahan diri.
Dia lalu menantang Pandawa bertarung dengannya untuk membuktikan siapa yang benar.
Sikap Wisanggeni yang terkesan arogan itu memancing kemarahan Pandawa. Mereka
meladeni tantangan Wisanggeni. Namun kesaktian Wisanggeni yang luar biasa tak ada
yang mampu menandingi. Semua punggawa Pandawa ia kalahkan. Hanya Antasena yang
memiliki kesaktian setara dengan Wisanggeni.
Untuk menghindari kehancuran yang lebih besar lagi Sri Kresna datang untuk melerai
pertarungan itu. Sebagai saudara tua Pandawa, Sri Kresna berusaha mendamaikan kedua
pihak. Sri Kresna mencoba membujuk Wisanggeni. "Percayalah, Nak. Arjuna tidak
bermaksud untuk mengecilkan arti dirimu. Dia hanya butuh waktu untuk bisa
menerimamu. Karena bagaimanapun masih cukup sulit baginya menerima kenyataan ini,"
ucapnya dengan bijak.
Ucapan Sri Kresna itu cukup menghibur hati Wisanggeni. Tapi anak muda itu masih belum
bisa menghilangkan kemarahan dalam dirinya. Menjadi anak yang tidak diakui merupakan
hal yang paling pahit dalam hidup ini.
"Kalau kamu memang ingin diakui dan diterima sebagai anak Arjuna, maka tunjukkanlah
kepribadianmu yang sebenarnya. Arjuna adalah seorang kesatria utama. Anak-anaknya
haruslah meniru dan mengikuti jejaknya. Jadi, perlihatkan bahwa dirimu seorang kesatria
utama, sakti mandraguna, dan berbudi pekerti luhur seperti ayahmu. Aku yakin, Arjuna
perlahan akan mengakuimu sebagai anak!" ujar Sri Kresna memberi suatu harapan pada
Wisanggeni.
Wisanggeni meresapi kata-kata saudara tua Pandawa itu. Dia lalu berusaha
memperlihatkan diri sebagai sosok kesatria sebagaimana sifat keluarga Pandawa. Dia
mempelajari tata krama dan pergaulan orang-orang di bumi. Meski kesannya kaku, dia
akhirnya bisa mengikuti. Hanya saja, sikap lugas dan semaunya sendiri tidak bisa hilang.
Wisanggeni adalah Wisanggeni yang bicara apa adanya. Hanya kepada Sang Hyang
Wenang dirinya bersikap santun dan sopan.
Tapi meski ia terkesan urakan, semua orang mengakui kehebatan anak muda itu. Ilmu
kesaktiannya sungguh tak ada yang bisa mengalahkan. Keluarga Pandawa pun akhirnya
bisa menerima kehadiran Wisanggeni. Bahkan mereka punya harapan lebih kepadanya
dalam perang besar melawan Kurawa yang bertajuk Bharatayuda.
"Sepertinya kita tak perlu susah payah lagi mengalahkan Bala Kurawa. Cukup
mengandalkan Wisanggeni dan Antasena seluruh bala Kurawa hancur lebur!" ujar
Werkudoro berkomentar.
"Tapi sepertinya kita perlu hati-hati terhadap Wisanggeni. Dia memiliki kepribadian yang
sulit ditebak. Dia tidak seperti manusia pada umumnya. Dia tak segan memperlihatkan
perasaannya dengan terang-terangan. Jika tidak suka, dia bilang tidak suka. Jika ada
sesuatu yang bertentangan dengan pandangannya, tak segan dilawan. Padahal hidup
tidak sekadar berisi hitam dan putih, ada wilayah abu-abu yang perlu disiasati dan
dihadapi dengan timbangan kebijaksanaan," kata Puntadewa kalem.
"Tapi aku suka pada anak muda itu. Lugas dan apa adanya. Hanya kelihatannya dia agak
angkuh dan sombong!"
Begitulah. Semua orang memuji Wisanggeni. Tapi tak sedikit pula yang merisaukan sepak
terjangnya. Wisanggeni memang terkesan angkuh dan sombong. Dia akan meladeni
siapa saja yang menantangnya. Para bala Kurawa gentar dan ciut nyali bila berhadapan
dengan anak muda satu ini. Dalam setiap perang tanding, Wisanggeni selalu menang.
Telah banyak kesatria tumbang di tangannya. Kehebatan Wisanggeni ini mau tak mau
membuka mata hati Arjuna.
Kesatria Pandawa itu akhirnya mau mengakui Wisanggeni sebagai putranya. Dia bangga
memiliki putra yang sakti luar biasa. Sosok Wisanggeni mengingatkannya pada sosok
dirinya di waktu muda. Wisanggeni sangat akrab dengan Antasena, saudara sepupunya.
Mereka bak kesatria kembar, sama-sama memiliki kesaktian luar biasa. Kesaktian dua
anak muda itu sudah cukup untuk menghancurkan Kurawa!
Ketika Bharatayuda sudah ada di depan mata, Wisanggeni dan Antasena naik ke
Kahyangan Alang-alang Kumitir menemui Sang Hyang Wenang meminta izin untuk
berperang di garis terdepan membela Pandawa merebut takhta kerajaan Astina. Namun
permohonan mereka sempat menjadi polemik di kalangan dewa. Jika mereka maju
berperang, sudah bisa dipastikan Kurawa bakal kalah dan perang hanya berlangsung tak
lebih dari sekali tepukan tangan. Hal ini tentu saja akan mengubah skenario kehidupan
yang telah disusun oleh para dewa.
Perang Bharatayuda bukan sekadar perang secara fisik, melainkan juga perang dalam arti
luas. Perang dalam rangka membela kehormatan, kewibawaan, hukum karma, ujian,
cermin kehidupan, dan segala hal yang menyangkut nilai-nilai hidup. Bharatayuda adalah
inti dari perjuangan anak manusia di muka bumi. Ada darah dan air mata yang tumpah.
Ada harta dan takhta yang dipertaruhkan. Unsur politik, budaya, ekonomi, sosial, dan
hukum bergelut jadi satu.
Apa gunanya dicetuskan Bharatayuda bila semuanya diselesaikan dalam waktu sekejap?
Tak ada yang bisa didapat dengan cara instan. Segala sesuatu harus dicapai melalui
perjuangan. Bharatayuda representasi dari etos perjuangan dalam kehidupan. Setelah
melalui diskusi yang alot, sengit, dan panjang, para dewa akhirnya memutuskan untuk
menjadikan Wisanggeni dan Antasena sebagai tumbal. Demi kebaikan Kurawa dan
Pandawa!
Sebab, jika kehadiran Wisanggeni dan Antasena dipaksakan dalam Bharatayuda, kaum
Kurawa akan protes. Mereka bisa mogok tidak akan maju dalam Bharatayuda. Mereka
akan menganggap dewa curang, licik, tidak adil, berat sebelah, dan sebagainya.
Bharatayuda adalah jalan keadilan yang telah disepakati oleh Pandawa dan Kurawa. Dalam
kesepakatan itu tidak tercantum nama Wisanggeni dan Antasena sebagai bagian
Bharatayuda. Jadi, wajar bila melenyapkan mereka terlebih dahulu sebelum Bharatayuda
berlangsung.
Melalui Sang Hyang Wenang diutarakan hal ini kepada Wisanggeni dan Antasena. Dengan
penuh bijaksana Sang Hyang Wenang memberikan pengertian kepada kedua kesatria itu
untuk menjalani moksa. Menjadi tumbal bagi kejayaan Pandawa. Meleburkan diri ke alam
nirwana mendahului para kerabatnya. Meski terasa berat dan pahit, keduanya menuruti
saran Sang Hyang Wenang.
Begitulah. Dalam kehidupan terkadang memang dibutuhkan tumbal atau korban untuk
melenggangkan jalan dan memenuhi kepentingan bagi yang lain. Meski kedengarannya
tidak adil, jalan itulah yang sering diambil! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar