02 November 2010

Wisanggeni

Cerpen ini dimuat Di Tribun Jabar, Minggu, 31 Oktober 2010
Oleh : Eko Hartono
Lihat di situs: www.tribunjabar.co.id

DEMI memenuhi ambisi putranya, Dewasrani, yang menginginkan Dewi Dresanala, Bathari

Durga meminta Bathara Guru, suaminya, untuk menceraikan Arjuna dan Dresanala.

Sebagai raja Kahyangan, Bathara Guru meminta Bathara Brahma untuk memisahkan

Dresanala dan Arjuna.

Mendapat perintah dari atasannya, Brahma pun menurut. Dia lalu meminta Arjuna kembali

ke marcapada karena Dresanala akan dijadikan penari kerajaan. Narada, yang tak setuju

dengan kebijakan Bathara Guru, menyatakan mengundurkan diri sebagai penasihat Raja

dan mengikuti Arjuna.

Begitulah, setelah Arjuna kembali ke dunia, Brahma lalu menemui putrinya dan

memintanya agar mau menikah dengan Dewasrani. Tapi Dresanala menolak. Dia

menyatakan bahwa dirinya sudah mengandung benih Arjuna. Betapa murkanya Brahma.

Dia kemudian menghajar Dresanala dan memaksa mengeluarkan jabang bayi yang ada

dalam kandungan.

Bayi yang belum saatnya lahir itu pun keluar. Dengan kejam Brahma membuangnya ke

dalam Kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Untunglah, peristiwa itu diketahui oleh

Narada. Dewa yang baik hati itu segera mengambil jabang bayi dari dalam kawah berapi.

Ajaib, bayi tak berdosa itu ternyata masih hidup dan menjelma sebagai pemuda yang

gagah perkasa. Narada lalu memberinya nama Wisanggeni, yang artinya "racun api".

Narada lalu menceritakan kepada Wisanggeni tentang riwayat hidupnya. Hati Wisanggeni

meradang. Dengan penuh emosi dia lalu bergegas menuju Kahyangan. Dia mencari

Bathara Guru dan Bathara Brahma yang telah bersekongkol melenyapkan dirinya. Dengan

perasaan marah ia bertanya pada Brahma, sang kakek, kenapa dirinya begitu dibenci dan

tidak disukai.

"Karena kamu tidak pantas lahir ke dunia ini. Kamu buah percintaan terlarang antara

Arjuna dan Dresanala. Di Kahyangan ini ada peraturan dewa tak boleh kawin dengan

manusia. Tapi ibumu, Dresanala, melanggar pantangan itu. Karenanya, kamu harus

dimusnahkan. Kamu adalah aib yang akan mencoreng nama baik kerajaan Kahyangan!"

ujar Brahma gusar.

"Tapi, Kek. Kalau memang Arjuna dan Dresanala yang bersalah, kenapa aku yang harus

dihukum? Kenapa bukan ayah dan ibuku.?" gugat Wisanggeni.

"Kamu tak perlu bertanya soal itu. Yang jelas, kamu harus dimusnahkan. Kamu harus

dilenyapkan untuk menjaga kewibawaan Kerajaan Kahyangan!"

"Omong kosong dengan kewibawaan. Kewibawaan macam apa yang tega menyakiti

orang lain? Kalian para dewa memang arogan. Kalian berlagak menjadi penjaga kebenaran

dan kebaikan, tapi kenyataannya kalian hanya menuruti ego dan kepentingan pribadi!'

"Dasar, mulut kamu lancang! Kamu memang pantas dimusnahkan!"

Begitulah. Keberanian Wisanggeni menentang dewa membuat Kahyangan gempar. Para

prajurit dan punggawa Kahyangan dibuat kocar-kacir. Bathara Guru dan Bathara Brahma ia

kalahkan.

Merasa dirinya tidak diterima di Kahyangan, Wisanggeni lalu turun ke marcapada mencari

Arjuna. Dia baru ingat bahwa ia masih punya ayah. Tidak seperti keluarga para dewa yang

angkuh dan sombong, mungkin keluarga dari ayahnya lebih familier dan mau menerima

dirinya. Dengan menyimpan suatu harapan besar, Wisanggeni berangkat menemui

keluarga Pandawa.

Terbayang dalam benaknya, ayahnya akan menyambut dirinya dengan tangan terbuka

dan penuh kehangatan.

Tapi apa lacur? Semua bayangan indah itu lenyap tatkala dia berhadapan dengan keluarga

Pandawa. Mereka tak mengakui bahwa dirinya anak kandung Arjuna. Meski Wisanggeni

telah menunjukkan bukti bahwa dirinya lahir dari rahim Dresanala yang pernah menjalin

cinta dengan Arjuna, keluarga Pandawa tidak percaya. Arjuna tidak mengakui dirinya

sebagai anak!

Betapa hancur hati Wisanggeni mendengar pengakuan Arjuna. Dia tak bisa menahan diri.

Dia lalu menantang Pandawa bertarung dengannya untuk membuktikan siapa yang benar.

Sikap Wisanggeni yang terkesan arogan itu memancing kemarahan Pandawa. Mereka

meladeni tantangan Wisanggeni. Namun kesaktian Wisanggeni yang luar biasa tak ada

yang mampu menandingi. Semua punggawa Pandawa ia kalahkan. Hanya Antasena yang

memiliki kesaktian setara dengan Wisanggeni.

Untuk menghindari kehancuran yang lebih besar lagi Sri Kresna datang untuk melerai

pertarungan itu. Sebagai saudara tua Pandawa, Sri Kresna berusaha mendamaikan kedua

pihak. Sri Kresna mencoba membujuk Wisanggeni. "Percayalah, Nak. Arjuna tidak

bermaksud untuk mengecilkan arti dirimu. Dia hanya butuh waktu untuk bisa

menerimamu. Karena bagaimanapun masih cukup sulit baginya menerima kenyataan ini,"

ucapnya dengan bijak.

Ucapan Sri Kresna itu cukup menghibur hati Wisanggeni. Tapi anak muda itu masih belum

bisa menghilangkan kemarahan dalam dirinya. Menjadi anak yang tidak diakui merupakan

hal yang paling pahit dalam hidup ini.

"Kalau kamu memang ingin diakui dan diterima sebagai anak Arjuna, maka tunjukkanlah

kepribadianmu yang sebenarnya. Arjuna adalah seorang kesatria utama. Anak-anaknya

haruslah meniru dan mengikuti jejaknya. Jadi, perlihatkan bahwa dirimu seorang kesatria

utama, sakti mandraguna, dan berbudi pekerti luhur seperti ayahmu. Aku yakin, Arjuna

perlahan akan mengakuimu sebagai anak!" ujar Sri Kresna memberi suatu harapan pada

Wisanggeni.

Wisanggeni meresapi kata-kata saudara tua Pandawa itu. Dia lalu berusaha

memperlihatkan diri sebagai sosok kesatria sebagaimana sifat keluarga Pandawa. Dia

mempelajari tata krama dan pergaulan orang-orang di bumi. Meski kesannya kaku, dia

akhirnya bisa mengikuti. Hanya saja, sikap lugas dan semaunya sendiri tidak bisa hilang.

Wisanggeni adalah Wisanggeni yang bicara apa adanya. Hanya kepada Sang Hyang

Wenang dirinya bersikap santun dan sopan.

Tapi meski ia terkesan urakan, semua orang mengakui kehebatan anak muda itu. Ilmu

kesaktiannya sungguh tak ada yang bisa mengalahkan. Keluarga Pandawa pun akhirnya

bisa menerima kehadiran Wisanggeni. Bahkan mereka punya harapan lebih kepadanya

dalam perang besar melawan Kurawa yang bertajuk Bharatayuda.

"Sepertinya kita tak perlu susah payah lagi mengalahkan Bala Kurawa. Cukup

mengandalkan Wisanggeni dan Antasena seluruh bala Kurawa hancur lebur!" ujar

Werkudoro berkomentar.

"Tapi sepertinya kita perlu hati-hati terhadap Wisanggeni. Dia memiliki kepribadian yang

sulit ditebak. Dia tidak seperti manusia pada umumnya. Dia tak segan memperlihatkan

perasaannya dengan terang-terangan. Jika tidak suka, dia bilang tidak suka. Jika ada

sesuatu yang bertentangan dengan pandangannya, tak segan dilawan. Padahal hidup

tidak sekadar berisi hitam dan putih, ada wilayah abu-abu yang perlu disiasati dan

dihadapi dengan timbangan kebijaksanaan," kata Puntadewa kalem.

"Tapi aku suka pada anak muda itu. Lugas dan apa adanya. Hanya kelihatannya dia agak

angkuh dan sombong!"

Begitulah. Semua orang memuji Wisanggeni. Tapi tak sedikit pula yang merisaukan sepak

terjangnya. Wisanggeni memang terkesan angkuh dan sombong. Dia akan meladeni

siapa saja yang menantangnya. Para bala Kurawa gentar dan ciut nyali bila berhadapan

dengan anak muda satu ini. Dalam setiap perang tanding, Wisanggeni selalu menang.

Telah banyak kesatria tumbang di tangannya. Kehebatan Wisanggeni ini mau tak mau

membuka mata hati Arjuna.

Kesatria Pandawa itu akhirnya mau mengakui Wisanggeni sebagai putranya. Dia bangga

memiliki putra yang sakti luar biasa. Sosok Wisanggeni mengingatkannya pada sosok

dirinya di waktu muda. Wisanggeni sangat akrab dengan Antasena, saudara sepupunya.

Mereka bak kesatria kembar, sama-sama memiliki kesaktian luar biasa. Kesaktian dua

anak muda itu sudah cukup untuk menghancurkan Kurawa!

Ketika Bharatayuda sudah ada di depan mata, Wisanggeni dan Antasena naik ke

Kahyangan Alang-alang Kumitir menemui Sang Hyang Wenang meminta izin untuk

berperang di garis terdepan membela Pandawa merebut takhta kerajaan Astina. Namun

permohonan mereka sempat menjadi polemik di kalangan dewa. Jika mereka maju

berperang, sudah bisa dipastikan Kurawa bakal kalah dan perang hanya berlangsung tak

lebih dari sekali tepukan tangan. Hal ini tentu saja akan mengubah skenario kehidupan

yang telah disusun oleh para dewa.

Perang Bharatayuda bukan sekadar perang secara fisik, melainkan juga perang dalam arti

luas. Perang dalam rangka membela kehormatan, kewibawaan, hukum karma, ujian,

cermin kehidupan, dan segala hal yang menyangkut nilai-nilai hidup. Bharatayuda adalah

inti dari perjuangan anak manusia di muka bumi. Ada darah dan air mata yang tumpah.

Ada harta dan takhta yang dipertaruhkan. Unsur politik, budaya, ekonomi, sosial, dan

hukum bergelut jadi satu.

Apa gunanya dicetuskan Bharatayuda bila semuanya diselesaikan dalam waktu sekejap?

Tak ada yang bisa didapat dengan cara instan. Segala sesuatu harus dicapai melalui

perjuangan. Bharatayuda representasi dari etos perjuangan dalam kehidupan. Setelah

melalui diskusi yang alot, sengit, dan panjang, para dewa akhirnya memutuskan untuk

menjadikan Wisanggeni dan Antasena sebagai tumbal. Demi kebaikan Kurawa dan

Pandawa!

Sebab, jika kehadiran Wisanggeni dan Antasena dipaksakan dalam Bharatayuda, kaum

Kurawa akan protes. Mereka bisa mogok tidak akan maju dalam Bharatayuda. Mereka

akan menganggap dewa curang, licik, tidak adil, berat sebelah, dan sebagainya.

Bharatayuda adalah jalan keadilan yang telah disepakati oleh Pandawa dan Kurawa. Dalam

kesepakatan itu tidak tercantum nama Wisanggeni dan Antasena sebagai bagian

Bharatayuda. Jadi, wajar bila melenyapkan mereka terlebih dahulu sebelum Bharatayuda

berlangsung.

Melalui Sang Hyang Wenang diutarakan hal ini kepada Wisanggeni dan Antasena. Dengan

penuh bijaksana Sang Hyang Wenang memberikan pengertian kepada kedua kesatria itu

untuk menjalani moksa. Menjadi tumbal bagi kejayaan Pandawa. Meleburkan diri ke alam

nirwana mendahului para kerabatnya. Meski terasa berat dan pahit, keduanya menuruti

saran Sang Hyang Wenang.

Begitulah. Dalam kehidupan terkadang memang dibutuhkan tumbal atau korban untuk

melenggangkan jalan dan memenuhi kepentingan bagi yang lain. Meski kedengarannya

tidak adil, jalan itulah yang sering diambil! (*)

Tidak ada komentar: