11 Mei 2011

JAYADRATA

Oleh : Eko Hartono
Cerpen ini dimuat di Tribun Jabar, Minggu, 1 Mei 2011


Kegelisahan berkecamuk dalam dada Jayadrata. Seribu benteng hidup ksatria Kurawa tak juga mampu meredam resah hatinya. Matanya nanar memandang wajah matahari di atas sana yang timbul tenggelam dipermainkan gelombang awan hitam. Dia berharap siang cepat berlalu dan malam pun menjelang agar hidupnya bebas dari ancaman.

Sumpah Arjuna yang akan memenggal kepalanya sebelum matahari tenggelam membuatnya berada pada tepi jurang kematian. Untunglah seribu prajurit pilihan Kurawa berhasil menghadang hasrat Arjuna. Penengah Pandawa itu kesulitan menembus barikade yang dibuat oleh para ksatria Kurawa. Kematian Abimanyu oleh ulah licik Jayadrata membangkitkan kemarahan Arjuna. Dia ingin membalaskan sakit hatinya.

Tak ubahnya seekor tikus yang tersesat, Jayadrata bersembunyi di tengah benteng pertahanan yang dibuat prajurit Kurawa. Sang komandan, Duryudana, terus menghibur dan menenangkan hatinya yang masih ketar-ketir menghadapi detik-detik menegangkan.

“Tenanglah, Jayadrata! Tak ada yang bisa menyentuh kulit tubuhmu seinci pun, karena kamu berada dalam perlindungan paling aman. Arjuna yang sombong itu tak akan mampu menembus barikade pasukan Kurawa!” ujarnya meyakinkan.

“Terima kasih, Kakang Prabu! Anda benar-benar pemimpin yang sangat mengayomi rakyat!” ucap Jayadrata puji sanjung kepada pimpinan Astina itu. Duryudana tertawa keras, hatinya menjura mendengar sanjungan punggawanya.

Begitulah adab dan perilaku yang terjadi dalam pemerintahan Kurawa. Hal lazim antara pimpinan dan bawahan saling melontarkan pujian. Pimpinan berhasil menina bobo rakyat dengan slogan dan kata-kata menyejukkan. Sementara para birokrat atau punggawa Kurawa berlaku menjilat dan menyanjung pimpinan dengan bahasa ‘sendika dawuh’. Prinsip asal bos senang menjadi pedoman. Mereka bermuka dua.

Tapi meski sudah mendapat jaminan perlindungan dari para pimpinan Astina, tak dipungkiri bila hati Jayadrata masih diliputi was-was. Pikirannya membayangkan berbagai kemungkinan buruk. Dia tahu reputasi Arjuna sebagai ksatria tanpa tanding. Memang, sumpah Arjuna yang akan membakar diri jika tak berhasil membunuh Jayadrata sebelum matahari tenggelam tak ubahnya bumerang. Tapi siapa pun tak akan meragukan kesaktian Arjuna. Tak ada satupun ksatria di muka bumi bisa mengalahkan Arjuna!

Rasanya tak ada lagi tempat di sudut bumi ini yang bisa dijadikan persembunyian oleh Jayadrata. Karena ke mana pun dia pergi, Arjuna bakal menemukannya. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh titisan Dewa Indra itu? Ke dalam perut bumi, ceruk laut, atau kegelapan rimba sekalipun akan mudah ditembus. Arjuna bukan sembarang ksatria. Segala macam ilmu kesaktian dimilikinya. Bahkan rahasia alam semesta tergenggam di tangannya.

Nyali Jayadrata rasanya menciut bagai batu yang menyusut menjadi debu, jiwanya mengerdil oleh tekanan batin yang menggerus tajam. Sungguh, belum pernah Jayadrata merasakan ketakutan dan ketegangan sehebat ini. Merasakan bayangan kematian sebegitu dekat, saking dekatnya ia bisa merasakan desir nafasnya menyentuh pori-pori kulitnya. Perasaannya tercekam ngilu!

Tiba-tiba Jayadrata mengenang kembali perjalanan hidupnya sampai pada titik ini. Keterlibatannya dalam perang Bharatayuda dan berdiri pada pihak Kurawa bukan tanpa alasan. Selain alasan primordial –kawin dengan Dursilawati, saudara perempuan Kurawa— ada alasan lain melatari keberpihakannya pada Kurawa. Masih terekam jelas dalam ingatannya, bagaimana ia dipermalukan Pandawa bersaudara. Kepalanya digunduli oleh Wrekudara. Rasa sakit hati dan dendam kesumat menggumpal dalam dada Jayadrata!

Jika dilihat dari silsilah, sesungguhnya ia masih ada hubungan saudara dengan Pandawa. Menurut cerita Begawan Sapwani, gurunya, ia terlahir dari ari-ari pembungkus bayi Wrekudara yang dibuang. Oleh sang Begawan ari-ari itu dipungut dan didoakan hingga menjelma bocah laki-laki yang tumbuh dewasa. Tak heran bila perawakan Jayadrata mirip Gatotkaca, anak Wrekudara. Namun meski terbilang saudara Wrekudara, keluarga Pandawa tak mengakuinya.

Atas didikan gurunya Jayadrata menjelma menjadi ksatria sakti mandraguna. Dia memiliki sifat jujur, lugas, dan pemberani. Dia diwarisi oleh gurunya pusaka ampuh berupa gada bernama Kyai Glinggang. Kehebatan Jayadrata dalam perang tanding memikat hati Sengkuni. Patih Hastinapura itu lalu membujuk Jayadrata agar mau mengabdi di kerajaan Hastinapura. Dengan senang hati Jayadrata memenuhinya.

Di Hastinapura ia menunjukkan kehebatannya sebagai prajurit yang tangguh. Prabu Drestarastra berkenan menjadikannya menantu dengan mengawini Dewi Dursilawati, adik perempuan Duryudana. Dia diberi kedudukan istimewa sebagai raja di kerajaan Sindu.

Kedekatannya dengan Kurawa dan limpahan fasilitas mewah dari kerajaan membuat Jayadrata lupa diri. Dia melupakan ajaran kebaikan dari gurunya. Dia pernah menculik Drupadi dan berkeinginan menikahinya. Tindakannya itu tentu saja mengundang kemarahan keluarga Pandawa. Dia kemudian diburu oleh Pandawa. Begitu tertangkap, tubuhnya dihajar hingga babak belur oleh kakak beradik Pandawa. Rambutnya dicukur habis oleh Wrekudara. Untunglah datang Yudhistira menyelamatkan jiwanya.

Atas peristiwa itu Jayadrata menjadi benci dan dendam pada Pandawa. Dia lalu bertapa ke hadapan Siwa dan memohon kekuatan agar bisa menaklukkan Pandawa. Namun Siwa mengatakan bahwa hal itu sangat mustahil. Meski demikian Siwa menganugerahkan kepada Jayadrata kemampuan mengalahkan Pandawa bersaudara pada hari pertama Bharatayuda, kecuali Arjuna. Karena tidak ada yang mampu mengalahkan Arjuna dalam perang Bharatayuda.

Tak mampu mengalahkan Arjuna, maka Jayadrata mengalihkan sasaran kepada Abimanyu, putra kesayangan Arjuna. Pada hari ketigabelas di medan laga Kurusetra, Jayadrata berhasil menghentikan Pandawa di dekat formasi Cakrawyuha yang sulit ditembus. Sementara Abimanyu yang terkurung dalam formasi itu dikeroyok oleh para ksatria Kurawa. Abimanyu kewalahan bertarung sendirian menghadapi ratusan ksatria Kurawa. Ia gugur dengan kepala terpenggal dari badan.

Kabar kematian Abimanyu menggusarkan hati Arjuna. Ia lalu mengejar Jayadrata. Pihak Kurawa tak tinggal diam. Mereka berusaha melindungi Jayadrata. Kesal tak bisa menangkap Jayadrata, akhirnya Arjuna mengeluarkan sumpah akan membakar diri jika sampai matahari tenggelam belum berhasil memenggal kepala Jayadrata. Sumpah yang sempat menciutkan hati keluarga Pandawa dan memunculkan sedikit kegembiraan buat Kurawa. Karena sumpah seorang ksatria adalah janji yang harus ditepati!

Duryudana dan saudara-saudaranya berusaha sekuat tenaga melindungi Jayadrata dari kejaran Arjuna. Sementara Arjuna tak henti melontarkan anak panah dari Gendewanya ke arah benteng hidup yang memagari tubuh Jayadrata. Begitu ketat dan berlapis-lapis pertahanan yang dibangun Kurawa guna melindungi Jayadrata, tak peduli ribuan prajurit kehilangan nyawa menjadi perisai. Begitulah prinsip Kurawa, apa pun dilakukan demi sebuah kemenangan, tak terkecuali mengorbankan rakyat tak berdosa!

Aroma anyir darah yang meruap berpadu dengan gelombang debu tebal menyeraki langit. Padang Kurusetra menjelma kuburan massal bagi prajurit yang gugur. Wajah matahari terlihat sayu. Keletihan memenat pada tubuh semua prajurit. Mereka sudah kehilangan daya dan konsentrasi lagi. Mereka sudah mencapai titik kulminasi, dimana kejenuhan dan keletihan bercampur jadi satu. Pada situasi semacam ini, datangnya sebuah kabar menggembirakan bagai oase di tengah padang tandus.

Maka, ketika langit berubah gelap, matahari tenggelam di balik kekelaman, dan seruan kemenangan bergema ke seluruh penjuru perkemahan Kurawa, wajah-wajah kegembiraan memancar bagai sinar bulan purnama. Duryudana dan saudara-saudaranya tak henti menyorakkan yel-yel kemenangan. Mereka sangat gembira karena durasi perang sudah habis. Lebih dari itu mereka gembira akan menyaksikan aksi “pati obong” Arjuna!

“Hari telah gelap! Waktu perang telah habis! Saatnya kita saksikan kobaran api dari tubuh Arjuna!” teriak Duryudana di tengah riuh massa.

“Ayo, kita saksikan bersama-sama pembakaran Arjuna! Kita rayakan kemenangan!” Dursasana tak kalah mengobarkan emosi kegembiraan.

“Benarkah semua telah berakhir?” Jayadrata yang masih bingung dengan sorak-sorai di sekelilingnya celingukan seperti orang linglung.

“Benar, Jayadrata! Semua telah berakhir! Lihatlah, langit telah gelap. Matahari telah tenggelam! Kita menang! Kita menaaanggg…!”

Jayadrata termangu-mangu, seperti tak percaya. Tapi langit di atas sana terlihat gelap, wajah matahari tak lagi nampak. Benar saja, siang telah lenyap berganti malam. Sebuah perasaan lega tiada terhingga mendadak meluap dalam dada Jayadrata. Bibir Jayadrata menyungging lebar, tak kuasa menyembunyikan kegembiraan. Dia kemudian larut dalam sorak sorai kemenangan prajurit Kurawa. Benteng hidup yang melindungi dirinya buyar berhamburan oleh keriuhan menyambut kemenangan.

Dari kejauhan Arjuna dan para punggawa Pandawa hanya bisa terpaku memandang kemeriahan di perkemahan Kurawa. Tapi mereka tak terlihat resah atau kecut hati, terutama Arjuna. Ksatria berbudi halus dan bijaksana itu terdiam untuk beberapa saat, seakan membiarkan seterunya di seberang sana menikmati pesta kemenangan. Keyakinannya begitu kuat tertanam dalam jiwanya bahwa kejahatan akan sirna. Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti!

Setelah merasa cukup membiarkan Kurawa mabuk oleh kemenangan, Arjuna lalu menoleh pada Kresna seraya mengirim sebuah isyarat. Kresna mengangguk mengerti. Dengan suatu gerakan khusus Kresna pelahan membelah langit dan memperlihatkan wajah matahari dengan seterang-terangnya. Dengan kesaktiannya Kresna berhasil membuat semacam gerhana yang menyebabkan langit berubah gelap gulita, seolah malam telah tiba. Malam semu inilah yang disambut oleh Kurawa dengan suka cita.

Maka, ketika cahaya matahari tiba-tiba muncul dari balik langit yang gelap, mata para punggawa dan prajurit Kurawa pun terbelalak terpana. Rona pucat dan ngeri memancar pada wajah mereka, terutama Jayadrata. Dan saat ia mendongak ke atas, tampaklah bayangan kematian menderas ke arahnya, meluncur bagai bola api yang jatuh dari langit. Tapi sesungguhnya kilatan cahaya yang datang itu berupa panah api yang amat sangat dikenalinya. Itulah panah api senjata pamungkas Arjuna bertajuk Pasupati!

Sebelum ia sempat bergerak dalam waktu sepersekian detik, kecepatan laju panah Pasupati telah mendahuluinya, menerabas lehernya. Dan sebuah kepala menggelinding ke tanah, mengakhiri jiwanya. Semua yang ada di sekitarnya hanya bisa diam terpana, tak bisa berbuat apa-apa! (*)

Tirtomoyo, 23 Pebruari 2011

Tidak ada komentar: