11 April 2011

Petruk Jadi Penguasa

Oleh Eko Hartono

Cerpen ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 10 April 2011

Kekuasaan ternyata enak dan menyenangkan. Itulah yang terbetik dalam benak Petruk saat berhasil menaklukkan kerajaan Loji Tengaran dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Prabu Welgeduwelbeh. Semua itu terjadi setelah dirinya menggunakan pusaka Kalimasada milik Yudhistira. Tidak ada orang yang sanggup mengalahkannya. Semua orang pintar dan sakti berhasil ditaklukkan!

Sejak menduduki jabatan tertinggi di kerajaan Loji Tengaran, nasib Petruk seakan berubah seratusdelapan puluh derajat. Dari tadinya rakyat jelata dan bukan siapa-siapa menjelma jadi orang penting dan terhormat. Seperti kata pepatah; kere munggah bale. Semua orang menaruh rasa segan dan hormat padanya. Petruk pun sangat menikmati perubahan hidupnya ini.

Apa yang selama ini hanya ada dalam mimpi dan angan-angannya menjelma menjadi kenyataan. Benar apa yang dikatakan orang; menjadi penguasa itu memang enak dan menyenangkan. Mau apa-apa tinggal perintah pada bawahan. Dengan kekuasaan pula ia bisa memuaskan hasrat dan keinginannya. Mau makan enak, tidur di kasur empuk, pelesiran, atau cari hiburan dengan mudah didapatkan. Sebab, uang bukan lagi jadi masalah!

Ya. Dengan kekuasaan ia bisa menumpuk kekayaan. Kekuasaan tak ubahnya magnet yang mampu menarik apa saja. Semua orang berusaha dekat dengan kekuasaan. Mereka yang ingin urusan dan kepentingannya lancar mesti menghamba pada penguasa. Sebab, penguasa punya kekuatan untuk menentukan nasib orang. Penguasa berperan layaknya makelar; siapa mau bayar lebih dia yang dapat. Kekuasaan tak ubahnya mesin pencetak uang. Tak heran bila banyak orang berlomba-lomba meraih kursi kekuasaan!

Sudah lama Petruk merasakan hidup sebagai rakyat jelata yang miskin. Sudah kenyang ia mengecap penderitaan. Maka, kesempatan menjadi penguasa tak disia-siakan oleh Petruk. Dipenuhinya segala keinginan yang selama ini tak pernah dinikmatinya. Hura-hura dan pesta jadi menu harian Petruk. Tiada hari tanpa mereguk kesenangan duniawi sepuasnya. Tak peduli bila urusan pemerintahan berantakan dan rakyat hidup merana.

Sejak Petruk berkuasa, pemerintahan di Loji Tengaran jadi kacau balau. Korupsi merajalela, pengangguran meningkat, angka kemiskinan melonjak, dan harga kebutuhan pokok tak terkendali. Para pejabat sibuk memikirkan kepentingannya sendiri. Partai politik juga sibuk saling jegal dan sikut. Rakyat yang kemudian menjadi korban. Mereka harus merasakan penderitaan akibat ulah para elite di atas.

Carut marut di negeri Loji Tengaran sampai di telinga Semar. Orang tua Petruk itu jadi prihatin. Dia lalu mengutus Bagong dan Gareng, kedua putranya yang lain, untuk menemui Petruk. Mereka mendapat mandat untuk menyadarkan Petruk. Sebab, jika tidak ada yang mengingatkan Petruk, dia akan semakin semena-mena dan merajalela. Bagong dan Gareng segera berangkat ke Loji Tengaran.

Sesampai di istana Loji Tengaran, mereka langsung bertemu dengan Petruk. Mereka menyampaikan pesan dari Semar agar Petruk bisa bersikap adil dan lebih memperhatikan rakyatnya. Mereka mengkritik kepemimpinan Petruk yang sangat korup dan mementingkan diri sendiri. Mendapatkan kritik tajam itu hati Petruk panas juga. Mungkin sudah menjadi sifat orang yang duduk di kursi kekuasaan, alergi pada kritik dan merasa diri paling benar!

Tapi Petruk tak memperlihatkan rasa tidak sukanya secara terang-terangan. Bukan namanya pemimpin bila tidak pandai bersilat lidah dan mencari justifikasi atas kebijakannya. Dalam dunia perpolitikan ada istilah tidak ada kawan abadi melainkan kepentingan abadi. Jika ada yang menentang dan mengkritik kebijakannya, bukan jalan konfrontasi ditempuh tetapi koalisi atau musyawarah. Sebab, segala sesuatu bisa dikompromikan selama menyangkut kekuasaan.

“Kalian ini jangan cuma bisa mengkritik. Kalian mesti tahu, menjalankan pemerintahan itu tidak mudah. Coba jika kalian duduk di kekuasaan seperti aku ini, kalian pasti akan merasakan susahnya mengurus pemerintahan,” kata Petruk mengeluh.

“Itu tidak bisa dijadikan dalih untuk menutupi kesalahan, Truk. Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab penguasa mengelola pemerintahannya dengan baik. Selama ini rakyat melihat kamu hanya mengurusi kepentinganmu sendiri dan banyak mengambil kebijakan yang keliru. Kamu sama sekali tidak memperhatikan kebutuhan rakyatmu!” ujar Bagong tegas.

“Benar, Truk. Fakta menunjukkan banyak orang tidak menyukai kamu sebagai pemimpin. Jika memang kamu tidak becus menjadi pemimpin, lebih baik mundur saja!” sambung Gareng lugas.

Petruk tercenung sebentar. Permintaan saudara-saudaranya itu tentu saja sangat menyinggung perasaannya. Bagaimana mungkin dia mundur dari kekuasaan. Setelah dia merasakan betapa enak dan menyenangkan duduk di kursi kekuasaan, tiba-tiba disuruh mundur. Tak sudilah yauw! Semua penguasa tentu menginginkan bisa terus melanggengkan kekuasaan. Omong kosong jika ada yang bilang kenyang kekuasaan dan tak ngiler pada kekuasaan. Itu munafik namanya!

“Begini saja. Biar kalian tahu gimana susahnya mengurus pemerintahan, kalian aku beri jabatan tinggi di kerajaan Loji Tengaran. Segala fasilitas dan kebutuhan kalian akan kami penuhi. Bagaimana?” ujar Petruk memberi tawaran.
Bagong dan Gareng saling pandang. Mereka tak mengira akan mendapatkan tawaran seperti itu dari Petruk. Mereka tampak bimbang.

“Ayolah, tak usah banyak pikir. Percayalah, kalian pasti bisa!” desak Petruk terus membujuk.

Entah, karena mendapatkan desakan dari Petruk atau hati mereka sudah mulai tergoda, akhirnya mereka menerima tawaran Petruk.

Sementara itu Semar yang menunggu kabar dari Bagong dan Gareng sudah tak sabar lagi. Dia heran, kenapa kedua putranya itu tak juga pulang-pulang. Dia khawatir, jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada mereka. Maka, berangkatlah ‘Bapak Kebijaksanaan’ itu ke Loji Tengaran. Sesampai di sana, betapa kaget dan kecewa hatinya mengetahui apa yang terjadi.

Bagong dan Gareng yang diberi amanat untuk menyadarkan Petruk malah berbalik arah mengikuti Petruk. Mereka rupanya telah tergiur oleh madu kekuasaan yang membutakan hati. Mereka tak sadar bila kekuasaan hakekatnya sebuah amanah dan tanggung jawab, bukan sekadar alat mereguk kesenangan dan kepentingan pribadi!

Atas nama kebenaran, Semar lalu meminta agar anak-anaknya melepas kekuasaan yang telah mereka pegang. Mereka harus sadar bahwa mereka tidak becus dan kompeten memegang kekuasaan. Tapi dasar mental mereka yang sudah kecanduan pada nikmatnya kekuasaan, mereka menolak tegas. Merasa geram, Semar terpaksa mengeluarkan jurus pamungkasnya; kentut sakti. Kentut Semar ini sanggup membuat orang pingsan!

Begitu mereka pingsan, Semar kemudian menyeret mereka ke hadapan Prabu Yudhistira untuk diadili. Petruk menghadapi serangkaian tuduhan memberatkan diantaranya; mencuri pusaka Kalimasada milik Yudhistira, menyalahgunakan kekuasaan selama menjabat raja Loji Tengaran, tindak korupsi, dan beberapa kesalahan lainnya. Petruk tak bisa menyembunyikan rasa sedih dan penyesalannya.

Sambil menangis dan bersujud di bawah kaki Semar, dia berkata dengan suara terbata-bata, “Tolong, Bapa. Jangan hukum saya. Jangan masukkan saya ke dalam penjara. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi!”

Begitulah sifat manusia. Jika sudah dihadapkan pada hukuman penjara barulah dia sadar akan kesalahannya! (*)

Tirtomoyo, 10 Maret 2011

Tidak ada komentar: