03 April 2009

Bukan Orang Miskin

Cerpen ini dimuat di harian SOLOPOS, Minggu, 14 Desember 2008
Oleh Eko Hartono

buka situsnya di: http//www.solopos.co.id


Parno tidak pernah merasa dirinya miskin. Meski diakui kehidupannya terbilang paling sederhana di kampung itu. Rumah masih berupa gubuk; berdinding papan, beratap genteng yang sudah kusam, dan berlantai tanah. Perabotan paling mewah yang dimilikinya hanya satu set meja kursi dari rotan pemberian almarhum bapaknya. Dan sebuah radio transistor lama; sekedar untuk mendengarkan klenengan kesukaannya, atau siaran wayang kulit semalam suntuk.

Penghasilannya sebagai buruh kasar tergolong kecil, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Untung, istri dan seorang anak perempuannya cukup nrimo dengan keadaan ini. Jika kebetulan tidak punya uang untuk beli beras, mereka biasa makan nasi tiwul yang diolah dari singkong, lauknya cukup sepotong ikan asin ditambah lalap daun kates yang dipetik dari kebun belakang. Cukup lezat dan murah. Yang penting tidak sampai kelaparan.

Parno tidak iri dengan para tetangganya yang rata-rata kehidupannya lebih sejahtera. Maklumlah, kebanyakan mereka berprofesi pedagang, karyawan, PNS, dan petani yang punya sawah. Rumah mereka rata-rata sudah permanen dan memiliki perabotan komplit. Bahkan hampir semuanya sudah memiliki televisi, beberapa punya sepeda motor dan mobil. Bisa dikatakan, hanya Parno satu-satunya warga di kampung itu yang miskin!

Tapi sekali lagi, Parno merasa dirinya tidak miskin. Karena dia pernah mendengar ceramah bapak ustaz bahwa yang disebut fakir atau miskin adalah mereka yang kebutuhan hidupnya selalu kurang. Sementara Parno merasa kebutuhan hidupnya sudah cukup; keluarganya tidak pernah kelaparan meski sehari-hari makan nasi tiwul dan lauk ikan asin. Dia malah menjadikan makanan itu sebagai makanan favoritnya. Sehari tidak makan tiwul rasanya tidak lengkap!

Parno tidak ingin menyamakan dirinya dengan orang lain. Jika para tetangganya bisa beli beras putih, daging, ayam, telur, dan makanan enak lainnya, karena mereka memang mampu. Mereka memiliki penghasilan lebih dari dirinya. Dan Parno pun makan dengan makanan semampu yang bisa dia beli. Kepada istri dan anaknya Parno menanamkan pengertian tentang hal ini. Jangan mengukur kebutuhan dengan keinginan atau hawa nafsu. Karena kalau menuruti keinginan atau hawa nafsu, apa pun selalu tidak cukup. Sementara Parno lebih suka mengukur kebutuhan dengan kemampuannya, yang penting cukup!

Dengan cara berpikir yang sederhana dan apa adanya ini, tak heran bila hidup Parno terasa tenang dan damai. Dia tidak pernah dipusingkan oleh hal-hal yang tidak mungkin dijangkaunya. Dia tidak pernah berkeinginan atau berharap sesuatu yang di luar kemampuannya. Orang boleh mengatakannya manusia monoton, kolot, atau statis, yang penting dia merasa bahagia. Dia bahagia dengan apa yang dimilikinya! Tidak merasa kurang, juga tidak merasa lebih! Pas!

Maka, ketika suatu malam rumahnya kedatangan tamu Pak Heru dan Pak Sastro, yang keduanya menjabat sebagai Kepala Dusun (Kadus) dan ketua RT, Parno seperti mendapat berkah. Biasanya, dia yang datang atau dipanggil ke rumah mereka bila ada suatu urusan.

“Tumben, ada keperluan apa bapak-bapak datang kemari?” tanya Parno.

“Begini, Pak Parno…,” jawab Pak Heru kalem. Hidung Parno jadi kembang kempis dipanggil ‘Pak’. Padahal biasanya orang hanya memanggil namanya saja atau julukannya; Gareng!

Pak Heru mulai menyampaikan maksud kedatangannya. Mula-mula dia bercerita tentang keadaan negara yang dilanda krisis ekonomi dan berbagai hal yang sama sekali tidak dimengerti Parno. Persis seperti paparan penyiar radio saat menyampaikan warta berita. Ujungnya, Pak Heru dengan ditambahi masukan dari Pak Sastro mengemukakan gagasan mengajukan proposal bantuan ke pemerintah untuk warga miskin, salah satunya Parno. Karena dalam anggapan mereka Parno orang miskin. Pada point yang terakhir ini Parno dibuat kikuk dan jengah.

“Jadi maksudnya bagaimana, Pak?” tanya Parno ingin tahu lebih jelas.

“Maksudnya begini, Pak Parno akan didaftar sebagai anggota warga miskin yang nantinya mendapat bantuan dari pemerintah. Mulai dari bantuan kompensasi BBM atau BLT, beras murah, jaminan kesehatan, bantuan perbaikan rumah, bantuan modal usaha, dan banyak lagi…!” terang Pak Heru bersemangat.

“Tapi, Pak…?” Belum selesai Parno berkata Pak Sastro sudah menyela.

“Pak Parno tak usah bingung. Pokoknya sampeyan tinggal tanda tangan di sini. Nanti semuanya kami yang mengurus. Semua bantuan ini bentuknya hibah alias gratis. Pak Parno tentu senang kan, kalau bisa mendapatkan bantuan uang cuma-cuma?”

“Bukan hanya sampeyan saja yang mendapatkannya, beberapa warga yang lain juga. Tapi karena Pak Parno yang paling miskin di kampung ini, maka nanti saat disurvei rumah bapak yang didatangi, biar meyakinkan!” tegas Pak Heru.

“Satu lagi, jika nanti kampung kita ini ditetapkan sebagai kampung miskin, maka beberapa bantuan lain akan mengalir ke sini. Pemerintah akan lebih memperhatikan warga di kampung ini. Kita nanti bisa minta bantuan pengaspalan jalan kampung, pembangunan jembatan, pembangunan fasilitas umum seperti MCK, sarana olah raga, bantuan pupuk, benih padi, dan lain sebagainya. Semua itu untuk kepentingan kita bersama. Jadi semuanya bisa ikut merasakan hasilnya!” sambung Pak Sastro.

“Benar, Pak Parno! Semua ini demi kepentingan bersama!”

Karena terus didesak, akhirnya Parno membubuhkan tanda tangan. Bukan karena senang akan mendapat bantuan, tapi dia tidak mau dituduh tidak menurut pada perintah atasan. Dia tidak mau dianggap tidak ‘memikirkan kepentingan bersama’. Saat dia membaca daftar nama orang-orang yang dimasukkan dalam proposal bantuan ke pemerintah, beberapa diantara mereka bisa dibilang tidak miskin. Hanya segelintir saja yang bisa dianggap tidak mampu; yakni janda Yu Juariah, mbah Gimin, Tarjo, dan Wagimin. Tapi sebenarnya mereka pun bisa dibilang tidak miskin, karena punya sawah dan rumah sudah permanen!

Beberapa waktu kemudian… Warga yang pernah didata sebagai rakyat miskin mendapat bantuan kompensasi BBM atau BLT. Mereka yang mendapatkan tentu saja sangat senang. Tak terkecuali istri dan anak Parno. Begitu pun ketika datang bantuan beras untuk rakyat miskin (Raskin) yang dijual dengan harga murah Rp. 1000.-/per kilogram atau minyak tanah murah. Juga bantuan lainnya yang ditujukan pada warga miskin. Mereka yang sebenarnya tidak miskin, tapi beruntung didaftar jadi orang miskin, ikut bersuka cita!

Tapi tidak demikian dengan Parno. Hatinya galau dan gundah. Ada yang menyesak dalam dada. Saat menerima bantuan kompensasi BBM, uangnya dipotong oleh Pak Kadus dan Pak RT dengan alasan untuk membangun pos siskamling dan dibagi rata dengan warga lain yang tidak mendapatkan. Jumlah potongan tak tanggung-tanggung, seperempat dari total bantuan. Jika dikumpulkan semua jumlahnya jutaan rupiah. Warga penerima pun tidak protes, karena takut dikira tidak tahu terima kasih. Mereka pun tidak bertanya lagi, berapa dan ke mana sisa uang untuk membangun pos siskamling.

Hal sama terjadi ketika turun bantuan beras murah, minyak murah, dan bantuan lainnya. Hampir selalu semua bantuan itu dipotong atau dikurangi takarannya dengan alasan dimasukkan kas desa, padahal bukan rahasia lagi bila uang itu masuk kantong Pak Kadus dan Pak RT. Tiba-tiba Parno jadi sadar, dia menyesal didata sebagai rakyat miskin. Karena namanya dicatut oleh oknum pejabat desa agar mendapat dana bantuan, yang ternyata tidak 100 % masuk kantong rakyat miskin. Ini sama saja pungli alias korupsi!

Maka, ketika suatu hari Pak Heru dan Pak Sastro datang ke rumahnya dengan membawa kabar gembira bahwa dirinya mendapat bantuan dana perbaikan rumah sebesar dua juta rupiah, Parno tidak langsung menyambut gembira. Malah dengan tegas dia menolak menerimanya. Bukan dirinya sombong dan angkuh, tapi dia tak mau jadi alat kepentingan orang lain. Dia tak mau cara seperti ini terus berlangsung. Ini namanya bukan lagi membantu mengangkat kesejahteraan rakyat miskin, tapi mengangkat kesejahteraan oknum aparat!

“Lho, kenapa Pak Parno tidak mau menerima?” tanya mereka heran.

“Karena saya bukan orang miskin!” jawab Parno tegas.

Tirtomoyo, 6 November 2008

Tidak ada komentar: