03 April 2009

Menghapus Dendam Masa Lalu

Cerpen ini menjadi Juara Harapan 4 Lomba Cerpen INTI Jakarta, Mei 2008
Oleh Eko Hartono

buka situsnya di: www.inti.or.id


Aku sudah berdiri di depan rumah sesuai alamat yang tertera di sampul surat yang kubawa. Rumah model lama yang tampak suram dan kelabu. Sempat ada keraguan menahan tanganku yang hendak mengetuk pintu. Bagaimana tanggapan si pemilik rumah setelah menerima surat ini. Marahkah? Senang? Atau sedih…?

Aku tak tahu. Aku hanya bisa bermain dengan rasa penasaranku. Aku tak mengerti, kenapa Ibu menyuruh aku mengantarkan surat ini kepada orang yang nama dan sosoknya tidak pernah kukenal. Ibu tidak menjelaskan siapa orang itu. Beliau hanya bilang, berikan surat ini bila ibu sudah tidak ada. Aku pun menurut.

Maka, ketika ibu kemudian meninggal oleh kanker ganas yang lama bersemayam dalam tubuhnya, aku pun segera melaksanakan amanatnya. Itu pun selang beberapa minggu setelah beliau tiada. Secara tidak sengaja aku menemukan sepucuk surat di dalam laci saat membersihkan kamar. Aku baru teringat pesan Ibu.

Aku sempat berputar-putar mencari alamat sebelum menemukan rumah itu. Dari orang-orang yang kutemui di jalan, kudapatkan informasi bahwa pemilik rumah sepasang suami istri yang sudah tua. Mereka hidup berdua tanpa anak. Aku bingung, apa hubungan almarhumah Ibu dengan pemilik rumah. Famili? Saudara? Ataukah…?

Aku hanya bisa meraba-raba. Banyak hal dari diri ibu yang tidak kuketahui. Ibu pandai menyimpan rahasia. Bahkan hingga akhir hayatnya, banyak rahasia yang tersimpan rapi. Salah satunya tentang riwayat hidup almarhum Bapak dan penyebab kematiannya. Ibu hanya bilang; bapak meninggal karena kecelakaan. Tidak dijelaskan kecelakaan apa…

Ketika aku beranjak dewasa —usiaku sekarang sudah menginjak 28—, mulai kusadari ada yang janggal. Aku merasa ada yang disembunyikan dari kehidupan almarhum bapak. Apalagi aku mendengar selentingan kalau bapak dulu punya banyak musuh. Aktivitas bapak di sebuah LSM menyebabkan beliau sering bersinggungan dengan pihak lain, terutama yang berbeda kepentingan.


Aku dilibat rasa penasaran tentang jati diri Bapak. Tapi rasa penasaranku selalu terbentur tembok raksasa kebisuan Ibu. Perempuan itu berulangkali menegaskan bahwa suaminya tidak punya musuh. Almarhum suaminya orang yang alim, ramah, supel, dan punya banyak kawan. Beliau tidak pernah berkonflik dengan orang lain. Jika ada yang menganggap beliau punya musuh, itu hanya prasangka dan pandangan sempit dari segelintir orang yang tidak suka padanya.

Sebagai aktivis kemanusiaan dan sering membela hak-hak kaum tertindas, wajar bila almarhum sering berhadapan dengan pihak penguasa. Namun hal itu, menurut Ibu, tidak menjadikan almarhum bersikap konfrontatif apalagi menciptakan permusuhan. Dalam mengemban tugasnya, almarhum lebih banyak menggunakan pendekatan kemanusiaan dan musyawarah.

Sebab, banyak korban kekerasaan yang diakibatkan konflik politik atau kebanalan massa menderita secara psikis dan finansial. Mereka –keluarga korban— sebenarnya menyadari bahwa semua ini sudah menjadi risiko sebuah perjuangan. Namun yang diinginkan mereka adalah keadilan dan pemenuhan hak-hak sebagai manusia merdeka. Kenyataan bahwa mereka masih diperlakukan tidak adil, hal inilah yang sering memicu api dendam tak berkesudahan.

Aku menarik napas panjang. Sering hatiku sedih bila mengingat kenangan tentang almarhum bapak. Banyak hal yang belum kuketahui tentang beliau, tapi segalanya terenggut begitu cepat. Aku masih duduk di bangku kelas enam SD saat bapak meninggal. Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang kutahu, pada suatu siang jenasah bapak diantar ke rumah oleh serombongan orang.

Di kepala bapak masih terlilit kain bertuliskan lembaga yang dipimpinnya. Menurut kabar, bapak ambruk di tengah massa yang sedang berdemo di jalan menentang kenaikan harga BBM. Acara demo berubah rusuh. Entah, apa yang terjadi bapak sudah terkapar di tengah jalan. Ada yang bilang bapak terinjak-injak massa, ada yang mengatakan terkena peluru petugas, ada lagi yang bilang ditusuk seseorang tak dikenal, dan… entah berapa banyak versi beredar. Tapi Ibu selalu bilang; bapak mengalami kecelakaan!


Tiba-tiba pintu terkuak. Seorang perempuan tua dengan rambut yang sudah memutih, wajah penuh keriput, dan tubuh garing berdiri di hadapanku.

“Assalamualaikum…!” sapaku.

“Wa’alaikumsalam…,” balasnya.

“Saya hendak menyampaikan surat.” Aku menyodorkan sepucuk surat peninggalan Ibu.

Perempuan itu menerimanya. Sejenak membaca tulisan yang tertera di sampul. Keningnya tampak berkerut, lalu menatapku dengan sorot tajam. Dia lalu mempersilahkanku masuk ke dalam. Duduk di kursi. Tapi perempuan itu tidak ikut duduk, dia malah ngeloyor ke dalam. Mungkin hendak memanggil suaminya.

Sepeninggal perempuan tua itu, aku mengambil kesempatan memandangi seisi ruangan. Tidak ada perabotan mewah, hanya ada sebuah lemari kaca hias berisi barang-barang pecah belah. Foto-foto terpajang di dinding. Juga plakat, vandel, beberapa piagam, dan tanda kehormatan. Sepertinya pemilik rumah ini bekas tentara, terlihat dari simbol militer yang tertera.

Tak berapa lama perempuan tua itu kembali bersama seorang laki-laki tua yang juga sudah beruban dan berjalan dengan menggunakan tongkat. Dia memandangku dengan sorot mata penuh selidik, mengandung kecurigaan. Dengan suara baritonnya yang cukup menggelegar dia melontarkan kata-kata yang mampu menggedor jantungku.

“Mana perempuan pelacur itu? Kenapa dia tidak berani datang sendiri ke sini?!” nada suaranya mengandung kebencian dalam.

“Maaf, siapa yang bapak maksud perempuan pelacur?” tanyaku hati-hati.

“Siapa lagi kalau bukan perempuan yang mengirim surat ini. Hei, ada hubungan apa kamu dengan perempuan itu?”

Aku tersentak kaget. Wajahku seketika memerah bara mendengar ibuku disebut pelacur. Lancang betul mulut orang tua ini, mengatakan perempuan yang kupuja sepanjang hayatku sebagai dewi dengan sebutan pelacur. Baru kali ini aku mendengar ada orang menghina ibuku, apalagi setelah beliau tiada. Sungguh, darahku rasanya mendidih, meruap hingga ke ubun-ubun.

“Bapak jangan sembarangan bicara! Seenaknya saja bapak menghina ibu saya! Jika tidak ingat bapak sudah tua renta, sudah saya pukul mulut bapak!” geramku sambil mengepalkan tangan.

“Apa?! Kamu anaknya…?” Ada nada terkejut dari ucapan orang tua itu. Matanya melotot. Dia lalu menoleh kepada istrinya. Ekspresi perempuan tua itu serupa, menampakkan kekagetan.

“Saya tidak mengira kalau kedatangan saya ke sini hanya akan menerima cercaan. Jika bukan karena amanah ibu untuk menyampaikan surat itu sepeninggalnya, mungkin saya tak sudi datang ke sini. Tapi setelah saya tahu sambutan pemilik rumah seperti ini, sungguh saya sakit hati. Maaf, saya tidak bisa berlama-lama. Permisi!” ujarku dengan marah seraya bangkit dari tempat duduk, hendak pergi meninggalkan kakek sinting itu.

Tapi sebelum kakiku melangkah keluar, nenek tua itu menahanku. “Sebentar, Nak. Duduklah dulu. Kami ingin bicara denganmu,” ucapnya dengan suara lembut.

Entah, karena tersihir oleh suaranya yang lembut atau karena kulihat ekspresi kedua orang tua itu berubah pias nyaris pucat, aku pun menurutinya. Aku kembali duduk dengan perasaan dongkol. Kedua orang tua itu ikut duduk di hadapanku. Tapi kali ini tak kulihat kegarangan di wajah si kakek. Malah kulihat kepalanya ditekuk dalam, seolah ada yang disesalinya. Ia tidak bicara lagi. Giliran si nenek yang bicara, dengan suara agak tersendat-sendat.

“Maafkan ucapan kakek tadi. Dia terbawa emosi. Dia teringat dengan kejadian masa silam yang amat pahit,” tuturnya menerangkan.

“Tapi apa hubungannya dengan ibu saya?” gugatku.

“Ada hubungannya. Kami tak tahu, apakah ibumu pernah menceritakan hal ini. Peristiwanya sudah lama terjadi. Kira-kira tigapuluh tahun silam. Kami memiliki seorang anak laki-laki, satu-satunya. Anak itu kami besarkan dengan penuh kasih sayang. Suamiku dulunya seorang tentara. Dia ikut dalam penumpasan gerakan tigapuluh september. Suamiku amat benci dengan kaum komunis, karena keluarganya yang nasionalis telah dibantai oleh kelompok Muso dan kawan-kawannya.”

“Suamiku mengharapkan anak laki-laki kami masuk tentara dan meneruskan jejaknya sebagai abdi negara. Tapi dia tidak mau. Dia memilih masuk ke universitas dan mengambil jurusan ilmu sosial. Itulah awal perpecahan antara suamiku dan anak kami, hingga perpecahan itu semakin meruncing dan berubah menjadi pertentangan keras. Puncaknya terjadi saat anak kami memutuskan akan menikahi gadis yang dicintainya. Bagi kami sebenarnya tak bermasalah dia menikahi gadis mana pun. Tapi yang sangat mengecewakan hati kami, terutama melukai hati suamiku, gadis itu ternyata anak seorang eks Tapol. Orang yang dulu pernah membantai keluarga suamiku. Bagaimana suamiku tidak murka? Aku sudah berusaha membujuk anakku agar tidak meneruskan keinginannya itu, tapi dia tetap bergeming pada niatnya. Dia tidak peduli meski harus diusir dari rumah dan tidak diaku sebagai anak. Dia membuktikan ucapannya itu dengan pergi dari rumah dan menikah diam-diam. Hingga sekarang dia tidak pernah kembali ke rumah ini. Kamu tahu, siapa anak kami itu? Dialah suami perempuan yang mengirim surat ini. Jika kamu mengaku sebagai anaknya, berarti…,” Perempuan itu tak meneruskan kalimatnya, karena air matanya keburu berhamburan.

Aku tertegun. Aku tak menyangka, inilah rahasia besar yang disimpan almarhumah Ibu. Beliau menyuruhku mengantar surat ke rumah ini bukan tanpa tujuan. Dia sepertinya ingin mengenalkan aku kepada kakek dan nenek, orang tua almarhum bapak. Tapi aku tak mengira, bila di balik bersatunya bapak dan ibu dalam ikatan pernikahan tersembunyi riwayat hidup yang amat pahit.

Aku jadi kikuk harus menerima orang tua di hadapanku ini sebagai kakek dan nenek. Apalagi masih membekas ucapan pedas si kakek tadi terhadap ibuku. Rasanya aku masih belum bisa menerima.

“Jadi, kakek dan nenek ini orang tua bapak?” ucapku datar.

“Ya! Kami adalah kakek dan nenekmu,” sahut si nenek.

“Bapak sudah lama meninggal. Ibu menyusul sebulan lalu. Aku adalah anak satu-satunya. Ibu tidak pernah bercerita kalau almarhum bapak ternyata masih punya orang tua…”

“Mungkin ini sudah takdir kita dipertemukan dalam keadaan seperti ini.”

“Apakah kakek dan nenek sudah membaca surat ibu itu?” Nenek menoleh kepada kakek. Sepertinya mereka belum sempat membacanya.

“Bukalah, Kek. Bacalah isinya keras-keras, biar aku ikut mendengar…” Kakek menuruti nenek. Dia membaca surat yang baru dibuka itu.

“Bapak dan ibu yang saya hormati, Sebelumnya saya minta maaf bila dengan lancang menulis surat ini. Sebenarnya sudah lama saya ingin menyampaikannya. Saya tahu, bapak dan ibu masih marah dan membenci saya. Tapi tahukah bapak dan ibu, hati saya pun masih marah dan benci jika mengingat peristiwa lalu. Jika bapak dan ibu menyimpan dendam karena keluarga bapak dan ibu pernah dibantai oleh leluhur saya, maka demikian pula saya menyimpan dendam karena orangtua dan kerabat saya yang tidak bersalah dibantai oleh tentara hanya karena kami dari keluarga yang pernah tergabung dalam partai komunis. Apakah kita selamanya akan saling melestarikan dan memelihara dendam ini? Maka, melalui surat ini saya ingin menyampaikan keinginan untuk mengubur dalam-dalam dendam yang masih tersisa dan melupakan semua yang pernah terjadi. Kenapa kita harus saling membenci dan bermusuhan hanya karena dosa yang dilakukan orang-orang tua kita dulu? Perkawinan saya dengan mas Hardi sesungguhnya tak lain sebagai upaya ingin memadamkan api dendam diantara kita. Bukankah kita ini sama-sama anak bangsa, lahir dari perut ibu pertiwi? Kenapa kita tidak bisa melupakan kejadian lalu dan memulai lembaran hidup yang baru? Semoga bapak dan ibu bisa mengerti. Bersama surat ini pula saya hantarkan anak laki-laki buah cinta kami yang terlahir dari darah dua keluarga yang pernah menyimpan bara api dendam. Dia adalah simbol cinta kasih dan perdamaian. Dia adalah perwujudan bersatunya dua keluarga. Mudah-mudahan bapak dan ibu mau mengakuinya sebagai cucu, darah daging bapak dan ibu…Hormat saya,Ratih.”

Usai membacakan surat itu, kulihat wajah kakek bersimbah air mata. Begitu pun nenek. Sementara aku dibekap rasa haru. Tiba-tiba kakek memandangku sambil tersenyum.

“Kemarilah, cucuku. Biarkan aku memelukmu. Kamu adalah pengganti anakku yang pernah hilang…,” ucapnya.

Aku menuruti permintaannya. Aku mendekat dan memeluknya hangat. Kurasakan pelukan kakek begitu erat, seakan tak ingin melepaskanku. Kurasakan dadanya terguncang. Suara tangisnya tertahan. Aku pun tak bisa menahan luh meleleh dari mataku. Bisa kurasakan hati kakek yang damai dan bahagia. Telah luruh api dendam dan kebencian dari dalam hatinya. Terima kasih, Tuhan!

Tirtomoyo, 11 Februari 2008

Tidak ada komentar: