09 Januari 2011

Kenaifan Yudhistira

OLEH EKO HARTONO
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu, 2 Januari 2011


Kegelisahan membayang di wajah Yudhistira. Berkali-kali ia menarik nafas dalam, seakan hendak menghilangkan beban yang menghimpit dadanya. Namun beban itu tak jua lenyap, bahkan kian menumpuk dan bertambah.

“Bagaimana, Kakang. Apakah kita akan meneruskan permainan ini?” cetus Arjuna membuyarkan lamunan Yudhistira.

“Menurutmu bagaimana, Arjun?” Yudhistira balik bertanya.

“Kita sudah kehilangan semuanya, Kakang. Harta benda, prajurit, dan bahkan kerajaan kita telah lenyap. Kita sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Kita sudah kalah, jadi apalagi yang bisa kita lakukan…?” jawab Arjuna dengan lesu.

“Benar, Kakang Yudhistira. Tak ada yang bisa kita pertaruhkan lagi. Kita sudah kalah!” sambung Bima dengan wajah muram.

“Sebaiknya kita mengundurkan diri saja, Kakang,” Nakula berkata lirih.

“Kita harus legawa…,” ucap Sadewa terdengar pasrah.

Ucapan saudara-saudaranya itu terasa mengiris hati Yudhistira. Sungguh, rasanya masih sulit baginya menerima kenyataan pahit ini. Pandawa yang selama ini dikenal sakti mandraguna, kesatria pilih tanding, dan tak terkalahkan, tiba-tiba harus menerima kenyataan menjadi pecundang. Mereka bisa dikalahkan oleh Kurawa, bahkan dengan cara yang sangat mudah; bermain dadu!

Ada perasaan sedih, kecewa, dan sesal menekan dada Yudhistira. Namun juga ada rasa penasaran membayangi hatinya. Bagaimana mungkin dirinya bisa kalah dari Duryudana. Padahal bermain dadu adalah kesukaannya. Dia yakin benar bisa mengalahkan saudara sepupunya yang sebenarnya bodoh itu. Duryudana tak becus bermain dadu. Semestinya aku yang menang, batin Yudhistira masih diliputi sangsi.

Saran dari saudara-saudaranya agar dirinya mundur dari permainan itu justru membuatnya semakin tertekan. Haruskah aku menghentikan permainan ini dan pulang dengan kepala tertunduk? Apa kata orang-orang di luar sana jika tahu Pandawa telah dikalahkan oleh Kurawa? Dimana wibawa dan kehormatan kami akan diletakkan? Oh, tidak! Aku tak sanggup melihat keluargaku dihinakan!

Aku harus kembalikan lagi wibawa dan kehormatan Pandawa, bagaimana pun caranya! Kata raja Indraprastha itu dalam hatinya bertekad.

Tiba-tiba ingatannya melayang pada pertemuannya dengan Sengkuni belum lama ini. Sengkuni menawarkan sebuah tantangan baru.

“Kamu memang sudah kehilangan semua harta kekayaanmu dan kerajaanmu, Yudhistira. Tapi kamu masih memiliki dirimu, saudara-saudaramu, dan juga istrimu. Kamu masih memiliki harta yang lebih berharga dari apa pun. Kenapa tidak kamu taruhkan semua itu?” ujar Sengkuni bernada membujuk.

“Bagaimana mungkin aku mempertaruhkan diriku dan keluargaku, Paman? Itu sama halnya merendahkan keluargaku sendiri,” sahut Yudhistira.

“Tapi hal itu juga bisa mengembalikan kehormatan keluargamu. Kamu mesti ingat, anak-anak Pandu adalah keluarga terhormat. Bagaimana mungkin kalian keluar dari arena permainan ini sebagai pecundang. Seharusnya kalian berjuang sampai titik darah penghabisan untuk menegakkan kehormatan. Di mana jiwa kesatria kalian?”

Ucapan Sengkuni itu terasa membakar jiwa Yudhistira. Dia tak mau dianggap pecundang dan tidak kesatria. Dia tidak akan menyerah begitu saja. Maka, ketika dirinya didesak oleh saudara-saudaranya untuk mundur dari permainan dadu, hati Yudhistira menjadi galau. Dia teringat kata-kata Sengkuni. Dia tidak mungkin meninggalkan gelanggang tanpa kehormatan. Dia akan rebut kembali kehormatan itu.

“Tidak! Kita tidak akan mundur, kita akan teruskan permainan ini!” ujar Yudhistira tiba-tiba mengejutkan saudara-saudaranya.

“Tapi kita sudah tidak punya apa-apa lagi, Kakang?” tukas Bima.

“Kita masih punya harta yang belum dipertaruhkan, yakni diri kita. Aku akan pertaruhkan diri kita dengan mereka!” tegas Yudhistira.

“Apa, Kakang? Kakang akan mempertaruhkan diri kita semua?” cetus Arjuna seperti tak percaya.

“Ya! Aku akan pertaruhkan diri kita semua, bahkan termasuk istriku Drupadi. Karena hanya itu satu-satunya jalan untuk mengembalikan kehormatan keluarga kita. Aku tak mau kehilangan muka di hadapan rakyat Indraprastha!”

“Tapi, Kakang Yudhistira, berulangkali kakang kalah dalam permainan dadu dengan Kakang Duryudana. Bagaimana kalau kakang kalah lagi?” ujar Nakula mengingatkan.

“Betul, Kakang! Jika kakang kalah, maka habislah kita. Kehormatan kita akan dilemparkan ke dasar jurang paling dalam!” tandas Sadewa.

Yudhistira terdiam. Hatinya menjadi bimbang. Dirinya seperti berada di tengah persimpangan. Bingung untuk menentukan pilihan.

“Pertimbangkan masak-masak keputusan kakang itu, jangan menuruti hawa nafsu. Kakang adalah orang yang sabar dan bijaksana. Seharusnya kakang bisa mengambil sikap yang lebih arif. Permainan dadu sesungguhnya adalah perjudian, dan perjudian selalu membawa akibat yang tidak baik!” tutur Arjuna berusaha mengingatkan saudaranya.

Perkataan Arjuna itu seperti menampar kesadaran Yudhistira. Selama ini orang mengenal dirinya sebagai pemimpin yang sabar, jujur, arif, dan bijaksana. Keputusannya menerima tantangan bermain dadu dari Duryudana semata dilandasi keisengan semata. Hanya sebagai hiburan. Namun tanpa sadar permainan itu telah menyeretnya sangat jauh.

Sebagai seorang raja pantang baginya menarik ucapan. Dia sudah terlanjur terjebak dalam permainan itu. Dia pun tak bisa berhenti begitu saja hanya karena kehilangan harta benda. Diibaratkan sebuah perang, dirinya menyerah di tengah jalan. Di mana jiwa kepatriotan untuk rela mengorbankan jiwa dan raganya demi sebuah kejayaan? Hanya seorang pengecut yang pantas mundur dari ajang peperangan!

“Baiklah, aku akan turuti kalian mundur dari arena ini tapi dengan syarat kalian bisa mengembalikan milik kita yang telah hilang. Dan lebih penting lagi bisa mengembalikan kehormatan kita. Bagaimana, kalian sanggup?” ujar Yudhistira malah menantang saudara-saudaranya.

Bima dan ketiga adiknya saling pandang. Mereka pun hanya bisa diam, karena tak tahu apa yang mesti dilakukan. Melihat adik-adiknya membisu, Yudhistira kembali melanjutkan kata-katanya. “Aku tahu, ini memang sangat berat. Tapi kita tak punya pilihan lain. Sudah terlanjur basah kita menempuh jalan ini. Sekuat tenaga kita harus memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Jangan sampai kita dicap pengecut dan pecundang. Kita belum sepenuhnya kalah, kita hanya belum mendapatkan kesempatan untuk menang. Jika kita mau bersungguh-sungguh, kita pasti menang!”

Kata-kata Yudhistira itu tak bisa dibantah lagi. Apa yang diucapkan Yudhistira sangat masuk akal. Terlebih sebagai saudara tertua dan seorang pemimpin dia paling berhak mengambil keputusan. Bima dan adik-adiknya hanya bisa menurut dan pasrah atas keputusan kakak mereka untuk melanjutkan permainan. Dengan dipenuhi perasaan tak menentu mereka melangkah memasuki arena permainan dadu di balairung istana Hastinapura. Semua orang sudah menunggu mereka.

Tapi takdir akhirnya berbicara bahwa Yudhistira memang bukan pemain ulung dalam permainan dadu. Dia kembali kalah karena kepandaian dan kelicikan Sengkuni yang pintar memainkan dadu. Kini Pandawa benar-benar telah kehilangan kehormatannya, karena jiwa dan raga mereka telah diserahkan pada Kurawa. Bahkan mereka harus rela menyaksikan Drupadi dilecehkan dan dipermalukan oleh Dursasana di muka umum.

Pada saat inilah Yudhistira menyadari kenaifan dan kekhilafannya. Betapa bodoh dirinya karena mudah terpancing provokasi dan bisikan yang menjerumuskan. Sebagai pemimpin ia terlalu yakin pada ucapannya tanpa mau mendengar masukan dari orang-orang yang dipimpinnya. Kenyataan ini menyadarkannya bahwa seorang pemimpin bisa saja berbuat salah! (*)

Tirtomoyo, 16 Desember 2010

Tidak ada komentar: