23 Februari 2009

Cermin Retak

Cerpen ini pernah dimuat harian Koran Merapi, Minggu, 11 Januari 2009
Oleh Eko Hartono

Di kampung kami ada aturan tak tertulis yang berbunyi; siapa saja warga yang ketahuan selingkuh apalagi sampai berzinah, maka hukumannya membayar denda yang besarnya sudah ditentukan. Denda itu bisa berupa membayar uang atau barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Seperti membangun jalan, jembatan, masjid, atau sarana umum lainnya. Anehnya, yang kena sanksi semacam itu hanya mereka yang berzinah, bukan yang mencuri, berjudi, atau mabok. Sepertinya hanya perbuatan berzinah saja yang paling besar dosanya. Kriteria berzinah pun tak pandang bulu, tak peduli itu yang sudah berumah tangga atau yang masih bujangan alias berpacaran.
Maka, jangan heran jika datang ke kampung kami, tak akan dijumpai muda-mudi bergandengan tangan di jalan. Kampung kami steril dari yang namanya pergaulan bebas. Apakah itu berarti orang-orang di kampung kami sangat sholeh dan alim? Tidak juga! Nyatanya, kegiatan berjudi dan mabok-mabokan malah merajalela. Tak ada sanksi apa pun terhadap kegiatan maksiat itu. Hal ini mungkin berangkat dari kebiasaan orang-orang di kampung kami yang gemar berjudi dan minum minuman keras. Meski mereka tahu hal itu melanggar KUHAP, namun mereka tetap menjalaninya. Mereka tidak takut digrebek atau ditangkap petugas. Mereka memiliki beking dan berani menyuap petugas untuk melancarkan kegiatan itu. Mereka juga berdalih bila kegiatan judi sudah menjadi bagian dari adat tradisi mereka. Biasanya dalam acara hajat perkawinan, khitanan, sepasaran bayi, dan upacara-upacara lainnya selalu diramaikan dengan kegiatan berjudi.
Bahkan oleh yang punya rumah disediakan tempat, sehingga aparat kepolisian pun jadi serba salah untuk menangkap. Pernah ada oknum polisi yang mencoba membubarkan kegiatan judi di suatu acara hajatan warga, tapi alih-alih dapat simpati dia malah kena batunya. Warga kami tidak terima dan menyerbu kantor polisi setempat. Esoknya, sang oknum polisi dimutasi! Begitulah. Kegiatan maksiat yang sebenarnya melanggar undang-undang dan ajaran agama itu masih tetap berkembang subur di kampung kami. Tak ada yang berani menghalangi, apalagi merubahnya. Alih-alih kegiatan yang merusak moral dan akhlak itu diberantas, bahkan diuri-uri dan dilestarikan. Setiap kali ada acara hajatan di rumah warga dan di situ digelar kegiatan perjudian, anak-anak kecil dan remaja banyak yang ikut menonton. Dari sekadar penonton, mereka lalu ikut-ikutan menjadi pemain. Mula-mula ikut masang pada judi dadu, kemudian berkembang ikut main sam gong atau judi ceki (pakai kartu-pen.). Jadi, apakah bisa dikatakan warga kampung kami adalah orang-orang alim? Orang-orang sholeh? Nanti dulu!
Memang kesannya mereka orang-orang yang baik. Mereka pun sesekali ikut sholat di masjid, bahkan saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, jamaah yang ikut sholat membeludak, memenuhi lapangan. Tapi hal itu tidak bisa jadi ukuran mereka mena’ati perintah Tuhan. Meskipun di kampung kami diberlakukan aturan dilarang berzinah, tapi hal itu tidak lantas menjadikan mereka bersih dari dosa. Apa bedanya berjudi dan mabok-mabokan dengan berzinah? Keduanya sama-sama berdosa! Konon, kebiasaan berjudi dan mabok-mabokan ini pun sebenarnya datang dari sikap egoisme dan arogansi kaum laki-laki. Karena kebanyakan mereka suka berjudi, dan biasanya hal itu berlangsung pada malam hari, maka agar istri-istri mereka yang kesepian di rumah tidak diganggu oleh orang lain diberlakukanlah larangan itu. Jadi semua ini sekadar memenuhi kesenangan kaum laki-laki. Banyak wanita dan istri yang merana akibat kebiasaan suami mereka yang tidak baik ini. Begitu kecanduannya pada judi, mereka jadi malas bekerja. Mereka menggantungkan nasib pada angan-angan kosong!
Tapi sebuah peristiwa menggemparkan yang terjadi pada malam itu seakan menjadi cermin retak bagi orang-orang di kampung kami. Sekelompok warga memergoki Warti berzinah dengan Marmin, laki-laki yang masih bujangan. Keduanya lalu digelandang ke rumah Pak Kepala Dusun untuk diadili. Orang-orang yang sedang asyik berjudi di rumah Pak Karyo langsung membubarkan diri dan berbondong-bondong ke rumah Pak Kadus. Mereka ikut terlibat dalam pengadilan massa. Diantara mereka bahkan ada Wakiman, suami Warti. Ketika mengetahui yang berzinah istrinya, Wakiman jadi meradang. Dia menampar dan mencaci maki istrinya. Hampir saja dia kalap membunuh sang istri, kalau saja orang-orang tak segera menghalangi. Warti yang merasa malu dengan kejadian ini hanya bisa menundukkan kepala sambil menangis. Dia tak sanggup menengadahkan wajah, menatap orang-orang yang mengerumuninya. Sementara orang-orang begitu bernafsu melontarkan umpat serapah kepadanya. Bahkan beberapa wanita yang hadir di ruangan itu ikut mencercanya.
Suasana malam yang semula hening senyap berubah gerah dan panas. Aku dan dua orang temanku, aktifis masjid, ikut menyaksikan peristiwa menghebohkan ini. Tapi kami tidak ikut-ikutan mencaci para pesakitan. Warti dan Marmin sudah cukup terpukul dengan penghakiman ini. Lagi pula belum ada bukti kuat bahwa mereka berzinah. Hanya berdasar keterangan para peronda malam yang memergoki Marmin keluar dari jendela rumah Warti. Mereka menganggap pemuda itu telah berbuat macam-macam dengan Warti.
Padahal fakta itu belum cukup menjadi dasar bahwa keduanya berzinah. Apalagi Warti dan Marmin berkali-kali menolak dituduh berzinah. Pak Kadus dan beberapa pemuka masyarakat sudah menanyainya, tapi mereka tetap membantah telah berbuat a susila.
“Omong kosong! Sudah jelas mereka berdua berbuat maksiat di dalam kamar. Mau apa Marmin masuk ke kamar Warti tengah malam melalui jendela kalau bukan mau berbuat zinah! Sudah! Dihukum saja, Pak Kadus! Keduanya harus diberi sanksi dan denda!” seru seorang warga emosional.
“Benar, Pak Kadus! Hukum yang berat!” sahut yang lain.
“Suruh mereka membayar denda sepuluh juta rupiah! Jika tidak mau, usir saja dari kampung ini!”
“Iya! Diusir saja!”
“Usiiirrr…!” Demikian terdengar teriakan dari para warga.
“Tenang, saudara-saudara! Tenang! Warti dan Marmin memang akan mendapat hukuman atas perbuatan mereka melanggar aturan adat. Tapi kita mesti berembug dulu menentukan besarnya denda bagi mereka!” sahut Pak Kadus.
“Sepuluh juta saja!” “Dupuluh juta…!”
“Seratus juta…!”
Aku tak tahan mendengar celotehan orang-orang yang tidak karuan. Mereka melontarkan ucapan dengan seenaknya tanpa mempedulikan dan menghargai perasaan para terdakwa yang juga butuh didengarkan.
“Maaf, Pak Kadus. Sebelum menjatuhkan hukuman, apakah tidak sebaiknya kita dengarkan pengakuan Warti dan Marmin. Kita juga harus beri mereka kesempatan menyampaikan pembelaan,” kataku mengusulkan.
“Alaah, kenapa orang bersalah harus dibela? Jangan-jangan kamu juga ikut mencicipi tubuhnya?” celetuk seseorang dengan sinis. Perasaanku kecut mendengar ucapan orang itu, tapi aku tak mau terpancing emosi. Pak Kadus tampaknya mau mendengar usulku. Dia kembali menanyakan kepada para terdakwa.
“Baiklah, sebelum hukuman dijatuhkan, silahkan kalian melakukan pembelaan,” ujarnya kepada Warti dan Marmin.
Sejenak Warti dan Marmin saling pandang. Warti tak mampu berucap. Marmin yang kemudian membuka suara.
“Jujur saja, Pak. Tadinya saya memang mau memakai Warti. Tapi semua itu atas ijin suaminya, Pak. Kang Wakiman yang menyuruh saya memakai Yu Warti, karena dia tidak mampu membayar hutang sama saya…,” ucap Marmin memberikan pengakuan yang amat mengejutkan.
“Bohong, Pak! Semua itu bohong! Jangan seenaknya kamu bicara, Min! Kurobek mulutmu nanti!” seru Wakiman dengan gusar.
“Buat apa saya bohong, Pak. Kenyataannya begitu. Saya ini sebenarnya cuma korban. Kang Wakiman menipu saya. Saya rugi dobel. Soalnya Yu Warti juga tidak mau melayani saya.”
“Apa yang dikatakan Marmin benar, Pak! Kang Wakimanlah yang sebenarnya menjebak kami supaya berzinah!” sambung Warti tegas.
“Kurang ajar! Beraninya kamu memfitnah suamimu sendiri?!” desis Wakiman tambah gusar.
“Diam kamu Wakiman!” gertak Pak Kadus meminta Wakiman diam. Dia lalu kembali meminta Warti untuk melanjutkan pengakuan.
Dengan nada terbata-bata, karena tak kuat menahan perasaan, Warti kemudian mengungkapkan sebuah kenyataan yang amat memilukan sekaligus membuka mata orang-orang akan nasib Warti yang demikian pahit. “… sebenarnya hal ini sudah berlangsung cukup lama, Pak. Tiap hari Kang Wakiman kerjanya hanya berjudi. Sudah banyak harta benda kami yang ludes dipertaruhkan di meja judi. Dia pun sering berhutang kepada teman-temannya. Karena tak mampu melunasi, dia lalu membayar dengan menyerahkan tubuh saya untuk dinikmati mereka. Kang Wakiman sengaja tidak mengunci jendela kamar kami setiap malam agar orang-orang yang dihutanginya bisa masuk ke dalam kamar dan menyetubuhi saya. Tapi saya berusaha menolak, Pak.”
“Siapa saja yang pernah memasuki kamarmu?”
“Banyak, Pak. Mulai dari Pak Sarju, Pak Soleh, Kang Mardi, Somad, Dirin, Slamet, Mukadi, Sarmo, dan…,” Warti tak melanjutkan kalimatnya. Dia hanya melirik ke arah Pak Mantri, seorang PNS yang disegani. Mereka yang disebutkan namanya pucat pasi wajahnya.
Suasana kemudian berubah seperti gemuruh kumbang. Orang-orang saling bergumam sendiri. Satu persatu meninggalkan ruangan itu. Mereka tampaknya malu telah diketahui pernah memasuki kamar Warti. Mereka yang menganggap diri mereka bersih ternyata tak ada bedanya, sama-sama berlumuran dosa. Para wanita yang tadi ikut-ikutan mencerca Warti menjadi memerah kupingnya. Mereka tak lagi mencemooh Warti, tetapi mencemooh suami-suami mereka sendiri. Akhirnya, suasana di dalam rumah Pak Kadus berubah lengang. Tinggal aku dan kedua temanku, Pak Kadus, Warti, Marmin, dan segelintir orang yang tidak tersangkut dengan kasus Warti. Entah, apakah pengadilan adat ini masih akan dilanjutkan. Jika dilanjutkan, maka yang jadi terdakwa bukan hanya Warti dan Marmin saja, tapi juga orang-orang yang pernah menyambangi kamarnya! (*)
Tirtomoyo, 23 Desember 2008

Tidak ada komentar: