05 Maret 2009

Wisrawa

Cerpen ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 9 Maret 2008
buka situsnya di: www.kr.co.id
Oleh Eko Hartono

Dewi Sukesi duduk di hadapannya dengan pandangan mata penuh harap. Wajahnya memancarkan aura kecantikan yang begitu indah, sehingga rembulan di luar pun terasa redup. Untuk beberapa saat Wisrawa, laki-laki setengah baya yang bergelar begawan itu, tertunduk. Bukan karena tak sanggup memenuhi permintaan gadis cantik di hadapannya, namun hatinya tak kuasa menahan getaran asmara yang timbul.

Berulangkali ia menekan perasaannya yang bergejolak tak karuan. Bayangan wajah putranya coba dihadirkan untuk menepis perasaan itu. Aku tak boleh goyah. Semua ini kulakukan demi Danapati. Anakku itulah yang nanti berhak menikmatinya. Bukan aku, bapaknya yang sudah bandotan! Aku tak boleh larut dalam gejolak birahi yang sudah lama kupendam di perut bumi sejak aku mengikrarkan diri menjadi pandhita. Apa kata dunia kalau pandhita seperti diriku masih tergoda oleh nafsu birahi?

“Ayolah, Kakang Wisrawa. Ajarkan aku tentang makna sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu?” ucap Dewi Sukesi dengan suaranya yang merdu merayu.

Sekali lagi kata-katanya yang merajuk itu bagai magnet yang menarik kuat hati Wisrawa. Apalagi dengan sebutan ‘kakang’ dari mulut gadis itu. Seolah memberi penegasan bahwa dirinya masih muda. Padahal usianya hampir sebaya dengan Sumali, ayah sang gadis. Wisrawa merasakan dadanya seperti membusung. Dalam hati ada bisikan menggoda. Aku memang masih muda, tubuhku masih kekar dan kuat, bahkan raksasa sakti macam Jambumangli berhasil kukalahkan. Apakah tidak terlalu dini aku madeg jadi pandhita?

“Kenapa kakang diam saja? Bukankah kakang sudah berjanji akan menerangkan kepadaku tentang makna sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu? Jika kakang tidak mau, maka kemenangan kakang dalam sayembara melawan paman Jambumangli akan kubatalkan!” ujar Dewi Sukesi mengancam. Wisrawa tercekat. Jantungnya berdetak keras mendengar ucapan Dewi Sukesi. Gawat! Jika Dewi Sukesi membatalkan sayembara yang telah dimenangkannya, bagaimana nanti dengan nasib Danapati? Dia tidak akan mendapatkan permaisuri secantik Dewi Sukesi. Karena hanya Dewi Sukesi satu-satunya perempuan paling cantik di jagad ini. Percuma dia jauh-jauh datang dari Lokapala ke Alengka bila tidak bisa memboyong perempuan itu!

“Jangan begitu, Dewi. Apa yang sudah menjadi ketetapan tak boleh dirubah. Itu namanya mengingkari janji. Para dewa bisa murka bila Dewi mengingkari janji?” kata Wisrawa mencoba mengingatkan Dewi Sukesi.

“Kakang sendiri juga tidak mau menepati janji untuk menerangkan padaku tentang sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu!”

“Ilmu itu tidak bisa sembarangan diberikan kepada manusia, Dewi. Itu ilmunya para dewa…”

“Tapi kakang sendiri memilikinya. Kalau kakang sebagai manusia saja bisa memilikinya, kenapa aku tidak?”

“Aku mendapatkan ilmu itu melalui perjalanan yang panjang, Dewi. Aku harus bertapa bertahun-tahun dan berguru langsung kepada Sang Maha Pencipta!”

“Kakang boleh mengajarkan sedikit saja dari yang kakang ketahui?”

“Tidak, Dewi. Aku tidak boleh mengajarkannya kepada siapa pun. Itu melanggar aturan. Para dewa bisa murka dan kita bisa kena kutukan!”

“Aduh, Kakang. Kenapa kakang begitu takutnya. Jika kakang memiliki ilmu yang katanya dimiliki para dewa, berarti kesaktian kakang pun setara dengan dewa. Kenapa kakang mesti takut? Jangan-jangan kakang sebenarnya tidak memiliki ilmu itu? Kakang hanya sesumbar saja! Kakang sebenarnya seorang yang pengecut!”

Mendengar tuduhan Dewi Sukesi yang bernada menyangsikan itu, hati Wisrawa terguncang. Dia merasa tertantang. Dirinya sudah dikenal seantero jagad sebagai pandhita yang jujur dan berbudi luhur. Tidak ada seorang pun yang meragukan kapasitas ilmunya. Bahkan sahabatnya Sumali, sangat hormat dan mengakui ketinggian ilmunya. Tapi sekarang, ada anak kemarin sore yang tiba-tiba meremehkan dan melecehkan dirinya! Jika bukan datang dari Dewi Sukesi, mungkin sudah ditamparnya dengan keras mulut yang berani berkata seperti itu. Wisrawa berusaha menahan diri. Namun ucapan Dewi Sukesi itu justru semakin menyudutkan dirinya. Jika aku tidak memenuhi permintaannya, gadis itu akan kecewa dan ujung-ujungnya gagal rencanaku untuk mempersembahkannya kepada Danapati, putra kesayanganku. Padahal aku sudah berjanji akan memboyong putri dari Alengka itu untuk mendampinginya sebagai permaisuri di Lokapala!

Wisrawa beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju ke jendela. Matanya menerawang jauh ke langit malam yang gulita. Hatinya diliputi galau dan resah. Ada dua bisikan yang bertarung dalam hatinya. Satu bisikan menahannya agar tidak memenuhi permintaan Dewi Sukesi. Kau seorang pandhita yang wasis wasisa, Wisrawa! Kenapa kau harus tunduk kepada permintaan gadis belia yang hanya menuruti hawa nafsu dan kesenangan belaka? Harusnya kau menuntunnya menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, bukan malah memanjakannya dengan kemudahan yang menyesatkan!

Sementara di sisi lain hatinya ada bisikan yang menggoda; Kau benar-benar manusia tolol yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan, Wisrawa! Kenapa kau harus ragu dan bimbang. Apa salahnya menuruti keinginan Dewi Sukesi? Apakah kau tega membiarkan putri yang cantik jelita itu patah hatinya? Jika ia tak bisa kau dapatkan betapa ruginya kau! Seumur hidup kau akan menyesali dirimu sendiri. Kesempatan tidak datang untuk kedua kali. Keberuntungan hanya datang sekali seumur hidup!

Dua bisikan yang saling tarik menarik itu bertarung hebat. Akhirnya, bisikan yang menggoda mengalahkan hatinya. Ia mau menuruti keinginan Dewi Sukesi. Namun dia meminta agar Dewi Sukesi tidak akan membocorkan rahasia ilmu ini kepada siapa pun. Dewi Sukesi merasa senang dan lega hatinya. Ia berjanji tidak akan memberitahukan ilmu ini kepada siapa pun. Untuk menegaskan sikapnya, Dewi Sukesi lalu menutup semua lubang yang ada di kamar itu. Mulai dari pintu, jendela, dan angin-angin.

Kini hanya mereka berdua di ruangan itu, tidak ada seorang pun yang tahu dan bisa melihat apa yang mereka lakukan dan bicarakan di dalam. Tindakan Dewi Sukesi itu sempat membuat hati Wisrawa masygul. Keberadaannya berdua saja dengan Dewi Sukesi yang cantik jelita di tempat sepi ini justru mengundang hasrat kelelakiannya. Sudah lama ia tak berhubungan dengan perempuan semenjak ibu Danapati tiada!

“Apakah tidak terlalu berlebihan kalau semuanya harus ditutup, Dewi?” ujar Wisrawa.

“Tidak, Kakang! Bukankah kakang menginginkan hanya aku yang mendengarkan wejangan tentang sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu? Jadi tak kubiarkan angin menguping, rembulan mengintip, bahkan seekor nyamuk pun tak kuijinkan masuk!” tegas Dewi Sukesi dengan kenes.

Wisrawa tertegun, menelan ludahnya. Tingkah dan gerak-gerik Dewi Sukesi yang baru tumbuh dewasa itu memang menggemaskan hati!

“Baiklah, Dewi. Aku akan terangkan tentang sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu itu…,” kata Wisrawa kemudian mulai menuturkan tentang ilmu sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu. Ilmu yang sebenarnya tergolong top secret, tidak sembarangan bisa diajarkan kepada manusia.

Hingga semalam suntuk Wisrawa menerangkan tentang sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu. Wisrawa yang pada dasarnya sudah putus ing ngelmu atau menguasai segala ilmu dengan lancar menuturkannya. Dia lupa pada kodratnya sebagai pandhita-brahmana yang semestinya bisa bersikap bijaksana dan menahan diri dari segala godaan. Dia terpengaruh oleh bujukan dan rayuan Dewi Sukesi yang sanggup meruntuhkan keteguhan hatinya.

Sementara Dewi Sukesi yang sudah lama penasaran ingin mengetahui tentang ilmu paling tinggi sejagad itu terhanyut dan terbuai oleh penuturan Wisrawa. Hatinya bukan hanya tertambat pada ilmu yang diwejangkan oleh Wisrawa, tapi juga pada sosok Wisrawa yang tampan, gagah perkasa, dan berilmu tinggi. Sungguh, belum pernah ia bertemu laki-laki seperti Wisrawa. Laki-laki itu begitu sempurna sebagai manusia. Gagah, tampan, sakti, dan berilmu tinggi. Pribadinya juga sangat luhur dan penuh pekerti.

Hati Dewi Sukesi bergetar menatap Wisrawa. Gejolak birahinya sebagai gadis muda menggetarkan seluruh syarafnya. Dorongan hasrat birahi yang membara itu membuatnya tak kuasa menahan diri. Dia lalu mendekat dan menyentuh tangan sang Begawan. Dia menurunkan badannya agar tampak terlihat buah dadanya yang membusung dan membiarkan pahanya yang terbelit kain tersingkap untuk memancing kelelakian Wisrawa. Laki-laki yang lama tak pernah merasakan sentuhan perempuan itu tergetar hatinya oleh perbuatan Dewi Sukesi.

“Jangan, Dewi…! Kau tidak boleh berlaku seperti itu. Kau tidak boleh menggoda pandhita!” ujar Wisrawa menepis sentuhan tangan Dewi Sukesi.

“Kenapa, Kakang? Aku jatuh hati pada kakang. Sungguh, aku kagum pada kakang Wisrawa. Segala hal yang kuidamkan pada diri seorang laki-laki ada pada diri kakang Wisrawa. Aku rela menyerahkan dan menghambakan diriku pada kakang…,” ucap Dewi Sukesi dengan suara syahdu merayu.

“Tapi kau akan kujodohkan dengan Danapati anakku. Diriku sudah tua, tak pantas untukmu!”

“Siapa bilang kakang sudah tua? Kakang masih cukup muda. Kakang masih gagah perkasa. Lagi pula sudah menjadi sumpahku bahwa yang memenangkan perang tanding melawan paman Jambumangli dan bisa menerangkan tentang sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu yang berhak memperistri aku. Jadi kakang Wisrawalah yang harus mengawini aku, bukan putra kakang. Danapati bisa dicarikan gadis lain untuk dijadikan permaisuri. Sebagai anak, dia tentu tidak akan menolak dan akan berbakti kepada orangtuanya!”

Entah, karena terpengaruh oleh kata-kata Dewi Sukesi atau hatinya sudah tak kuat menahan getaran asmara yang menggelegak, Wisrawa pun hanyut oleh gelombang nafsu birahi. Dia tak mampu mengelak ketika Dewi Sukesi mengajaknya berenang di lautan asmara. Keduanya hanyut ditenggelamkan oleh api cinta yang membakar. Langit di luar semakin tampak kelam, rembulan pun pudar.

Tiba-tiba terdengar gelegar petir menyambar, seolah menumpahkan murka para dewa. Ketika semuanya berakhir, Wisrawa pun tersadar dan menyesali diri. Namun nasi sudah menjadi bubur, kutukan para dewa terlanjur meruah. Kelak dari hasil percintaan Wisrawa dan Dewi Sukesi terlahir dua sifat manusia yang saling bertolak belakang; Rahwana, Sarpakenaka, Kumbakarna, dan Gunawan Wibisana. Rahwana dan Sarpakenaka mewakili sifat buruk atau jahat, sementara Kumbakarna dan Gunawan Wibisana mewakili sifat budi luhur. Hidup memang hanya ada dua pilihan; antara baik dan buruk. Meski seorang pandhita-brahmana, Wisrawa adalah manusia biasa yang tak luput dari godaan hawa nafsu!

Tidak ada komentar: