23 Februari 2009

Drupadi

Cerpen ini pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 1 Februari 2009buka websitenya di: http://www.kr.co.id/oleh Eko Hartono

Drupadi terhenyak mendengar keterangan suami dan keempat saudaranya. Dia seakan tak percaya tubuhnya telah menjadi barang taruhan di meja judi. Entah, setan apa yang telah merasuki jiwa Yudistira sehingga tega mengorbankan istrinya di meja perjudian. Sebagai wujud egoisme dan arogansi laki-laki? Dia merasa berhak menggadaikan apa yang menjadi hartanya, termasuk istri? Amuk perasaan berkecamuk dalam dada Drupadi. Marah, kecewa, benci.
Rasanya sulit dimengerti kaum laki-laki dengan mudahnya terpedaya oleh kemilau kekuasaan. Seakan kekuasaan begitu berarti di atas segalanya. Tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan dari ambisi merebut kekuasaan, jatuhnya korban orang-orang lemah dan tak berdaya. Seperti yang terjadi pada Drupadi. Yang lebih menyakitkan dan merendahkan harkat-martabatnya sebagai perempuan, dirinya mesti merelakan tubuhnya dipertontonkan di depan para bala Kurawa. Dijadikan pemuasan libido kaum laki-laki. Ini tak ubahnya diperkosa beramai-ramai. Sebuah penistaan yang tiada bandingannya. Jiwa Drupadi berontak. Dia memilih mati dari pada harus melakukan perbuatan rendah itu!

“Tidak! Aku tidak sudi melakukannya!” tegasnya mantap.

Yudistira dan adik-adiknya sudah tahu jawaban apa yang akan diberikan Drupadi, tak urung tetap terkejut. Wajah mereka semakin meliut. Sebagai ksatria mereka terlanjur terikat sumpah dan janji. Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali, sumpah seorang pendeta atau raja atau pembesar harus ditepati. Bila sumpah atau janji itu dilanggar akan mendatangkan murka dewa. Lebih dari itu akan merendahkan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tidak bisa dipercaya.

“Aku mohon, Yayi Dewi. Penuhilah syarat itu. Aku tahu, aku telah berbuat salah dan khilaf. Aku terpedaya oleh bujuk rayu Duryudana dan Dursasana untuk memenuhi tantangan itu. Aku tidak tahu bila mereka akan berbuat licik dan curang. Mereka dibantu paman Sengkuni untuk menjatuhkan kami!” Yudistira kembali mengemukakan dalih yang terdengar usang di telinga Drupadi. Begitulah manusia kalau sudah berbuat salah, selalu mencari kambing hitam dan melempar kesalahan pada orang lain.

“Kakang tak perlu menyalahkan paman Sengkuni, Duryudana, maupun Dursasana. Kakang sudah tahu bahwa mereka orang-orang yang licik. Kenapa kakang mesti memenuhi tantangan mereka. Kakanglah yang bodoh dan tolol. Kakang tidak bisa berpikir dengan cermat dan bijak. Apakah sebuah kekuasaan bisa didapat dengan jalan singkat melalui perjudian? Hanya pemimpi di siang bolong yang menganggap kekuasaan bisa didapat dengan sekali membalikkan telapak tangan. Kekuasaan hanya bisa diraih dengan perjuangan, dengan tetesan darah, air mata, dan keringat. Bukan dengan melemparkan bola dadu! Itu namanya untung-untungan!” desis Drupadi gusar.

“Kami yang salah, Kakang Dewi. Kami tidak bisa mencegah kakang Yudistira! Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Ludah yang sudah dikeluarkan tak mungkin dijilat kembali. Sumpah ksatria harus ditepati!” kata Arjuna.

“Benar, Kakang Mbok. Mau diapa-apakan juga kami sudah kalah, kami sudah jadi pecundang. Tadinya kami berpikir, taruhan perjudian itu cukup menggiurkan. Tanpa harus berperang dan menumpahkan darah, kami bisa merebut tanah Astina dari tangan mereka. Tapi kenyataannya…,” sambung Bima tak melanjutkan kalimatnya.

“Tapi kenyataannya kalian yang kalah! Kalianlah yang bodoh! Sudah tahu kalau pekerjaan Duryudana dan saudara-saudaranya tiap hari bermaksiat, suka main judi dan perempuan, kalian mau saja menerima tantangan mereka. Dimana otak kalian sebenarnya?!” lengking Drupadi tajam penuh emosi.

“Maafkan kami, Kakang Dewi! Persoalan ini tidak akan pernah selesai jika kita terus berdebat. Terserah kakang Dewi jika memang menolak syarat itu, karena semua itu hak asasi kakang Dewi. Tapi kita mesti ingat, kita adalah golongan elite penguasa. Rakyat di bawah akan mencibir dan berpaling dari kita jika mengetahui kita tidak menepati janji,” kata Nakula dengan suara bergetar.

“Benar, Kakang Dewi. Persoalannya sekarang bukan kenapa kita kalah, tapi bagaimana memenuhi janji itu. Kita sudah kehilangan semua yang kita miliki, harta, tahta, dan bahkan harga diri kita. Tapi apakah sekarang kita juga akan kehilangan wibawa sebagai pemimpin? Semuanya bergantung pada kakang Dewi. Kami pasrah, apa pun yang terjadi. Jika memang takdir menentukan kita harus kehilangan segala-galanya!” sambung Sadewa terdengar melankolik.

Drupadi terdiam. Sepertinya memang percuma mendebatkan hal ini. Karena tak ada hasilnya dan hanya menghabiskan energi. Persoalannya sekarang bukan lagi kenapa semua itu bisa terjadi, tapi bagaimana menindaklanjuti persoalan ini. Semua bergantung pada dirinya. Dia yang memegang keputusan. Dirinya pula yang makan buah simalakama. Di satu sisi dia ingin menegakkan kehormatan dan harga dirinya sebagai perempuan, tapi di sisi lain ada tuntutan menegakkan kehormatan dan wibawa trah Pandawa!

“Tolong, kalian keluar dari ruangan ini. Beri waktu aku memikirkannya!” kata Drupadi akhirnya meminta tenggat.

Yudistira dan keempat saudaranya mengangguk. Mereka lalu keluar dari ruangan. Setelah suami dan keempat saudaranya pergi, Drupadi tak kuasa menahan tangis kepedihan. Tak bisa dipungkiri persoalan ini membuat dirinya merasa sangat terpojok. Hatinya tak sanggup menanggung beban seberat ini. Duh, Gusti! Kenapa mesti ada lakon seperti ini? Apakah ini sebuah ujian atau karma? Rintihnya perih. Harga diri dan kehormatan perempuan terletak pada kesuciannya, kesucian jiwa, kesucian hati, kesucian raga, kesucian tingkah laku. Bagaimana aku bisa dipandang perempuan terhormat bila aku tak dapat menjaga kesucian tubuhku? Bagaimana aku bisa menegakkan kepala, jika semua orang tahu aku tak lebih barang taruhan di atas meja judi? Kehormatan dan harga diriku sudah tergadaikan. Aku tak lebih mulia dari seorang pelacur. Perempuan yang menjajakan tubuhnya masih punya alasan atas pilihannya itu, sementara aku? Aku bahkan tak punya pilihan sama sekali!

Jika ini adalah sebuah karma atau kutukan, apa salahku? Selama hidup aku tak pernah berbuat keji dan cela. Aku senantiasa berbuat baik kepada siapa saja. Aku berperilaku santun, jujur, lembut, dan setia pada suami. Aku sangat menjaga kehormatan dan harga diriku. Tidak sekali-kali kubiarkan mata dan tangan lelaki melecehkan diriku. Tapi kenyataannya kini…? Atas dasar bakti dan kesetiaan pada suami aku mesti merelakan diriku dilecehkan laki-laki! Oh, betapa tidak adil dan kejam! Ini benar-benar penistaan kemanusiaan yang amat luar biasa! Tiba-tiba Drupadi teringat kejadian lampau. Saat pertama kali dirinya berkenalan dengan Yudistira. Pada saat itu dirinya bertemu dengan Arjuna di tengah hutan dan dibawa kepada saudara-saudaranya. Dia tidak tahu, bila kepergian Arjuna ke dalam hutan untuk berburu membawa wasiat berharga. Wasiat lima bersaudara yang disaksikan oleh para dewa. Sebelum pergi Arjuna sudah diwanti-wanti apa pun hasil buruannya harus dibagi dengan keempat saudaranya sebagai bukti ikatan persaudaraan.

Tak dinyana selain membawa binatang buruan, Arjuna juga membawa seorang putri. Sumpah yang sudah terucap tak bisa ditarik kembali. Mereka sempat bingung menghadapi keadaan ini. Mana mungkin satu perempuan bersuamikan lima laki-laki? Drupadi sendiri pasrah jika seandainya hal itu terjadi, karena dia sangat menghormati sumpah seorang ksatria. Dia pantang menentang kehendak Dewa. Akhirnya diambil jalan tengah. Sebagai penghormatan terhadap saudara yang lebih tua, Arjuna menyerahkan Drupadi kepada Yudistira untuk diperistri. Secara simbolik Pandawa menikahi Drupadi, namun secara hakekat hanya Yudistira yang mengawininya. Dan hal ini ternyata direstui para dewa. Maka, ke manapun Pandawa pergi Drupadi selalu setia bersama mereka. Mungkinkah peristiwa itu menjadi karma bagi diriku? Karena kami telah berbuat munafik dengan merekayasa sebuah sumpah? Para dewa yang tidak puas dengan cara kami menyiasati sumpah lalu membuat lakon agar aku dipermalukan di muka umum? Aku harus membayar kepura-puraanku menikahi lima lelaki sekaligus dengan cara dijadikan pelampiasan libido puluhan laki-laki? Oh, betapa malang nasibku bila hal ini terjadi!

Drupadi masih bingung bagaimana mengatasi persoalan ini. Dia tidak mungkin lagi melakukan penipuan atau rekayasa demi melindungi dirinya dari janji bodoh yang terlanjur diucapkan suaminya. Dia tidak mungkin meminta belas kasihan Kurawa sebagai pihak pemenang. Mereka mungkin sudah lama menantikan peristiwa ini. Selama ini mereka selalu menjadi pecundang. Kemenangan mereka dalam permainan judi dadu benar-benar dimanfaatkan untuk menjatuhkan dan merendahkan kehormatan Pandawa. Mereka ingin melihat Pandawa hancur!

Ketukan pintu mengejutkan Drupadi. Jantungnya berdebar hebat. Mungkinkah ini saatnya…? Drupadi menata perasaannya agar lebih tenang. Dia bertanya, siapa orang yang mengetuk pintu. Ternyata Sri Kresna. Drupadi menyilahkan saudara tua Pandawa itu masuk ke dalam. Sri Kresna memandang Drupadi dengan rasa prihatin yang dalam. Wajah perempuan agung itu tampak pucat. Matanya sembab, mungkin sudah terlalu banyak tangis kesedihan yang tercurah dari dalam dadanya. Sudah tidak ada lagi kekuatan pada dirinya untuk melawan kesewenang-wenangan ini. Sebagai orang yang dituakan oleh Pandawa dia bisa memahami posisi dan perasaan Drupadi. Dia pun tak menginginkan hal ini terjadi. Tapi sekali lagi, sebuah lakon kehidupan yang telah digariskan Dewata tak mungkin bisa ditentang.

“Bersabarlah, Yayi Dewi. Tegarlah menerima ujian ini,” hibur Sri Kresna.

“Aku tak sanggup, Kakang! Semua ini terlalu berat bagiku. Rasanya aku tak sanggup lagi hidup di marcapada ini!” tutur Drupadi pilu.

“Kuatkan hatimu, Yayi Dewi. Jangan berpikiran sempit. Jalanilah semua ini dengan kepala tegak. Jika kamu berpaling dan lari, maka mereka akan semakin merendahkanmu. Menganggapmu pengecut. Ini bukan lagi soal benar dan salah, tapi soal keyakinan! Menyangkut prinsip hidup! Sebagai ksatria kita harus teguh memegang janji!” tegas Sri Kresna.

Drupadi terdiam. Ucapan Sri Kresna semakin menambah tebaran sembilu dalam batinnya.

“Percayalah, Yayi! Kebaikan tidak akan bisa dihancurkan oleh kejahatan. Kejayaan akan berpihak pada kebenaran. Selama ini yayi terkenal perempuan berhati tulus, agung, dan penuh kebaikan. Sampai saat ini dan sampai kapan pun aku tidak akan lupa kebaikan yayi Dewi mengobati lukaku saat berada di Indrapastra. Karena pertolongan yayi aku bisa selamat. Aku akan mengerahkan kekuatanku untuk membantu yayi Dewi. Mudah-mudahan para dewa merestui!” lanjut Sri Kresna mencoba meyakinkan Drupadi.

Drupadi tercenung. Ucapan Sri Kresna kali ini cukup menghibur hatinya, memberi sedikit harapan. Namun dalam hati Drupadi masih bimbang. Pertolongan macam apa yang akan diberikan Sri Kresna? Apakah dia mampu melawan kekuatan para dewa yang memiliki kekuasaan mutlak? Apakah benar bahwa kebaikan tidak akan bisa dihancurkan oleh kejahatan? Lalu, apa artinya tindakan a susila Kurawa yang hendak menelanjangi dirinya di muka umum? Apakah kejahatan itu akan dibiarkan berlangsung tanpa ada tangan-tangan kebaikan yang mencegahnya? Kenapa para dewa membiarkan kesewenang-wenangan ini terjadi? Sudah bebal dan mampatkah nurani para dewata?

Sadar bahwa tidak ada lagi jalan keluar, akhirnya Drupadi pasrah. Dengan gejolak perasaan tidak menentu Drupadi keluar dari kamarnya. Seperti saran Sri Kresna dia berjalan dengan kepala tegak, mungkin kekuatan seperti ini yang masih tersisa dalam dirinya. Dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dirinya bukan perempuan lemah. Dia siap menanggung beban yang dipikul Pandawa. Dia siap mempertanggung jawabkan kebodohan yang dilakukan Pandawa. Dia meyakinkan hatinya sendiri bahwa perbuatan Kurawa menelanjangi dirinya tidak akan mengurangi kemuliaannya sebagai perempuan suci!

Saat memasuki balairung istana, semua mata langsung tertuju pada kehadiran Drupadi. Para Pandawa tak sanggup menengadahkan kepala, begitu pula beberapa petinggi kerajaan Astina. Mulai dari Widura, Wikarna, sampai paman Bisma. Sebaliknya para begundal Kurawa tampak tersenyum dan menyeringai senang. Mata mereka jelalatan menatap tubuh Drupadi yang anggun dan seksi. Drupadi hanya bisa menahan geram. Dia memandang ke arah Prabu Drestaratra, ayah Pandawa dan Kurawa, sebagai penguasa Astina.

“Mengapa bapa Prabu membiarkan perbuatan bodoh ini terjadi? Tidakkah bapa bisa menghentikan pertaruhan konyol ini?” gugat Drupadi.

“Ini sudah menjadi ketentuan Dewata, Anakku,” lugas Drestaratra.

Drupadi menggigit bibirnya. Jika seorang Raja saja tak sanggup mencegah tindakan a moral ini, apalagi dirinya. Dursasana yang tak sabar lagi menanti pertunjukan erotis segera meloncat ke tengah balairung.

“Jangan banyak omong. Ayo, lepaskan bajumu!” kasarnya.

Dursasana lalu menarik ujung kain yang melilit tubuh Drupadi. Melihat tindakan Dursasana seperti hewan liar, Bima tidak terima. Dia hendak merangsek maju, tapi segera ditahan Sri Kresna. Dia memberi isyarat untuk membiarkan perbuatan Dursasana. Bima hanya bisa menggeram gusar di tempat duduknya. Sambil mengheningkan cipta memohon pertolongan Dewata, Sri Kresna mencoba menghimpun kekuatan untuk mencegah tindakan Dursasana.

Sorak sorai dan siulan nakal mengiringi perbuatan Dursasana yang sedang melucuti kain baju Drupadi. Perempuan itu memejamkan mata, pasrah pada kehendak Dewata. Dalam hati tercetus sebuah sumpah, jika sampai kaum Kurawa menyaksikan auratnya, maka kelak saat kematian datang menjemput dia meminta Sang Pencipta membiarkan tubuhnya membusuk dan meracuni semua makhluk yang ada di marcapada maupun kahyangan. Sumpah orang teraniaya biasanya mengandung tuah!

Entah, apakah berkat sumpah Drupadi yang membuat para dewata menjadi miris atau karena kekuatan ilmu Sri Kresna, tiba-tiba terjadi keajaiban. Kain yang ditarik Dursasana tak mampu menelanjangi Drupadi. Kain itu seperti berlapis-lapis, tak habis-habis meski dilucuti berlembar-lembar panjangnya. Dursasana sangat kepayahan dan akhirnya ambruk. Dia menyerah. Semua yang menyaksikan peristiwa ini tertegun. Bala Kurawa kecewa, para Pandawa merasa lega.

Akhirnya, usaha menelanjangi Drupadi tak berhasil. Namun demikian Pandawa tetap kehilangan harta dan kekuasaannya, serta menjalani hukuman diasingkan di dalam hutan selama tigabelas tahun sebelum diijinkan kembali ke Astina. Pandawa keluar dari balairung dengan wajah tertunduk lesu. Tapi tidak Drupadi, dia tetap berjalan dengan kepala tegak. Dia merasa ini adalah kemenangannya karena berhasil mempecundangi Kurawa. Kemenangan perempuan dalam mempertahankan martabat dan kehormatannya!
Tirtomoyo, 4 Agustus 2008

Tidak ada komentar: