17 Maret 2009

Penyambung Hati

Cerpen ini pernah dimuat di Majalah KARTINI, 30 Oktober 2008
Oleh Eko Hartono
buka situsnya di: http://www.kartini-online.com



Tiga hari ini Nina tidak pulang. Batinku sebagai ibu dilanda kecemasan luar biasa. Mungkin ini puncak kemarahan gadis yang sudah duduk di bangku kelas XI SMA itu, karena selama ini aku jarang memperhatikannya. Kesibukan pekerjaan telah banyak menyita waktuku. Aku tak sempat melihat perkembangan putri semata wayangku. Dia lebih banyak berada dalam pengasuhan Bik Tini, pembantu yang kubayar mengurus Nina. Sejak perceraianku dengan Dani lima tahun lalu, aku berusaha menjadi single parent yang baik.


Aku tahu, jika aku tidak bekerja dan tidak mampu menghidupi Nina, maka ada alasan bagi Dani untuk mengalihkan hak perwalian anak. Itulah yang mendorong aku bekerja keras dan mempertahankan karir sebagai staf administrasi di sebuah kantor akuntan publik. Kudedikasikan diriku untuk pekerjaan, bahkan tanpa mengenal lelah aku rela lembur untuk mencari hasil tambahan. Aku pun tak hendak berpikir untuk menikah lagi, karena aku tak mau hal itu melukai hati Nina. Aku tak ingin kehilangan putri yang kucintai. Aku sadar bila jarang memperhatikan Nina karena kesibukan pekerjaan. Aku hanya bisa bertemu dengannya pada pagi dan malam hari.

Tapi aku sudah memberinya pengertian tentang hal ini dan ia tampaknya juga bisa memahami. Aku memang berharap Nina tumbuh menjadi perempuan yang kuat, mandiri, dan tidak cengeng. Aku ingin dia bisa berpikir dewasa. Meski waktu kebersamaan kami terbilang sedikit, namun aku berusaha menjalin komunikasi yang baik dengan putriku. Secara berkala aku meneleponnya untuk menanyakan keadaannya di rumah atau sekadar mendengar keluhan-keluhannya. Bagiku yang terpenting bukan kuantitas, melainkan kualitas hubungan. Dan kuyakini hubunganku dengan putriku berjalan harmonis.


Tapi akhir-akhir ini kurasakan ada beling pertentangan antara aku dan putriku. Entah apa sebabnya, Nina mulai banyak berubah. Gadis kecilku yang dulu berperilaku manis dan penurut kini menunjukkan sikap pemberontakan. Dia memperlihatkan perilaku yang liar. Dia tidak mau lagi mendengar nasehatku dan mulai berani melanggar rambu-rambu yang kupasang demi kebaikannya.


Dua kali aku mendapat surat teguran dari sekolah karena Nina kedapatan merokok di sekolah dan kabur pada jam pelajaran. Aku tadinya berpikir ini hanya kenakalan biasa anak remaja. Aku berusaha tidak meluapkan kemarahan. Aku tanyakan baik-baik apa alasan Nina melakukan semua itu. Aku lalu menasehatinya dengan bijaksana.


Tapi sepertinya nasehatku hanya menjadi angin lalu, masuk telinga kanan keluar lagi lewat telinga kiri. Nina tidak berhenti sampai di situ memperlihatkan keliarannya. Suatu malam, ketika aku baru pulang dari kantor, tak kudapati Nina di rumah. Kata pembantuku Nina pergi sejak sore tadi. Entah ke mana! Tepat jam sepuluh malam Nina baru pulang diantar seorang cowok. Mereka berhenti di depan pintu pagar. Aku bisa melihatnya dari balik kaca jendela. Ketika putriku masuk ke dalam, tak bisa kutahan lagi badai kemarahan. Kusemprot dia habis-habisan. Pada puncak kemarahan aku sampai berucap kasar.


“Mau jadi apa kamu nanti kalau sekecil gini sudah mulai gatal sama laki-laki? Kamu mau jadi pelacur!” teriakku emosi. Belakangan aku menyesali ucapanku ini. Kusadari hal ini sangat melukai hatinya. Kukira Nina akan terpukul dan menyadari kesalahannya, tapi tidak. Dengan bola mata berapi, dia membalas ucapanku dengan lebih kasar.


“Kalau saya jadi pelacur, maka mamalah germonya. Kenapa mama melarang saya dekat dengan cowok, kalau mama sendiri juga suka pergi dengan cowok berganti-ganti. Mamalah yang pelacur!” teriaknya.


“Nina…?!!” Mataku terbelalak tak percaya. Putriku bisa bicara seperti itu pada ibunya sendiri? Sungguh, ucapannya bak belati berkarat ditusukkan tepat ke jantungku.


“Jangan kira Nina tidak tahu, selama ini mama sering pergi dengan cowok-cowok di luar kantor! Mama tak ubahnya pelacur!”

Aku tertegun. Bagaimana Nina bisa berpikir bahwa aku sering pergi dengan cowok-cowok di luar jam kantor, berganti-ganti lagi? Begitu rendahkah diriku? Aku tahu, Nina salah paham. Mungkin suatu kali dia pernah melihatku pergi dengan Fendy, Danang, atau seorang klien di luar kantor.

Tapi semua itu tidak seperti prasangkanya. Aku pergi dengan mereka karena urusan pekerjaan. Atau mungkin ia menelan gosip dari orang-orang yang tidak suka melihat karirku melesat. Mungkin Dani yang telah meracuni pikirannya agar memusuhi diriku? Sampai sekarang aku masih belum yakin mantan suamiku itu telah menghentikan upayanya mendapatkan Nina.

Tapi terlepas dari semua dugaan itu, perasaanku tercabik-cabik menerima tuduhan keji yang dilontarkan putriku. Tanpa bisa menahan emosi kutampar mulutnya keras, sampai ia terpekik kesakitan. Gadis kecilku menangis dan masuk ke dalam kamar. Mengunci diri. Mengunci hatinya dariku. Sejak itu ia tak mau lagi bicara denganku, tak mau memandangku. Tak mau membalas sapaanku. Ia semakin jauh dariku. Hatiku ditikam rasa ngilu!

Tiba-tiba kusadari bila apa yang dilakukan putriku semata bukan karena kesalahannya, tapi juga kesalahanku sebagai ibu. Selama ini aku tak pernah memperhatikannya. Dia kubiarkan tumbuh sendiri tanpa belaian tanganku. Dia kubiarkan berjalan sendiri tanpa tuntunanku. Dia kini bukan lagi kanak-kanak yang hanya bisa menurut dan patuh!

Aku terlambat memahami bahwa putriku sekarang sudah mulai tumbuh dewasa. Dia telah berkembang menjadi sekuntum bunga, bukan kuncup putik lagi. Dia tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil. Dia ingin diakui eksistensinya. Apa yang dilakukan Nina mungkin tak lain upaya untuk menarik perhatianku sebagai ibu. Dan ini mengingatkan aku pada sikapku dulu saat seusianya! Maka, kucoba untuk memperbaiki kembali hubungan renggang antara aku dengan putriku. Tapi hati Nina tampaknya sudah terlanjur membeku. Ia tak bereaksi saat aku menyentuhnya dengan halus, ia juga tak menanggapi sapaan lembutku. Ucapan maaf dan penyesalanku seakan sudah tak berarti lagi. Sudah tak ada lagi ruang dalam hatinya untuk diriku. Sungguh, batinku serasa terpilin perih. Air mata kesedihan tak dapat lagi kutahan.

Kesedihan dan kepedihan itu semakin menghunjam dalam saat kudapati Nina kabur dari rumah. Ia benar-benar telah mengibarkan bendera permusuhan denganku, ibu yang telah mengandungnya sembilan bulan. Aku tak tahu, ke mana mesti mencarinya. Semua pintu rumah teman-temannya dan famili sudah kuketuk, juga pintu rumah Dani. Tapi hasilnya nihil. Tak ketahuan ke mana rimbanya anak itu. Dani bahkan sempat mengecam dan menyalahkan aku!

***

“Mbak, ada yang mencari di depan,” kata Lusi, rekan satu ruangan memberitahu, saat aku sedang konsentrasi menggarap tugas.

“Siapa?” tanyaku.

“Seorang gadis remaja, Mbak.”

Aku tersentak. Nina! Aku segera bangkit dari mejaku dan bergegas keluar. Dadaku berdebar-debar. Kalau benar itu Nina, kenapa dia malah datang ke sini bukan ke rumah? Ketika sampai di luar ruangan, kulihat putriku duduk di kursi dengan wajah tampak kusut, sekusut baju yang dipakainya. Aku segera menghambur dan memeluknya.

“Ke mana saja kamu, Sayang? Maafkan mama karena tak pernah memperhatikanmu,” ucapku dengan terbata-bata. Tangisku meledak karena haru dan senang anakku telah kembali.

Beberapa hari aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkannya. Aku khawatir dengan keselamatannya. Aku sedih memikirkan di mana dia tidur, dengan apa dia makan, karena ketika pergi tak serupiah pun uang di tangan. Apalagi sebagai gadis belia yang masih hijau, dia rawan incaran orang-orang jahat. Aku tak sanggup membayangkan ia celaka! Nina melepaskan tanganku dari pelukannya.

“Sudahlah Ma, jangan seperti orang yang seabad tidak bertemu. Jangan perlakukan aku seperti anak kecil,” ucapnya jengah. Tiba-tiba aku sadar, aku terlalu berlebihan. Tapi aku tak bisa pungkiri hatiku sangat girang, terlebih mendengar kata-katanya. Ia sudah mau bicara denganku? Inilah yang kutunggu-tunggu!

“Baiklah, Nin. Mama tidak akan memperlakukanmu seperti anak kecil. Coba, sekarang ceritakan kenapa kamu pergi dari rumah?” kataku dengan tenang. Sejenak Nina mengambil napas dalam. Ia diam sebentar seakan sedang menyusun kata-kata yang hendak diucapkan.

“Maafkan Nina kalau sudah bikin mama susah dan sedih. Tiga hari ini Nina pergi karena ingin menenangkan diri, Ma. Perasaan Nina masih sakit oleh perkataan mama yang menyakitkan hati. Tapi setelah Nina renungkan dalam-dalam, apa yang Nina lakukan salah. Nina ingin mencari perhatian mama. Nina ingin diakui sudah dewasa, tapi cara yang Nina lakukan keliru. Nina justru bersikap kekanak-kanakan dan tidak dewasa. Nina menginterpretasikan kedewasaan dengan bertingkahlaku seperti orang dewasa, bukan berpikir dan bersikap dewasa. Nina sadar, tindakan Nina bodoh. Karena itu maafkan Nina, Ma!” tuturnya dengan nada terdengar tulus.

Aku tersenyum haru mendengar pengakuannya. Ucapan Nina tidak hanya membuatku merasa lega dan senang, tapi juga memantik pelita kesadaran dalam diriku. Kusadari bila yang dilakukan Nina bukan semata kebodohan dan kekeliruannya. Sebagai orang muda, wajar Nina melakukan kebodohan dan kekeliruan. Ia masih hijau dan belum berpengalaman. Ia akan belajar dari kebodohan dan kekeliruan itu untuk bisa matang. Karena tidak ada kedewasaan tanpa tempaan dan jatuh bangun.

Jika ada yang lebih bertanggung jawab atas kedewasaannya adalah aku. Ya, aku sebagai ibunya punya tanggung jawab membimbingnya menjadi insan dewasa. Aku mesti bisa mengarahkannya ke jalan yang benar tanpa harus memperlakukannya seperti robot. Aku tak pernah berpikir bahwa tidak hanya cukup dengan materi untuk menghidupinya, namun lebih dari itu, bagaimana aku mengisi jiwa dan pikirannya dengan nilai-nilai yang positif, menyentuh hatinya dengan kasih sayang dan kebijaksanaan.

“Mama juga minta maaf, Sayang. Mama sadar, sikap mama keliru. Kamu sekarang telah tumbuh dewasa. Mama terlalu sibuk bergelut dengan pekerjaan sehingga tak sadar anak mama telah tumbuh dewasa. Mama khilaf mengejar materi tanpa berpikir untuk menabung, mencicil nilai-nilai kedewasaan yang mestinya mama tularkan kepadamu. Mama lalai membagi waktu dan hati mama denganmu. Mama janji akan lebih memperhatikanmu!” tegasku.

“Tidak, Ma. Semua yang dilakukan mama sudah benar. Ninalah yang mestinya bisa memahami Mama. Nina harus belajar pada mama.”

“Baiklah, Sayang. Kita sama-sama saling belajar!” Nina mengangguk.

“Oh ya, mama lagi sibuk nih. Mama tidak mau ditegur bos karena mencuri waktu. Kamu pulang dulu sana, tunggu mama di rumah!” ujarku tak bermaksud mengusir putriku, tapi sebagai profesional aku mesti taat pada aturan.

“Boleh kan, Ma. Saya menunggu di sini sembari melihat mama bekerja. Tidak adil rasanya bila Nina mengharap dan menuntut Mama, sementara Nina tidak bisa mengerti kondisi Mama. Biarkan Nina menghayati bagaimana Mama bekerja. Karena jari lentik mama yang menari-nari di atas keyboard komputer sesungguhnya adalah irama hidup Nina. Tanpa jari jemari itu Nina tidak akan bisa seperti ini.”

Aku mengangguk dan tersenyum. Kata-kata Nina membesarkan hatiku. Dan kusadari bahwa ia benar-benar telah dewasa. Dengan langkah mantap aku melangkah kembali ke ruang kerjaku. Ruang yang sempat terpikir untuk kutinggalkan karena aku tak ingin kehilangan anakku, jika memang waktu dan perhatianku yang telah tersita pada pekerjaan sebagai biang kegagalanku sebagai ibu sekaligus orang tua. Tapi tidak, justru pekerjaan inilah yang menjadi urat nadi hidup kami. Menyambung hati antara aku dengan putriku!

Tirtomoyo, 21 Juli 2008

Tidak ada komentar: