23 Maret 2009

Hati-Hati Memilih Calon Pemimpin Bangsa

Menghadapi Pemilu 2009
By : Eko Hartono

Pemilu legislatif dan Pilpres 2009 akan kita hadapi. Berbagai penawaran menarik datang dari para caleg dan capres. Dikemas dalam bingkai yang manis, indah, menggiurkan, penuh harapan, dan bahkan tak sedikit menjanjikan hadiah berupa kesejahteraan, pengentasan kemiskinan, penurunan harga, penyediaan lapangan kerja, sembako murah, dll. yang kesemua itu sekadar sebagai trik dan strategi pemasaran kampanye partai politik belaka. Penawaran yang serba indah dan menyenangkan itu hadir melalui iklan-iklan di televisi, internet, media cetak, baliho, spanduk, stiker, dan berbagai atribut lainnya.

Kekuasaan dipahami sebagai sebuah kedudukan yang pantas diperebutkan sehingga perlu diadakan perlombaan atau persaingan dalam mendapatkannya (baca: pemilu). Paham seperti ini yang telah dan terus dikembangkan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia dengan apa yang disebut sebagai demokrasi. Kekuasaan adalah kegiatan memerintah dan mengatur dalam sebuah kaum/kelompok/golongan/bangsa. Karena setiap individu dari kaum itu memiliki hak sama dalam kegiatan politik (baca; memperebutkan kekuasaan). Untuk mengawasi dan mengatur jalannya proses perebutan (peralihan) kekuasaan ini, maka diberlakukanlah berbagai undang-undang, aturan, dan perangkat-perangkat yang diperlukan.

Namun pada kenyataannya demokrasi yang diagung-agungkan sebagai proses paling fair dalam perebutan kekuasaan sering membawa dampak kerusakan, kehancuran, dan kesengsaraan pada kehidupan rakyat bangsa (baca; negara) itu sendiri. Memang tak bisa dipungkiri beberapa negara yang menerapkan paham demokrasi melalui jalan pemilu berhasil mencapai kesuksesan. Namun hal itu pun disertai dengan bermacam prasyarat yang memungkinkan demokrasi berjalan dengan fair dan adil. Diantaranya budaya bersaing yang sehat, kesadaran politik yang tinggi, pengetahuan tentang politik yang memadai, dipatuhinya undang-undang dan peraturan yang telah disepakati bersama. Pendeknya, untuk mengukur suatu keberhasilan dalam demokrasi semua unsur yang melengkapinya dipastikan berjalan dengan benar.

Membangun demokrasi yang sehat di Indonesia

Di Indonesia demokrasi yang berjalan masih banyak memiliki kekurangan, bukan kekurangan dalam hal perangkat perundang-undangan atau peraturan yang mengawalnya, namun lebih kepada pemahaman atas demokrasi itu sendiri yang masih simpangsiur, campuraduk, dan direduksi sedemikian rupa sehingga masing-masing kelompok/golongan/parpol dalam masyarakat memiliki acuan sendiri-sendiri. Mereka pun lebih mengedepankan kepentingan kelompok (baca; parpol) an sich daripada kepentingan bangsa secara luas. Kekalahan dalam Pemilu tidak bisa diterima dengan legawa, elegan, dan jiwa besar. Apalagi memberikan selamat kepada rival yang memenangkan Pemilu. Hal ini mencerminkan sikap permusuhan dan dendam yang masih dilestarikan. Betapa rendah jiwa kesatria atau gentlement dalam diri mereka.
Kekuasaan masih dipahami dengan pandangan sempit sebagai sesuatu yang mesti diperjuangkan sampai titik darah penghabisan, tak peduli dengan cara ilegal atau menyalahi aturan. Bahkan dengan dalih mencari keadilan, perangkat hukum (somasi, pengadilan, dan sejenisnya--pen.) dijadikan senjata ampuh untuk mengejar kekuasaan. Mereka tidak sadar bila demokrasi juga memiliki kekurangan, demokrasi hanya sekadar jalan atau representasi terhadap kebutuhan menentukan mandat kekuasaan. Dan kekuasaan sendiri bukan lagi dijadikan sebagai sebuah amanah atau mandat kepercayaan, namun tak lebih dari upaya untuk menunjukkan eksistensi pribadi (personality) dan melanggengkan citra kelompok (parpol). Seolah tanpa kekuasaan pihak yang bersangkutan akan kehilangan sumber kehidupan (baca; politik untuk cari makan!).

Jika demokrasi model seperti ini masih terus berjalan di republik ini, kapan lagi negara ini akan maju dan membangun dirinya? Orang-orang sibuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, memaksakan kehendak dan kebenarannya sendiri, serta tidak ada yang mau mengalah. Belum lama ini kita dibuat takjub dengan Pemilu di Amerika. Bukan takjub oleh terpilihnya Barrack Obama sebagai presiden keturunan kulit hitam pertama yang merepresentasikan kemenangan golongan minoritas, tetapi juga proses yang dijalankannya. Diangkatnya senator Hillary Clinton yang merupakan rival berat Obama sebagai Menlu dalam pemerintahan baru, dan beberapa person lain yang sebelumnya berseberangan dengan kubu Obama, mencerminkan suatu model demokrasi yang cukup elegan dan konstruktif.

Kita bukan Amerika dan model demokrasi di Amerika tidak sepenuhnya bisa diterapkan di negara ini, mengingat budaya dan historisnya sudah berbeda. Namun dari mereka kita bisa belajar. Sering terjadinya konflik, perseteruan, kerusakan, dan kehancuran diakibatkan karena proses demokrasi yang dijalankan memang tidak serta merta menjadikan demokrasi sebagai suatu kesalahan, meski tak dipungkiri demokrasi bukanlah produk sempurna dalam menjalankan sistem peralihan kekuasaan. Sampai saat ini baru sistem demokrasi yang bisa diterima di semua belahan dunia. Memang masih ada sistem lain seperti monarki, sosialis, komunis, kekhalifaan, dan lainnya. Namun semua sistem itu kalah populer dari demokrasi dan kurang relevan lagi diterapkan pada situasi zaman yang terus berkembang. Bahkan sebagian negara yang masih menerapkan sistem lama mencoba memadukan dengan model demokrasi yang lebih modern.

Indonesia memiliki ciri khas dengan pluralitas dan kultur budaya yang beragam, juga latar historis sebagai negeri bekas kolonial, penduduknya yang memiliki suku dan bahasa lokal paling banyak di dunia, dan penganut agama Islam terbesar di dunia. Anehnya, Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara islam meski penduduknya mayoritas beragama Islam. Dengan kompleksitas dan ragam permasalahan yang melingkupinya, demokrasi yang dikembangkan di Indonesia mengalami bongkar pasang dan proses trial by error mulai dari yang namanya demokrasi terpimpin, demokrasi parlemen, sampai kemudian demokrasi pancasila. Tapi semua demokrasi itu mengalami kegagalan atau bisa dibilang belum sempurna. Yang terakhir; yakni demokrasi pancasila yang diasosiakan sebagai demokrasi dengan azas Pancasila sebenarnya cukup akseptable dan reasonable karena bisa mencerminkan dinamika masyarakat Indonesia. Sayangnya, demokrasi Pancasila yang mulanya dicetuskan rezim Soeharto telah disalahgunakan oleh kepentingan penguasa pada saat itu sehingga terkesan tidak ideal.

Beberapa waktu ini muncul ide mengembangkan demokrasi Islam, yakni demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai dan ajaran Islam, mengingat mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam. Demokrasi Islam tidak serta merta dipahami sebagai upaya membentuk negara Islam, tetapi lebih menekankan kepada implementasi ajaran Islam ke dalam proses demokrasi. Penerapan demokrasi di Indonesia telah banyak melenceng jauh dari cita-cita kedaulatan rakyat dan mandat kepercayaan terhadap kekuasaan. Pelaku demokrasi lebih mengedepankan upaya merebut kekuasaan melalui jalur politik dengan cara-cara kekerasan, anarkhisme, pemaksaan kehendak, dan 'kudeta' halus atas nama undang-undang dari pada mengembangkan sikap, etika, dan perilaku politik yang santun, jujur, bertanggung jawab, berdedikasi tinggi, dan berkeadilan sebagaimana ajaran dalam Islam. Semestinya pelaku demokrasi yang mayoritas beragama Islam mampu menerapkan etika dan estetika berpolitik yang 'bersih', jujur, dan amanah sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.

Rasulullah pernah bersabda; janganlah kau berikan kekuasaan (kepemimpinan) kepada orang yang menginginkannya. Maksud dari hadits ini tak lain adalah mengingatkan kepada umat Islam agar jangan memburu kekuasaan, karena kekuasaan adalah amanah dan tanggung jawab. Orang yang menginginkan kekuasaan (kepemimpinan) mencerminkan sifat rakus dan tamak. Dia berniat menguasai dan memerintah orang-orang di bawah kekuasaannya. Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathonah sebagaimana yang dicontohkan Rasul. Keempat sifat itu mencerminkan pribadi muslim yang rendah hati, jujur, berbudi pekerti, halus dalam perkataan, dan santun dalam perbuatan. Menjauhkan diri dari larangan Allah seperti berbuat maksiat khususnya korupsi dan berzinah. Tapi lihatlah kenyataan yang terjadi di negeri ini; banyak kasus korupsi dan perzinahan dilakukan anggota legislatif yang notabene beragama Islam. Hal ini bukan Islamnya yang salah, tapi orang-orangnya. Mereka yang mengaku beragama Islam tapi berakhlak rendah dan berperilaku maksiat tak pantas disebut orang Islam, boleh jadi dia hanya beragama KTP. Mereka menjadikan Islam sebagai tunggangan politik untuk meraih kekuasaan.

Rasulullah juga pernah bersabda: serahkan urusan kepada ahlinya bila tidak ingin terjadi kerusakan di muka bumi. Hal ini memberi pelajaran bahwa segala sesuatu mesti dikerjakan sesuai dengan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki. Banyak orang yang tidak memiliki keahlian dan ketrampilan yang memadai dalam suatu bidang, namun memaksakan diri menangani bidang itu. Seperti halnya dalam politik, banyak orang yang tidak memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam bidang politik atau setidaknya memiliki pengetahuan memadai tentang politik (baca: ilmu pemerintahan) dengan ditunjukkan melalui pendidikan formal yang disandang.
Mereka menjadi caleg atau capres sekadar memenuhi hasrat menduduki jabatan dan kekuasaan dalam pemerintahan atau lembaga legislatif dan yudikatif. Di sini kita berbicara tentang akuntabilitas profesi. Akan lebih ideal dan sangat tepat sekali bila dengan kemampuan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki dilandasi dengan sifat-sifat moralitas tinggi. Orang yang berkemampuan sesuai bidangnya itu mengamalkan ajaran Islam dengan benar dan kaffah. Tidak suka korupsi dan tidak suka berbuat maksiat!

Memilih calon pemimpin bangsa dengan rasional

Kekuasaan dan kepemimpinan adalah satu paket. Keduanya merupakan amanah yang mesti dijalankan dengan penuh tanggung jawab tinggi. Sebagai rakyat kecil yang diberi hak untuk memilih seyogyanya lebih hati-hati dan menggunakan kewajibannya secara rasional. Jangan hanya mendasarkan pilihan kepada perasaan suka semata atau melihat gebyar parpol dengan semboyan, jargon, dan yel-yel yang menarik pandangan. Ingat, mereka bisa terlihat seperti itu karena mereka sedang jualan. Mereka menawarkan dagangan berupa konsep, platform, dan visi-misi politik untuk kepentingan bangsa ke depan (atau boleh jadi untuk kepentingan parpol/caleg sendiri).

Sudah pasti semuanya menawarkan dagangannya dengan indah dan menarik karena masih terbungkus dalam wadah yang dihias warna-warni. Kita jangan terkecoh dan tertipu. Jangan seperti membeli kucing dalam karung atau buah dalam parcel yang sebenarnya busuk. Untuk memastikan bahwa pilihan kita sesuai dengan harapan dan bisa menjamin kebaikan di masa datang pelajarilah para calon pemimpin bangsa itu. Bukan hal sulit sebenarnya mengetahui sosok dan kepribadian mereka. Track record para caleg/capres, riwayat hidup, dan latar belakang mereka bisa jadi acuan. Informasi dari media baik elektronik dan cetak sudah cukup menunjang. Kita tinggal mempelajarinya, mengaksesnya, dan mempertimbangkannya. Dengan demikian, kita tidak akan keliru atau menyesali pilihan kita di kemudian hari!

Selamat mencontreng/mencenthang!

Tidak ada komentar: