21 April 2009

Memecahkan Kasus Perampokan

Cerita Anak ini pernah diimuat di Majalah BOBO No.22 /6 September 2007
Menjadi Cerita Misteri Pilihan Majalah Bobo tahun 2007
Oleh : Eko Hartono.

Adi adalah anak pengantar koran dan majalah. Setiap pagi dia berkeliling kompleks perumahan mewah Alamsari dengan sepeda BMX-nya. Ia melakukan pekerjaan itu sebelum berangkat ke sekolah. Setiap kali melewati rumah pelanggannya, ia melemparkan koran atau majalah di halaman depan. Atau menjepitnya di pintu pagar. Upah yang didapat lumayan, bisa untuk menambah uang saku atau membeli keperluan sekolah.
Pagi itu, saat sedang mengikuti pelajaran pertama di kelas, tiba-tiba datang utusan bapak kepala sekolah memanggilnya. Adi disuruh ke ruangan kepala sekolah. Adi jadi berdebar-debar dan penasaran.
Sesampai di ruang kepala sekolah, ternyata sudah menunggu dua polisi berpakaian preman. Perasaan Adi semakin tidak karuan. Kedua polisi itu ternyata sudah menyediakan banyak pertanyaan yang harus dijawab Adi. Semuanya berhubungan dengan kegiatannya mengantar koran di kompleks perumahan mewah Alamsari. Terutama saat melewati rumah Pak Sanjaya.
“Jam berapa kamu berangkat mengantar koran?” tanya polisi.
“Jam setengah enam pagi, Pak. Soalnya jam setengah tujuh saya sudah harus berangkat sekolah,” jawab Adi.
“Kamu tidak pernah meleset dari jadwal, misalnya terlambat lima atau sepuluh menit?”
“Ya, pernah sih, Pak. Tapi hanya dua atau tiga menit saja. Soalnya saya sudah menghitung, berapa lama saya harus menyelesaikan pekerjaan saya. Bahkan di setiap rumah yang saya singgahi, saya sudah bisa menghitung per menitnya.”
“Berarti kamu tahu, kira-kira jam berapa kamu sampai di rumah Pak Sanjaya, di Blok A nomor 12?”
“Tahu, Pak. Sekitar jam enam kurang lima menit. Memangnya ada apa, Pak?” Adi tak dapat menahan lagi rasa penasarannya.
“Di rumah Pak Sanjaya terjadi perampokan. Peristiwanya terjadi antara jam enam hingga tujuh pagi. Kebetulan Pak Sanjaya sedang berlibur ke luar kota dalam beberapa hari ini. Rumah itu dijaga oleh dua satpam yang bergiliran jaga antara siang dan malam. Mereka melakukan pergantian jaga pada sekitar jam tujuh pagi. Tapi jam enam pagi tadi, satpam yang jaga malam mendapat kabar istrinya sakit. Jadi dia harus buru-buru pulang. Sementara satpam satunya belum datang. Saat kekosongan penjagaan itulah, perampok datang dan menggasak harta benda di dalamnya…”
“Astaga!” seru Adi kaget. “Tapi, Pak. Di rumah itu kan juga ada seorang pembantu wanita. Setiap pagi dia datang membersihkan rumah.”
“Memang! Tapi saat pembantu wanita itu datang, rumah sudah dalam keadaan berantakan. Dia lalu menelepon kantor polisi!”
“Jadi yang melaporkan kejadian perampokan itu, si pembantu itu?”
“Benar! Karena tidak ada saksi mata yang melihat kejadian perampokan itu, maka kami ingin meminta keterangan adik. Karena hanya adik satu-satunya orang yang lewat di jalan itu pagi tadi. Mungkin adik melihat seseorang atau sesuatu yang mencurigakan di sekitar rumah Pak Sanjaya?”
Adi diam terpekur sejenak. Dia mencoba mengingat kembali perjalanannya saat mengantar koran di kompleks perumahan Alamsari, terutama ketika melewati rumah Pak Sanjaya. Saat itu suasana di kompleks perumahan masih sepi. Maklumlah, rata-rata penghuninya masih belum bangun.
Jalan di kompleks perumahan itu juga jarang dilewati kendaraan umum dan orang. Kecuali kendaraan milik para penghuninya, anak-anak sekolah, dan pedagang keliling yang menggunakan mobil atau gerobak. Itu pun kebanyakan di atas jam tujuh pagi.
Tiba-tiba Adi teringat sesuatu. “Oh ya, Bapak tadi bilang, pembantu itu melaporkan kejadian setelah melihat rumah itu dalam keadaan berantakan? Berarti dia datang ke rumah itu di atas jam tujuh, dong? Tapi, pagi tadi saya melihat pembantu itu sudah ada di depan rumah?” cetusnya.
“Ya! Dia juga sudah menceritakan hal itu. Pagi tadi dia memang datang lebih awal untuk memberitahu petugas satpam yang istrinya sakit. Mereka kebetulan bertetangga. Pembantu itu tidak masuk ke dalam rumah, tapi ikut pulang lagi…”
Adi terpekur lesu. Tadinya dia sempat curiga pada si pembantu, tapi ternyata pembantu itu punya alibi. Maksudnya, ia bisa menjelaskan keberadaannya, sehingga tidak bisa dituduh.
“Bapak-bapak sudah mengecek ke rumah Pak Satpam penjaga malam, apakah benar istrinya sakit?” tanya Adi kemudian.
“Sudah! Saat ini istrinya malah dibawa ke rumah sakit. Kami sebenarnya mencurigai orang dalam sebagai pelakunya. Atau kerja sama dengan orang luar. Tapi kelihatannya mereka punya alibi sangat kuat. Karena itu, kami ingin mencari kesaksian dari adik Adi. Atau mungkin adik ini…?”
“Bapak mencurigai saya?” potong Adi pucat pasi.
“Maaf! Dalam kasus ini, siapa pun patut dicurigai, terutama yang berdekatan atau ada di sekitar TKP saat kejadian berlangsung!”
Hati Adi ciut. Perasaannya jadi tidak karuan. Tapi karena dia yakin dirinya tidak bersalah, dia berusaha menghilangkan kegelisahannya. Ia lalu berpikir keras membantu memecahkan kasus ini. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
“Oh ya, saya ingat! Saya tadi sempat kembali ke Blok A untuk mengantar surat tagihan di depan rumah Pak Sanjaya. Saat itu baru pukul enam lebih limabelas menit. Saya melihat pembantu wanita itu sudah ada di rumah majikannya. Jadi dia hanya pulang sebentar untuk kembali lagi. Tapi yang saya heran, dia justru sedang menyapu lantai teras depan. Tak jauh dari rumah itu, ada sebuah mobil kijang diparkir. Saya tidak tahu, jam berapa dia menelepon ke kantor polisi…?” tuturnya.
Kedua polisi itu sejenak saling pandang. Wajah mereka tiba-tiba berbinar.
“Pembantu itu telah berbohong! Dia menelepon ke kantor polisi sekitar jam tujuh pagi. Kalau benar sekitar jam enam lebih limabelas menit dia sudah ada di rumah itu lagi, berarti beda waktu itu digunakan untuk melakukan aksi. Dia pura-pura menyapu di depan rumah untuk mengawasi keadaan, sementara teman-temannya di dalam sedang mengambil barang-barang berharga. Tak salah lagi, pembantu itu otak perampokan!” ujar salah seorang polisi.
Apa yang dikatakan polisi benar. Setelah ditangkap dan diinterograsi, pembantu wanita itu mengakui perbuatannya. Adi senang dan bangga karena bisa ikut membantu polisi memecahkan kasus kejahatan.

3 komentar:

PNMF mengatakan...

Jadi kepikiran pengen bikin cerita anak lagi...

Eko Hartono mengatakan...

Buat PNMF, makasih. Ayo, bikin cerita anak untuk memperkaya khasanah sastra anak. Agar anak-anak yang membaca pun jadi terangsang untuk menulis karangan. Dengan menulis karangan anak-anak akan menjadi lebih kritis dan berbudaya.

Unknown mengatakan...

Ceritanya bagus banget