11 April 2009

Lubang-lubang Menganga

Cerpen ini dimuat di Solopos, Minggu 8 Maret 2009
Oleh Eko Hartono
buka website di: www.solopos.net

Lubang-lubang menganga di sepanjang sungai yang oleh warga setempat disebut sungai Luh, yang artinya air mata. Konon, riwayat sungai itu penuh dengan air mata. Pada masa penjajahan dulu, banyak pejuang mati ditembak dan mayatnya dibuang di sungai itu. Saat terjadi pembersihan PKI di tahun 60-anlebih mengerikan lagi, tubuh-tubuh dihanyutkan di sungai tanpa kepala!

Zaman telah berganti, namun sungai itu tetap menyisakan cerita pahit dan getir. Setiap tiba musim hujan, banjir menyapu segalanya. Sawah, rumah, dan bangunan-bangunan lainnya. Memaksa orang-orang mengungsi. Sementara bila musim kemarau, sungai itu menjadi lahan pencahariaan warga. Mereka menambang pasir untuk dijual ke juragan dengan upah tak seberapa. Setidaknya cukup untuk menambal kebutuhan!

Tapi karena banyaknya warga yang menambang pasir, hamparan sungai pun penuh dengan lubang-lubang bekas penggalian. Kondisi ini sangat rawan oleh longsor dan bisa menimbulkan bencana. Tak sedikit warga yang menjadi korban dan terenggut jiwanya karena kelongsoran atau terjadi kecelakaan. Namun semua itu tak menyurutkan nyali para warga untuk mengeruk keuntungan dari menggali pasir. Meski kenyataannya, juraganlah yang mengeruk keuntungan lebih besar!

Nardi menatap nanar barisan lubang yang berderet di hadapannya. Seakan sudah tak ada lagi lubang yang bisa digali. Lubang-lubang itu mirip liang lahat. Dan sesungguhnya, demikianlah adanya. Ketika kewaspadaan lengah, para penambang yang sibuk menggerus pasir di dasar lubang, sewaktu-waktu bisa terkubur hidup-hidup. Menyisakan derita bagi keluarga yang ditinggalkan.

“Kau tidak teruskan menggali, Kang?” sebuah teguran membuyarkan lamunan Nardi.

Nardi diam saja. Matanya beralih ke langit di atas. Matahari masih tampak terik, namun gelombang awan yang tampak berarak dari balik bukit sebelah selatan seakan mendatangkan sebuah ancaman.

“Kelihatannya mau hujan, Rus,” katanya lirih, penuh rasa masygul.

“Cuaca terik begini mana mungkin akan hujan, Kang?” sahut anak muda itu tersenyum sinis.

“Lihat awan hitam yang bergulung itu…”

“Sudah beberapa hari awan hitam itu terlihat, tapi nyatanya hujan tak juga turun. Seperti ungkapan sebuah lagu; mendung tak berarti hujan. Lagi pula, kenapa sampean jadi kepikiran sama hujan?”

“Hidup kita terancam!”

“Ah, sampean jangan berlebihan. Teruskan menggali! Juragan Danu bisa marah kalau setoran pasir tidak sesuai permintaan!”

Nardi tersenyum getir.

Juragan Danu, laki-laki tua yang selama ini membayar mereka. Setiap hari dia meminta lima rit pasir untuk diangkut dengan truknya. Proyek itu dikerjakan oleh empat orang. Masing-masing mendapat upah duapuluhlima ribu rupiah. Cukup menggiurkan bagi warga desa yang selama ini hidup kekurangan, namun tak sepadan dengan resiko dan beratnya beban yang disandang.

Namun juragan yang suka mengisap pipa rokok itu tak pernah memikirkan semua itu. Dia tidak peduli apakah pekerjanya terluka kakinya oleh mata cangkul, matanya kelilipan butiran pasir, bahkan ketika jatuh sakit karena tenaganya habis terkuras untuk bekerja. Dia akan mencari orang lain sebagai pengganti. Bagi juragan waktu adalah uang. Tak sedetik pun ia membiarkan pekerjanya menghilangkan keuntungan yang sudah dihitung dengan cermat lewat kalkulator.

Nardi benci juragan Danu, tapi ia tidak punya kuasa untuk melawan. Ia sadar, hidupnya ada di bawah kekuasaan laki-laki itu. Apa pun yang dikatakan juragan Danu tak bisa dibantah. Namun kali ini, hati kecilnya mengatakan lain. Ia tidak akan memenuhi permintaan juragan Danu. Ia akan menghentikan pekerjaannya, meskipun pasir yang digali baru seperempat rit. Meski nanti juragan Danu bakal marah besar. Nardi merasakan firasat buruk.

“Aku mau pulang, Rus! Perasaanku tidak enak!” ujar Nardi sambil mengangkat cangkulnya.

“Lho, kok malah pulang. Bagaimana pekerjaan kita?” seru Rusdi kaget.

“Kalian boleh teruskan tanpa aku!”

“Tidak bisa, Nar. Ini pekerjaan kita bersama. Nanti bagaimana dengan pembagian upahnya?” tukas Hardi.

“Aku tidak usah dibagi. Buat kalian bertiga saja!”

“Kamu itu kenapa sih, Nar, kok tiba-tiba jadi aneh?” tanya Sukri.

“Dia takut kalau nanti turun hujan. Dia melihat awan hitam yang bergulung di atas bukit itu!” Rusdi yang menjawab pertanyaan temannya.

Nardi tak membantah ucapan Rusdi. Dia memang takut. Bukan hanya pada awan hitam itu, tapi perasaannya mengatakan ada sesuatu yang lain. Sebuah ancaman besar, lebih besar dari sekadar datangnya hujan dan air bah. Nardi bergegas pergi. Diiringi tatapan bingung dan heran teman-temannya.

Nardi tahu, sepeninggal dirinya, mereka pasti akan bergunjing. Mereka akan menganggapnya naif, sinting, aneh, atau apa saja. Nardi tak peduli. Dia bergegas pulang ke rumah. Sesampai di rumah, istrinya pun kaget. Perempuan itu tak mengerti kenapa suaminya pulang lebih cepat dari biasanya. Nardi tak mengatakan apa alasannya.

Meski kemudian kekhawatirannya tak terjadi, hujan tidak turun, namun Nardi masih tetap enggan meneruskan pekerjaannya. Dia memilih berdiam di rumah. Istrinya pun mulai uring-uringan. Kalau Nardi tidak bekerja, nanti dari mana mereka dapat uang untuk makan? Nardi tak peduli dengan omelan dan gerutuan istrinya. Ia bersikeras menghentikan pekerjaannya sebagai penambang!

***

Malam itu Nardi bermimpi buruk. Awan hitam bergulung-gulung memenuhi langit, hingga suasana gelap gulita. Tiba-tiba hujan badai melanda. Nardi melihat orang-orang masih sibuk menambang pasir. Lubang-lubang di sepanjang hamparan sungai penuh dengan manusia. Nardi meminta orang-orang untuk menghentikan pekerjaannya, tapi mereka tak peduli. Mendadak dari hulu sungai datang gelombang air bah yang begitu besar, menyapu seluruh badan sungai, dan mengubur lubang-lubang menganga yang penuh manusia.

Ketika terbangun, Nardi merasakan tubuhnya dibasahi keringat. Ia sangat ketakutan. Ia mengucap istighfar. Pertanda apakah mimpi tadi? Apakah akan terjadi bencana besar di desa ini? batinnya sambil termangu-mangu. Keesokan paginya, Nardi menceritakan mimpi itu kepada teman-temannya, tapi mereka tak menggubris. Mereka menganggap mimpi itu hanya sekadar bunga tidur.

“Itu namanya kamu ketento. Karena terlalu memikirkan hal itu, akhirnya terbawa mimpi. Sudahlah, tidak perlu digubris. Yang namanya takdir itu di tangan Allah, bukan mimpi!” tukas Sukri, rekannya.

“Ya, aku sekadar mengingatkan saja, Kri. Kalau pun mimpiku itu hanya sekadar ketento, tapi tak ada salahnya kalau kita waspada. Kekhawatiranku bukan tanpa alasan. Penambangan pasir di sungai itu sudah melewati batas. Hampir semua dasar sungai dipenuhi lubang-lubang besar bekas penggalian. Apakah itu tidak sangat berbahaya dan mengancam keselamatan penambang?” cetus Nardi.

“Kegiatan menambang ini sudah berlangsung bertahun-tahun, Nar. Kita sudah berpengalaman. Kita sudah bisa mengantisipasi bila sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan!” tegas Hardi.

“Apakah kalian tidak ingat, sungai ini seakan sudah mengandung kutukan. Hampir setiap tahun memakan korban. Itulah kenapa dinamakan sungai Luh!”

“Itu tahayul, syirik! Kita tidak boleh percaya pada kepercayaan seperti itu! Dosa besar!” ujar Rusdi.

“Bukan aku mau berpikir tahayul dan syirik, tapi segala sesuatu bisa saja terjadi. Penyebab munculnya bencana itu ada di sungai ini. Lihatlah lubang-lubang besar di sepanjang sungai ini. Apakah kalian tidak merasakan ancaman bahaya di balik lubang-lubang itu?”

“Kamu terlalu membesar-besarkan kekhawatiran. Kamu hanya dihantui oleh perasaanmu sendiri!”

Nardi mendesah. Rasanya percuma ia berkata-kata, karena mereka tak akan percaya. Jika sebuah peringatan tak lagi dianggap sebagai peringatan, maka kata-kata tak lebih dari busa di laut. Muncul sekadar sebagai penanda, namun kemudian menghilang tanpa bekas di tengah lautan air yang tak berbuih. Mungkin hanya orang bijaksana bisa melihat tanda-tanda sebagai sebuah peringatan untuk kemudian meningkatkan kewaspadaan!

***

Pagi itu cuaca cerah, matahari bersinar hangat. Nardi sedang berada di dalam rumah. Tiba-tiba ia merasakan lantai yang dipijaknya bergetar untuk kemudian berguncang dengan sangat keras. Dinding rumah sampai bergoyang, bahkan beberapa perabotan berjatuhan. Spontan ia berlari keluar rumah. Terdengar teriakan histeris, disusul kentongan bertalu-talu.

“Linduuuu….! Linduuuuu!”

Nardi merasakan jantungnya berdetak dengan kencang. Cukup lama juga gempa berkekuatan besar itu berlangsung. Ketika reda, Nardi baru teringat istri dan anak-anaknya. Ia segera mencari mereka. Syukurlah, mereka selamat. Mereka ada di belakang rumah. Tapi sejurus kemudian Nardi teringat dengan teman-temannya. Ia segera berlari menuju ke sungai.

Setiba di tepi sungai, Nardi terpana. Dari atas tanggul sungai ia melihat lubang-lubang yang kemarin berbaris menganga, kini terlihat rata. Tak terlihat ada satu pun lubang di sepanjang hamparan sungai. Beberapa orang yang selamat tampak histeris, menangisi kepergian teman-temannya. Nardi pun sangat terpukul dan sedih, karena ketiga rekannya ikut mati terkubur dalam lubang penggalian!

Namun yang memedihkan dan memilukan hatinya, juragan Danu tak mau bertanggung jawab. Dia tidak mau menyantuni keluarga yang ditinggalkan. Dia merasa tidak ada hubungan apa-apa dengan para penambang pasir itu. Dia mengaku hanya sebagai pembeli, bukan juragan atau majikan. Bahkan dengan santai dia mengatakan bahwa apa yang terjadi ini merupakan sebuah musibah! (*)

Tirtomoyo, 17 Januari 2009

2 komentar:

Bahasa Online mengatakan...

aduh bang.... cerpennya keren, pernah dimuat solopos ya???
oya.. aku mau nanya ni...
bahasa online itu apa ya???
mnurut sobat apakah kita blogger indonesia tlah mnggunakan bahasa indonesia yg baik dan bnar ukt aktivitas blogging???

Eko Hartono mengatakan...

Ya, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu perlu bagi para blogger. Karena bagaimana pun penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar mencerminkan nilai budaya yang tinggi. Kita mesti menghargai dan mencintai bahasa nasional kita. Oke? Trims atas komentarnya...
Salam balik