15 Mei 2009

Calo

Cerpen ini diimuat di SOLOPOS edisi Minggu – 28 November 2004
Oleh : Eko Hartono


Orang menyebutnya calo, makelar, mediator, atau apa saja yang berarti sebagai penghubung. Dan itulah pekerjaan Karman. Laki-laki empatpuluhan tahun itu sangat piawai dalam hal mengurus segala urusan. Banyak orang datang kepadanya untuk mengurus keperluan mereka. Entah itu KTP, SIM, sertifikat, akta lahir, bahkan sampai surat kematian.

Entah kenapa, orang lebih percaya pada Karman dalam mengurus segala urusan. Padahal ada kantor resmi dan pegawai resmi yang melayani hal itu. Namun mereka ternyata lebih suka memasrahkan keperluannya pada Karman. Mungkin karena mereka tak ingin terlalu berbelit-belit dan repot mengurus hal itu. Apalagi sering terjadi mereka banyak dipersulit bila langsung mengurus ke kantor bersangkutan. Bahkan kadang biayanya menjadi lebih besar.

Sementara bila dipasrahkan pada Karman prosesnya cepat dan biayanya juga tidak terlalu tinggi. Surat-surat yang diurusnya pun dijamin asli, bukan aspal. Padahal apalah kedudukan Karman? Pegawai bukan, pejabat bukan. Pendidikannya pun hanya SMA. Tapi dia mampu menyelesaikan semua urusan itu dengan begitu mudah. Ada hal yang terasa kontras dan ironis bila dilihat di setiap loket kantor pelayanan publik ada tulisan ‘Jangan Berhubungan Dengan Calo’. Tapi kenyataannya justru banyak orang berhubungan dengan calo!

Ketika pejabat angkutan kereta api menyatakan bahwa tiket kelas ekonomi dan kelas eksekutif sudah habis terjual, para calo malah menawarkan tiket dalam jumlah besar di depan stasiun. Ketika pejabat Agraria menyatakan mengurus sertifikat tanah paling cepat dalam tempo tiga bulan, para calo malah bisa menjamin dalam satu bulan selesai. Ketika orang-orang yang ingin mendapatkan SIM harus menjalani tes dan ujian, para calo malah bisa memberi garansi tanpa tes dan ujian, SIM langsung keluar!

Bila dipikir-pikir orang seperti Karman justru memiliki kewenangan luar biasa besar dibanding seorang Kaur, Kabag, bahkan Camat sekalipun. Bayangkan, di tangannya segala urusan menyangkut surat-surat penting bisa diselesaikannya dengan mudah. Seharusnya dia yang duduk pada jabatan itu. Seharusnya pemerintah menggaji Karman layaknya pegawai negeri!

***

Suatu hari Karman mendapat order yang cukup berat dan sulit. Dia dimintai bantuan untuk meloloskan salah seorang peserta ujian CPNS. Orang itu bersedia membayar dengan harga tinggi, asal anaknya bisa diterima menjadi pegawai negeri sipil.

“Pokoknya sampeyan usahakan bagaimana pun caranya agar anak saya bisa diterima. Ini nomer tes seleksinya,” kata laki-laki setengah baya yang tampaknya cukup kaya itu.

“Maaf, Pak. Bukannya saya menolak, tapi sekarang agak susah memasukkan pegawai negeri. Peraturannya ketat sekali!” jawab Karman menyatakan terus terang ketidaksanggupannya.

“Saya berani bayar tinggi. Sepuluh juta rupiah?”

“Masalahnya bukan menyangkut uang, tapi kesulitan menentukan lulus dan tidaknya…”

“Baik, saya naikkan menjadi duapuluh juta rupiah!”

“Saya akan cari informasi dulu…”

“Ya, sudah limapuluh juta rupiah!”

“Baiklah, Pak. Saya akan usahakan!”

Begitulah. Dengan besarnya uang bayaran yang bakal diterimanya, Karman akhirnya menyerah. Dia tidak ingin menyiakan kesempatan berharga ini.

“Janji, ya! Kalau sampai gagal, kepalamu menjadi taruhannya!” ancam orang tua itu.

“Oke, Pak! Tapi saya ingin bertemu dulu dengan anak Bapak. Saya perlu mengenalnya lebih dekat!” ujar Karman.

Namanya Budi. Baru saja lulus dari fakultas Ekonomi sebuah universitas ternama. IP-nya 3,80. Dalam hati Karman heran juga, kenapa anak sepintar dia masih juga meminta bantuan calo. Apakah dia tidak yakin dengan kemampuan dirinya sendiri?

“Kamu kelihatannya tidak percaya diri bisa lulus seleksi?” demikian tanya Karman.

“Ya, soalnya saingannya banyak, Mas. Dari ribuan pelamar, hanya ratusan saja yang diterima. Lagian formasi yang saya pilih tergolong jabatan basah. Karirnya bagus buat ke depan!” jawab Budi terus terang.

“Kamu yakin, kalau aku bisa membantu kamu?”

“Yakin, Mas. Soalnya Mas kan sudah berpengalaman…”

“Apa jaminannya kalau kamu nanti bisa diterima?”

“Lho, bapak saya kan sudah ngasih duit.”

“Bagi saya duit tidak penting, yang penting adalah loyalitas dan kepercayaan. Saya mau kalau nanti kamu sudah diterima jadi pegawai negeri kamu jangan lupa sama saya!”

“Beres, Mas. Saya tidak bakal lupa pada sampeyan. Saya berhutang budi besar pada Mas!”

“Baiklah! Saya akan berusaha membantu kamu, tapi kamu juga harus berusaha membantu diri kamu sendiri. Kamu harus belajar lebih tekun biar mudah mengerjakan soal-soal tesnya. Nanti akan saya usahakan bocoran soalnya!” ujar Karman.

Begitulah. Selain berusaha mencari bocoran soal, Karman juga perlu memotivasi Budi agar punya keyakinan diri yang tinggi. Buat apa dia punya IP tinggi dan lulusan perguruan tinggi beken, kalau otaknya tidak dipakai. Makanya, Karman perlu mendorong Budi supaya bersungguh-sungguh belajar agar mampu mengerjakan soal-soal yang diujikan!

Sementara Karman berusaha dengan keras mencari informasi tentang seleksi CPNS. Dia menghubungi beberapa pegawai di lingkungan Pemda yang sudah dikenalnya dekat. Para pegawai di dalam kantor Pemda itu tak ubahnya kepanjangan tangannya. Merekalah yang selama ini membantunya menyelesaikan segala urusan yang ditanganinya. Tapi tidak seperti mengurus surat-surat, kali ini Karman agak menemui banyak kesulitan. Para ‘tangan panjang’nya itu tidak ada yang bisa membantunya secara maksimal, karena sistem penerimaan CPNS kali ini tergolong beda dan sulit ditembus KKN.

Mereka hanya bisa membantu membocorkan sedikit saja dari soal-soal yang akan diujikan. Karman agak kecewa dan putus asa. Tapi dia berusaha tetap yakin. Dia hanya bisa pasrah mengharap keberuntungan dari langit. Dia terus menggenjot Budi agar lebih siap menghadapi ujian seleksi CPNS. Karena menurut Karman kunci keberhasilan itu tergantung pada kemampuan Budi sendiri. Jika Budi berhasil mengerjakan semua soal itu dengan baik, maka berarti tanpa bantuannya dia bisa diterima!

Akhirnya hari ujian seleksi telah dilaksanakan. Mereka tinggal menunggu pengumuman. Dan inilah yang mendebarkan hati Karman. Hari-hari menanti pengumuman merupakan siksaan tersendiri baginya. Tidur tak nyenyak, makan tak enak. Dia memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang bakal diterimanya. Kliennya pernah mengancam akan menghabisi dirinya bila sampai anaknya gagal diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil. Rasanya Karman ingin melarikan diri untuk menghindari tuntutan dari kliennya.

Ketika hari pengumuman itu tiba, Karman sudah siap untuk kabur dari tanggung jawabnya. Tapi sebuah berita gembira datang lewat ponselnya.

“Berhasil, Karman! Anak saya diterima! Anak saya lulus!” seru kliennya itu dari seberang dengan nada senang bukan main.

“Alhamdulillah!” ujar Karman bisa bernafas lega. Bibirnya menyungging senyum bahagia.

Dia sangat senang sekali, karena selain akan mendapat uang limapuluh juta rupiah, Budi sekarang sudah menjadi PNS. Ini berarti ‘tangan panjang’-nya menjadi bertambah. Profesi Karman sebagai calo semakin kokoh. Padahal kalau dipikir keberhasilan Budi bukan semata karena bantuannya, melainkan karena jerih payah anak itu sendiri. Tapi begitulah, Karman makan nangka tanpa harus memanjat pohonnya.

Jadi sebenarnya siapa yang paling bodoh dalam hal ini…?

Tirtomoyo, 31 Oktober 2004


Tidak ada komentar: