18 Mei 2009

Kentongan

Cerpen ini dimuat di SOLOPOS, Minggu 17 Mei 2009
Oleh Eko Hartono


Malam merambat bagai ular yang malas mencari makan. Keheningan begitu sempurna melukis dirinya di kampung kecil ini. Padahal langkah waktu baru berpijak di angka sembilan. Aku seperti berada di sebuah lorong gelap saat berada di ujung jalan kecil ini. Mencangkung sendirian di pos ronda. Di sepanjang pinggir jalan depan rumah warga tampak kerlip lampu menyala redup, seperti parade kunang-kunang.

Tak ada sesosok manusia pun datang menemaniku. Padahal bila siang hari banyak orang datang ke tempat ini. Kampung ini benar-benar mirip kuburan di malam hari. Pintu-pintu rumah warga sudah banyak yang terkunci, penghuninya pun lebih suka meringkuk di peraduan atau bercengkerama dengan televisi. Entah, apakah karena mereka terlalu lelah mengolah ladang seharian atau memang malam tak lagi menyenangkan untuk dijadikan teman!

Sebab, malam begitu dingin dan gelap. Wujudnya tak menghadirkan keindahan sama sekali. Bahkan malam sering dihubungkan dengan hal-hal mistik dan gaib. Segala sesuatu yang berbau jahat dan dosa bersembunyi di balik gelapnya malam. Mereka menyebut perempuan nakal dengan kata perempuan malam. Begitu pun dengan kehidupan yang berbau maksiat dikatakan sebagai dunia malam. Tapi… ah, tidak selamanya demikian.

Malam juga berisi keindahan. Lihatlah, di tengah gelap malam hadir bintang-bintang menyemarakkan suasana. Bahkan di saat datang purnama orang-orang mengagumi keindahannya. Para pujangga mengabadikan malam dalam syair-syair yang indah, para pecinta sejati menjadikan malam teman berbagi rasa, sementara orang-orang alim menjadikan malam sebagai saat tepat untuk bertafakur dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta!

Tapi sayang, di kampung kecil ini malam laksana musuh yang dibenci. Malam seolah menghadirkan sebuah trauma buruk bagi mereka untuk diajak bercengkerama atau sekadar teman berbagi cerita. Lihatlah, saat wajah malam muncul di kala matahari tenggelam di ufuk barat, kaum ibu segera menggiring anak-anaknya ke dalam rumah. “Ayo, jangan main di luar. Ini sudah malam! Nanti kalian digondol wewe…!” Begitu ucapan yang kudengar dari mereka.

Sementara kaum laki-laki malas mendatangi malam, karena mereka sudah cukup senang bercengkerama dengan keluarga di dalam rumah atau mencari kehangatan di atas ranjang mereka. Mereka tak berpikir kampung mereka akan disatroni pencuri karena tak ada yang ronda. Kampung ini sudah cukup aman, bertahun-tahun tak pernah ada cerita kemalingan di rumah warga. Sementara anak-anak muda yang biasanya hobi begadang juga tak nampak batang hidungnya. Mereka begitu asyik main hape di kamar.

Ah, hanya aku sendirian yang masih mau bercengkerama dengan malam. Hanya aku satu-satunya penghuni kampung ini yang masih setia menemani malam. Karena malam memberikan kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan buat diriku. Bersama malam aku jadi lebih berarti. Bersama malam aku tidak kesepian. Sungguh, hanya malam teman setia sekaligus yang bisa memahami keberadaanku.

Di kampung ini aku memang terkucil. Orang-orang sudah tidak peduli kepadaku. Jangankan peduli, menengok pun mereka tak sudi. Di mata mereka aku sudah tak dibutuhkan lagi. Aku seperti kata pepatah; habis manis sepah dibuang. Mereka seakan tak ingat jasaku dulu. Dalam segala situasi dan keadaan aku selalu dilibatkan. Aku menjadi ujung tombak dalam berbagai kegiatan warga. Aku menjadi perantara komunikasi dan jembatan bagi satu dengan lainnya.

Tapi… ah, apa gunanya mengeluh dan meratap. Toh, meskipun aku bisa bicara tak akan merubah keadaan. Aku tetap dianggap ketinggalan zaman. Aku sudah dianggap usang. Aku tak pantas lagi menjadi sesuatu yang bisa diandalkan, apalagi dibanggakan. Bagi warga di kampung ini aku tak lebih barang rongsokan yang sudah tak berharga. Hanya malam yang masih menghargai aku. Desah suaranya ketika dihembus angin terasa menyusup ke relung kalbu.

Bersama malam aku bisa bersenandung menyanyikan lagu kenangan…

Saat ini seperti biasa aku bercengkerama dengan malam dalam suasana yang khusuk dan menentramkan. Bayangan malam yang gelap menyelimuti diriku. Entahlah, beberapa hari ini bangunan pos ronda yang kutempati telah diabaikan oleh warga. Lampu bohlam lima watt yang biasa menerangi tiga hari ini padam. Tapi tak ada seorang pun berinisiatif menggantinya. Maka, menjadi gelaplah bangunan mungil ini. Begitupun jalan di depannya.

Tapi aku tak terlalu merisaukan hal itu. Suasana gelap justru membuatku semakin nyaman bercengkerama dengan malam. Tak ada yang mengusik dan mengganggu kami. Senyap yang datang melengkapi kedamaian. Hanya siulan burung hantu dan celoteh serangga malam terdengar memeriahkan suasana. Namun hal itu tak mengurangi khidmad yang melingkupi. Bahkan desir angin yang menghembus bagai belaian lembut dewi kahyangan.

Tiba-tiba keheningan malam terusik oleh suara langkah kaki yang datang. Ah, siapa pula yang kelayapan di tengah malam sepi begini? Ternyata masih ada juga warga yang keluar dari dalam rumah untuk menyambangi malam di luar. Tapi… eit, tunggu dulu. Dia sepertinya bukan warga kampung ini. Melihat gelagatnya dia tampak mencurigakan. Berjalan mengendap-endap di balik pagar teh-tehan dan menengok ke sekeliling dengan mata waspada. Pakaiannya yang berwarna hitam semakin menyamarkan bayangannya di balik gelap malam.

Tapi di sini, aku tahu keberadaannya. Orang itu tampaknya pencuri. Lihatlah, dia membawa sebuah karung besar dipanggul di pundak. Mungkin isinya barang-barang curian. Ingin sekali kuberitahu warga, tapi mereka sudah tidak peduli padaku. Akhirnya, aku hanya bisa diam menyaksikan pencuri itu melenggang pergi di hadapanku. Baru keesokan paginya warga menjadi gempar…

Semua warga turun ke jalan membicarakan tentang peristiwa pencurian semalam. Rumah Pak Hadi dan Pak Syamsul kemasukan pencuri. Barang-barang berharga seperti perhiasan dan barang elektronik raib dari tempatnya.

“Kejadian ini tak bisa dibiarkan! Kita harus lapor polisi! Kampung kita sudah tidak aman!” ujar Pak RT.

“Tapi, Pak. Bagaimana kita bisa menangkap pencuri itu, karena tidak ada saksi mata yang melihatnya. Kita tidak tahu, siapa pencuri itu? Apakah laki-laki atau perempuan. Jangan-jangan malah warga kita sendiri?” celetuk seorang warga.

Orang-orang saling bergumam seperti kumbang. Mereka saling pandang seakan saling mencurigai satu sama lain. Pak RT kembali bicara.

“Sudah, sudah! Tidak usah saling mencurigai. Sekarang saya mau tanya, siapa yang semalam berjaga di pos ronda?”

Semua orang saling pandang dan semuanya menggeleng. Pak RT geleng-geleng kepala, wajahnya berubah lesu. Seketika matanya tertuju kepadaku, oh tidak, ke bangunan mungil ini. Pandangan mata Pak RT diikuti yang lain. Pak RT lalu melangkah mendekati bangunan pos ronda dan berdiri di hadapan warga.

“Inilah kesalahan kita semua. Kenapa kita tidak waspada? Kenapa kita tidak memanfaatkan pos ronda yang telah kita bangun dengan susah payah ini? Kita sudah lama mengabaikan bangunan pos ronda ini, terlebih kepada benda satu ini…” Tiba-tiba Pak RT mengangkat tubuhku. Dia mencengkeram leherku dan mengambil sebuah potongan kayu dan memukulkannya ke badanku. Bukannya kesakitan, tapi aku malah bersuara lantang.

“Tong… toong… tooong…!” Demikian teriakku.

“Tahukah kalian, suara kentongan ini sudah cukup mampu membangunkan semua warga di kampung ini jika ada kemalingan. Dulu, kentongan malah digunakan untuk menyampaikan informasi penting seperti kebakaran, kebanjiran, kematian, dan lain sebagainya yang biasa disebut sebagai titir. Meski sekarang sudah ada hape, alarm, dan internet, tapi janganlah kita lupakan alat komunikasi yang satu ini. Walau hanya sederhana dan sangat tradisional, tapi manfaatnya luar biasa. Bisa membantu kita dalam situasi darurat. Jadi, mulai sekarang kita giatkan lagi siskamling dan saya wajibkan setiap rumah memiliki kentongan!” tandas Pak RT.

Semua warga mengangguk setuju. Aku pun jadi senang, karena orang-orang sekarang peduli lagi kepadaku! (*)

Tirtomoyo, 7 Maret 2009

Tidak ada komentar: