14 Mei 2009

Uang

Cerpen ini wajib dibaca rakyat Indonesia
(Bahan RETROSPEKSI dalam PEMILU 2009)
Oleh Eko Hartono


Betapa murahnya uang. Di mana-mana orang membagi uang seperti membagi ceceran kembang. Semua orang berebutan, merasa senang tapi juga kesakitan. Bagaimana tidak? Karena tak jarang mereka yang berebut uang saling sikut, jegal, dan melukai orang lain. Yang bikin prihatin, yang berebut uang itu tak lain orang-orang miskin alias rakyat kecil.

Fenomena bagi-bagi uang memang sedang melanda negeri ini. Lihatlah, di kota maupun di desa orang-orang membagi uang. Anehnya, hal semacam ini berlangsung jika akan menghadapi pemilu legislatif, pilpres, atau pilkada. Mereka yang mencalonkan diri sebagai caleg, kepala daerah, atau capres bermurah hati menyebar uang. Mereka seperti pemancing profesional. Yang jadi ikan tak lain rakyat kecil. Umpannya apalagi kalau bukan uang!

Ya, ya. Tak ada umpan yang lebih menarik selain uang. Karena uang bisa membeli segalanya. Mengganjal perut yang lapar, menghibur hati yang susah, bahkan membeli mimpi. Uang memang sangat dibutuhkan, terutama oleh orang-orang miskin. Tiap hari mereka dihadapkan dengan sulitnya mencari uang, mahalnya barang-barang kebutuhan pokok, dan seabrek persoalan yang menuntut penyelesaian. Dan semuanya hanya bisa diselesaikan dengan uang.

Pernah dengar atau baca berita; orang miskin yang sakit berat dan tak diterima di rumah sakit manapun, anak yang putus sekolah karena menunggak iuran, bayi yang tak bisa ditebus orang tuanya setelah persalinan, rumah dan tanah digusur karena tak bersertifikat, tanaman padi mengering karena pupuk bersubsidi mendadak harganya melambung tinggi, dan seabrek kisah pilu orang-orang kecil. Tak akan ada kisah semacam itu jika mereka memiliki uang. Juga jika orang-orang yang suka membagi uang itu mau turun tangan.

Tapi siapa peduli pada saat mereka membutuhkan uluran tangan. Jangan kira mereka yang suka membagi uang itu mau melakukan hal sama selain saat hendak menghadapi pemilu. Karena mereka memang punya agenda, punya rencana, dan punya tujuan. Semua itu dilakukan demi mendapatkan jabatan, kedudukan, kekuasaan. Mereka butuh suara rakyat kecil untuk mencapai semua itu. Dan hanya dengan senjata uang mereka bisa melakukannya. Karena mereka tahu, rakyat butuh uang. Bodohnya, rakyat mudah terbeli!

Rakyat seperti tak pernah berpikir, apakah dengan memakan uang yang mereka terima itu segala kesulitan yang dihadapi akan bisa terselesaikan. Lihatlah, sudah beberapa kali pemilu dilaksanakan, namun nasib rakyat jelata tak ada perubahan. Mereka hanya dijadikan kuda pacuan, uang yang mereka makan hanya beberapa saat memberi kenikmatan –paling tak lebih dua atau tiga hari menguap jadi ampas, maaf, tai—, sementara mereka yang mendapatkan kedudukan dan jabatan, berpesta pora merayakan kemenangan.

Anehnya, mereka yang tak mau menerima uang dianggap nyleneh, tidak umum, dan mbalelo. Bahkan diasingkan dari pergaulan. Hal itulah yang terjadi padaku. Ketika orang-orang sibuk membagi uang, hanya aku satu-satunya orang yang menolak menerima uang. Bukan aku sok kaya dan tidak butuh uang, tapi hati nuraniku berontak pada kenyataan itu. Jika aku menerima uang itu sama halnya aku menjual diri. Aku tak ubahnya seperti pelacur jalanan.

Tapi orang-orang sepertinya tak bisa memahami penolakanku. Mereka tak menghormati keputusanku, padahal ini menyangkut hak asasi yang dilindungi undang-undang –jika saja mereka sudi membaca UUD 1945—. Sikapku dianggap sebagai suatu ketidaklaziman, bahkan dianggap bodoh!

“Jangan bodoh, Mas. Masak diberi uang cuma-cuma tidak mau. Lumayan kan, tidak setiap hari kita bisa dapat rejeki nomplok seperti ini,” kata Marwan.

“Ini bukan rejeki nomplok, Wan. Ini umpan, ini pancingan. Sama halnya dengan suap!” tegasku.

“Suap kalau yang memberi dan menerima sama-sama menginginkan. Tapi kita kan tidak menginginkan. Mereka sendiri yang memberi tanpa kita minta. Soal memilih nanti terserah kita. Tidak harus memilih yang memberi. Beres, kan?”

“Bagaimana kalau yang suka membagi uang terpilih jadi wakil rakyat atau penguasa? Padahal tujuan dia membagikan uang agar bisa mendapatkan kedudukan, dan nanti jika sudah dapat kedudukan tinggal mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama pemilu. Dia tidak lagi memikirkan tugasnya menyejahterakan rakyat tapi menyejahterakan diri sendiri melalui korupsi. Kalau demikian, siapa yang paling rugi dan menerima akibatnya? Kan kita juga yang telah memilihnya!”

“Alaah, Man. Jangan sok idealis begitu! Urusan dia nanti korupsi atau tidak biar urusannya dia. Kita orang kecil tinggal memilih saja. Tidak usah mikir macam-macam!” tukas Somad dengan cara berpikir fatalistisnya.

“Ini bukan urusan mereka saja, tapi juga urusan kita. Bagaimana kalau mereka yang suka bagi-bagi uang itu terpilih semua dan korupsi semua. Mau jadi apa negara ini? Bisa hancur dan rusak negeri ini! Semakin tambah miskin dan sengsara kita!” bantahku.

“Sudahlah! Kenapa jadi mikir soal negara segala! Serahkan urusan negara sama penggedenya. Kita orang kecil mikir urusan orang kecil. Kita sudah susah menghadapi hidup yang makin berat ini. Jika ada yang ngasih uang kenapa tidak kita terima? Jangan sok munafik dan gengsi! Iya, enggak, saudara-saudara!” cetus Pak Darno yang paling disegani di kampung kami.

Semua menyahut setuju. Cuma aku yang diam, seperti orang purba di tengah peradaban modern. Aku memang terasing di tengah gegap gempita pesta demokrasi di kampungku.

Suasana kampungku yang tadinya kelabu dan suram, karena banyaknya pengangguran dan wajah-wajah masam ditindih beban kehidupan, mendadak bersinar bak gemerlap perayaan. Mereka seakan ingin melupakan sejenak kepahitan dan kegetiran. Orang-orang ramai memancang berbagai bendera warna-warni, memasang gambar orang-orang asing yang sebelumnya tak pernah kami kenal, bahkan mereka rela menjadi jurkam-jurkam amatiran yang sibuk mencari simpatisan.

Aku tahu, mereka melakukan semua itu karena ada fulus yang didapatkan. Mereka pun tampak berubah dalam penampilan dan gaya hidup. Markum yang biasanya suka nongkrong di pos ronda dengan baju lusuh sambil melinting rokok ketengan, kini tampak necis dengan baju rapi dan di kantongnya terselip sebungkus dji samsu. Tiap hari nongkrong di warung Yu Darmi memesan seporsi nasi padang lengkap dengan lauknya. Konon, dia jadi kader partai A.

Lihat juga gaya Pak Darno yang sok jadi orang penting. Pensiunan pemulung itu biasanya ke mana-mana melinting sarung di pinggang, tapi kini selalu memakai stelan safari seperti pejabat tinggi. Di kantongnya segepok uang siap dibagikan kepada orang-orang. Dia sedang memperjuangkan seorang caleg yang konon masih keponakannya. Beberapa yang lain memperlihatkan gaya yang sama, gaya orang-orang berduit. Wajah mereka tampak sumringah, cerah, dan seolah tiada beban sedikit pun.

Tapi di mataku, mereka tak ubahnya badut-badut sirkus yang sedang bersandiwara memainkan tokoh ceria. Nanti setelah pertunjukan usai dan gemerlap lampu dimatikan akan tampaklah wajah mereka sebenarnya, akan terlihat kenyataan hidup yang dihadapi. Dan aku tak mau ikut-ikutan mereka, mengecap indahnya dunia dalam sesaat, namun kemudian menelan kegetiran hidup tak berkesudahan. Kegetiran yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri.

Sikapku menolak uang yang dibagikan-bagikan bukan cuma jadi cibiran orang-orang di sekitarku, tapi juga istri dan anak-anakku. Mereka tak habis mengerti, kenapa aku bersikukuh tak mau menerima uang. Padahal uang begitu sangat dibutuhkan oleh keluargaku. Istriku menyebut aku manusia aneh bin ajaib, anak-anakku bahkan tega menyebutku manusia langka.

“Sampeyan jangan sok suci, sok idealis, sok pinter, sok gengsi, sok pahlawan, dan sok-sok lainnya. Kita tidak bakal bisa makan kalau sampeyan mengandalkan sikap sok sampeyan itu. Tidak bakal ada yang mengangkat sampeyan jadi menteri dengan sikap sok sampeyan!” ujar istriku sinis.

“Bapak tidak bakal jadi pahlawan yang dipahat jadi monumen, tapi cuma akan dimasukkan museum yang akan dilupakan. Itu pun seandainya ada museum kaum pemulung!” komentar anak sulungku, maksudnya melucu tapi sarkastis.

Aku cuma diam, disekap kebisuan. Sulit memang menjelaskan pada orang-orang betapa pentingnya menjaga harga diri dan kehormatan. Sebab, harga diri dan kehormatan tidak bisa dibeli dengan uang. Harga diri dan kehormatan cermin jiwa. Haruskah kita menjual jiwa kita demi sekeping dua keping rupiah yang hanya sesaat bisa dinikmati. Aku memang orang miskin dan hidup serba kekurangan, tapi bukan berarti aku harus menjual diriku dengan harga murah!

Mereka yang suka membagikan uang memang tidak akan pernah berpikir tentang nasib kami, bahkan kelangsungan hidup kami. Karena yang mereka pikirkan adalah memburu jabatan. Mereka menjadikan kami batu loncatan, kuda pacuan, bahkan –maaf— pelacur murahan sekadar memuaskan hasrat keinginan. Ketika semua itu telah tercapai, jangan harap mereka menoleh apalagi melirikkan mata pada nasib kami.

Karena nasib kami sebenarnya sudah digantung dengan selembar surat peringatan dari pemerintah kota yang akan menggusur tempat tinggal kami. Tanah yang sudah kami tempati selama bertahun-tahun ini, tiba-tiba diklaim oleh seorang pengusaha kaya dan akan didirikan hotel berbintang. Sudah beberapa kali pemilu nasib kami terkatung-katung. Tak ada satu pun dari mereka yang membagi-bagikan uang itu membebaskan kami dari belenggu persoalan ini. Mereka hanya bisa berjanji, berjanji, dan berjanji… kosong!

Sayangnya, orang-orang tak memikirkan hal ini. Mereka hanya berpikir sesaat; mendapatkan uang, bisa makan enak, hura-hura, senang-senang sebentar, setelah itu… siap terjun ke jurang kesengsaraan! (*)

Tirtomoyo, 17 Maret 2009

Tidak ada komentar: