11 Juni 2009

Azimat Hidup

Cerpen dimuat di Majalah Al-Kisah No.07/29 Maret – 11 April 2004
Oleh Eko Hartono


Cita-cita Bondan untuk menjadi orang sakti mandraguna tampaknya telah tercapai. Kini ia dikenal memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Tubuhnya tak mempan senjata tajam. Dia mampu membengkokkan batang besi baja dan mematahkan dengan jari tangannya. Dia juga mampu menghilang dan memindahkan benda dari tempatnya tanpa memegangnya. Terus terang aku sangat kagum dengan kemampuannya itu.

Dulu, semasa masih muda, Bondan pernah mengajakku untuk mempelajari ilmu kesaktian, tapi aku tidak tertarik. Aku lebih suka mendalami ilmu agama di pesantren. Alasan Bondan ingin memiliki ilmu kesaktian untuk menjaga diri dari kejahatan dan bisa berguna bagi kehidupannya. Di tengah masyarakat orang yang berilmu tinggi biasanya sangat dihormati dan disegani. Aku bisa memahami alasan Bondan itu. Tapi aku punya pendapat lain.

“Untuk mendapatkan keselamatan dalam hidup ini kita kan bisa berdoa memohon kepada Allah. Hidup ini yang mengatur adalah Allah!” kataku saat itu.

“Iya, tapi selain berdoa kita kan juga perlu berikhtiar. Nah, ikhtiarnya lewat belajar ilmu kesaktian!” pendapat Bondan.

“Tapi aku khawatir ilmu kesaktian akan menjerumuskan kita ke dalam tindakan syirik dan riya’. Karena tak jarang ilmu semacam itu didapatkan lewat cara-cara yang tidak Islami. Misalnya, dengan jalan menyembah roh halus atau meminta sesuatu pada syetan. Selain itu dengan memiliki ilmu kesaktian kita menjadi riya’ atau sombong karena merasa lebih kuat dan lebih tinggi dibanding yang lain!”

“Ah, tidak, Nur. Kalau aku tidak bakal seperti itu. Aku nanti akan mengamalkan ilmuku untuk membantu orang lain!” ujarnya penuh keyakinan. “Mudah-mudahan kamu ingat janjimu itu!”

Begitulah percakapan yang pernah terjadi antara aku dan Bondan beberapa tahun silam sebelum ia memiliki ilmu kesaktian. Dan beberapa tahun kemudian aku bertemu dengan dia, tapi dalam keadaan yang sudah berbeda. Aku telah lulus dari fakultas Tarbiyah dan kini menekuni profesi sebagai guru di sebuah Madrasah, sementara Bondan mengaku telah lulus dari berbagai perguruan ilmu kebatinan dan ilmu tenaga dalam.

Bondan menunjukkan beberapa benda asing yang dikatakannya sebagai azimat atau benda sakti. Ada batu akik, keris, tasbih, kalung, gelang, kulit binatang, dan macam-macam lagi. Katanya, untuk mendapatkan semua benda sakti itu dia harus menjalani laku atau tapa brata yang sangat berat. Dia pernah kungkum (berendam) di dalam air sungai yang dingin selama empatpuluh hari empat puluh malam, mendaki gunung yang tinggi, menyelam ke dasar laut, bahkan memasuki gua yang gelap gulita. Berbagai peristiwa aneh dan gaib pernah dialaminya.

Pada tubuhnya yang kekar dan gagah itu juga telah dipasangi beberapa rajah, mantera, susuk, dan tatto. Semuanya merupakan sarana atau alat untuk menyimpan ilmu kesaktian yang dimilikinya. Masing-masing benda azimat itu memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang untuk tolak bala, menangkal santet, membuat kulit tubuh kebal senjata tajam, membuat mata bisa melihat makhluk halus, menyulap benda, menghipnotis, membaca pikiran orang, dan macam-macam.

Untuk meyakinkanku bahwa ia telah berhasil mencapai kesuksesan dalam mencari ilmu kesaktian, Bondan lalu memperagakannya di depan mataku. Diantaranya dia menyilet lengannya tapi tetap utuh dan tidak terluka sedikit pun. Aku dibuat terpana takjub dan kagum, tapi sejurus kemudian aku sadar bahwa semua itu atas Kuasa Allah.

“Subhanallah!” ucapku.

“Ya, Nur! Semua ini hasil jerih payahku berguru ke berbagai tempat. Aku pernah belajar ilmu kesaktian pada seorang kyai, paranormal, dan orang-orang pintar yang sudah terkenal memiliki ilmu linuwih!” ujar Bondan dengan nada penuh kebanggaan.

“Apa yang kamu cita-citakan telah tercapai. Mudah-mudahan semua itu bisa memberikan manfaat dan berguna…”

“Tentu saja, Nur! Buat apa aku susah payah mencari semua ini kalau tidak ada gunanya sama sekali. Aku bahkan harus mematuhi berbagai aturan yang tidak boleh dilanggar agar ilmu yang kumiliki ini bisa langgeng. Misalnya, aku tidak boleh berzinah, makan darah hewan, mencuri, makan sate kelinci, dan banyak lagi. Jadi sudah pasti aku harus menggunakan untuk hal-hal kebaikan….”

“Lalu, apa sekarang yang kamu kerjakan?”

“Aku menjadi pengawal pribadi orang kaya. Istilahnya bodyguard. Biasalah, orang kaya maunya mendapat perlindungan yang kuat. Dan orang-orang seperti aku ini yang direkrut. Lumayan, Nur. Gajinya cukup besar dan dapat fasilitas komplet! Pokoknya enak, deh!”ujar Bondan sambil tersenyum penuh arti.

Aku hanya tersenyum kecut. Kulihat penampilan Bondan sekarang memang agak lain dari dulu. Dia terlihat lebih necis, trendy, dan keren. Ke mana-mana bawa mobil dan HP. Tampaknya hidupnya sudah berkecukupan. Sementara aku bisa dibilang pas-pasan, untuk tidak menyebutnya miskin. Aku memang hidup serba sederhana dan diliputi banyak kekurangan. Maklumlah, gaji seorang guru swasta paling berapa? Apalagi untuk menghidupi istri dan anak.

Tapi sejurus kemudian aku mengucap istighfar, karena sadar bahwa tiap manusia memiliki nasib berbeda. Jalan hidupku dan jalan hidup Bondan memang lain. Teman sekampungku itu memilih jalan yang menurutnya adalah terbaik. Sementara aku juga menempuh jalan yang menurutku baik. Aku menjadi guru dan bisa mengabdi kepada masyarakat. Tugasku menurutku mulia karena berhubungan dengan mencerdaskan bangsa. Aku bahagia dengan kehidupanku ini, karena Allah telah mencukupkan segala kebutuhanku.

Memiliki istri salekhah, anak-anak yang manis, dan hidup di lingkungan yang damai, bukankah itu sebuah karunia yang tiada terkira besarnya?

***

Suatu hari aku punya kesempatan bertemu kembali dengan Bondan. Aku melihat keadaannya masih seperti dulu. Ketika kutanyakan kabar apakah dia sudah beristri, Bondan terlihat lesu. Terpancar keraguan di wajahnya. Sepertinya ia menyimpan kegalauan dalam dirinya. Dengan raut yang tampak pasrah dan sedih, ia berucap.”Aku belum beristri, Nur…”

“Kenapa, Ndan? Apa tidak ada wanita yang sesuai dengan pilihan hatimu? Kukira laki-laki sepertimu akan banyak pengagumnya, terutama kaum wanita. Masak tidak ada yang nyantol di hatimu?” ujarku sedikit menggoda.

“Bukan begitu, Nur. Kalau masalah mencari wanita, itu hal mudah bagiku. Tapi masalahnya, aku tak bisa menikah!” ucap Bondan dengan nada berat.

“Tidak bisa menikah bagaimana? Apakah kamu…?” Aku tak meneruskan kalimatku karena takut menyinggung perasaannya.

“Salah satu pantangan agar aku bisa terus melestarikan ilmu kesaktian adalah tidak boleh menikah!”

“Masya Allah!” Aku kaget mendengarnya. “Jadi karena hal itu? Berarti ilmu kesaktian yang kamu miliki itu telah menghalangimu menjadi manusia yang utuh. Kamu mengingkari kodratmu sebagai manusia yang ditakdirkan berpasang-pasangan. Kecuali memang sudah takdir-Nya, tapi bagi laki-laki sempurna sepertimu seharusnya kamu menikah. Ini untuk menjaga dari zinah!”

“Kalau aku menikah, maka akan timbul kutukan berat. Aku bisa celaka atau keluargaku ada yang kena celaka. Aku jadi takut, Nur. Padahal sebenarnya aku ingin sekali menikah. Aku ingin memiliki sebuah keluarga dan hidup bahagia di tengah mereka. Tapi… oh, aku menyesal, Nur. Kenapa aku harus menekuni ilmu kesaktian ini. Aku baru sadar resikonya sekarang….” Keluhnya.

Aku jadi prihatin dan ikut sedih dengan nasib Bondan. Dia telah terbelenggu oleh azimat-azimat yang dimilikinya. Azimat yang katanya bisa membuatnya sakti mandraguna dan mendatangkan kenikmatan hidup. Tapi menurutku semua itu justru menjerumuskan dan menyesatkan. Aku sebenarnya tak percaya bahwa azimat-azimat itu akan membawa celaka bila Bondan menikah. Yang menentukan celaka dan selamatnya manusia adalah Allah. Jika manusia bergantung pada Allah, maka tiada kekuatan mana pun yang bisa mengganggunya.

“Sebaiknya kamu lepaskan azimat-azimat itu dan jadilah manusia yang normal, Ndan. Dari pada hidup kamu tersiksa dan menderita. Kebahagiaan hidup kamu tidak bergantung pada azimat-azimat itu. Kamu harus lebih percaya kepada Allah yang mengatur isi alam semesta ini. Jika kamu mau bersujud kepada Allah dan memohon kepada-Nya, insya Allah, apa yang kamu harapkan bisa terkabul. Hanya Allah yang menentukan nasib manusia di dunia. Percayalah!” ujarku meyakinkannya.

Bondan terpekur mendengar ucapanku. Tampaknya dia ingin menyelami dan merenungi apa yang barusan kukatakan. Aku cukup senang melihatnya mau mendengar nasehatku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku mengambil kitab suci Al Qur’an ukuran kecil yang biasa kubawa ke mana pun pergi. Kuberikan kitab suci itu kepada Bondan.

“Oh, ya, Ndan. Aku punya hadiah untukmu. Kalau boleh dibilang sebagai azimat, mungkin inilah azimat paling sakti di muka bumi ini. Al Qur’an ini bisa kamu baca dan pelajari, karena di dalamnya terdapat banyak petunjuk kehidupan yang bisa kamu ikuti. Ilmu agama inilah sesungguhnya ilmu paling mulia dan paling tinggi dibanding ilmu apa pun, karena dari ilmu ini kamu akan bisa mendapatkan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. Tidak hanya di dunia, tapi juga di akherat!” tuturku memberikan pesan.

Bondan menerima pemberianku dengan tangan gemetar.

***

Tiga tahun kemudian…

Aku datang kembali mengunjungi Bondan, karena kudengar kabar ia masuk rumah sakit. Perasaanku agak cemas mengingat dulu ia pernah bilang bila azimat yang dimilikinya dilepas, maka bisa mendatangkan celaka. Bukannya aku percaya dengan hal itu, tapi aku takut Bondan akan kembali kepada keyakinannya yang dulu.

Tapi seperti yang kulihat, Bondan tampak berbaring di ranjang dengan salah satu tangannya diperban gips. Wajahnya tidak terlihat sedih atau muram. Bahkan tampak ceria begitu melihat aku datang. Dia langsung bercerita apa yang telah membuatnya celaka.

“Cuma kecelakaan kecil kok, Nur. Aku sedang menyeberang jalan membelikan mainan untuk anakku, tiba-tiba ada mobil melaju kencang menyerempetku. Untunglah tidak sampai fatal. Allah masih melindungi diriku. Hanya lecet sedikit dan retak pada tulang tangan kiriku. Tapi besok aku sudah bisa pulang, kok!” ujarnya kalem.

Bondan sudah memiliki anak? Begitulah! Setelah mendengar nasehatku beberapa waktu lalu, Bondan akhirnya melepaskan azimat-azimat yang menempel di badannya dan membuang semua ilmu kesaktian yang dimilikinya. Sebaliknya, ia mulai menekuni ilmu agama dan menjalani hidup normal sebagaimana layaknya manusia lainnya. Menikah, punya anak, membentuk rumah tangga sakinah!

“Kudoakan semoga lekas sembuh, Ndan!” ucapku.

Bondan tersenyum. Aku ikut senang. Untuk mengisi waktu sekaligus berikhtiar bagi kesembuhan dirinya Bondan banyak berdzikir dan membaca kitab suci Al Qur’an yang dulu pernah kuberikan. Ia kini meyakini bahwa ‘azimat hidup’ yang paling sakti dan mulia tak lain adalah kitabullah. Bondan kembali kepada fitrahnya sebagai manusia. Berharap dan bergantung sepenuhnya kepada Allah. (*)

Tirtomoyo, Desember 2003

Tidak ada komentar: