11 Juni 2009

Mantan Pejabat

Cerpen ini dimuat di SOLOPOS, 31 Oktober 2004
Oleh Eko Hartono
buka situsnya di: www.solopos.co.id


Setelah tidak lagi menjadi pejabat kini sikap dan perilaku Ratno banyak berubah. Bila biasanya ia suka memakai stelan jas rapi dengan dasi atau paling tidak mengenakan baju safari, tapi sekarang lebih suka pakai baju batik biasa. Bahkan kadang cuma kaos oblong dengan sarung.

Yang lebih mencolok adalah kebiasaannya membawa HP. Dulu, hampir tiap saat HP-nya berdering karena banyak sekali yang mengontaknya. Sekarang HP itu malah sudah tidak ada, entah diberikan pada siapa. Kini kebiasaan barunya adalah berkontak dengan burung perkutut kesayangannya di belakang rumah. Bisa berjam-jam ia duduk di depan burung itu, mengajarinya mengoceh atau kadang malah mengajaknya berbicara.

Keadaannya itu tentu saja membuat keluarganya jadi prihatin. Mereka jadi berprasangka yang bukan-bukan tentang perubahan perilaku Ratno.

“Jangan-jangan Bapak mengalami post power syndrome, Bu,” cetus Bagus, anak tertua, kepada Maryati, sang ibu.

“Sepertinya begitu, Gus. Bapakmu tidak bisa menerima kenyataan kalau sekarang dirinya sudah tidak jadi pejabat, lalu bertingkah yang aneh-aneh. Aduh, bagaimana ini?” cetus Maryati jadi cemas.

“Bapak sakit jiwa ya, Bu?” celetuk Ratna, anak nomer dua, ringan.

“Huss, jangan ngawur kamu!” tukas kakaknya.

“Tapi kenyataannya begitu, Mas. Coba lihat saja kelakuannya. Sejak pensiun, Bapak sekarang suka semaunya sendiri. Bawaannya jadi pendiam dan suka menyendiri. Tidak terlihat lagi kewibawaan dan sosoknya sebagai mantan pejabat. Bapak tak ubahnya seperti gembel jalanan!”

“Betul itu, Mas. Bapak sekarang sudah berubah! Beliau kini sudah tidak punya gigi lagi!” sambung Doni, anak bungsu ikut berkomentar.

Semuanya diam termenung. Mereka membenarkan apa yang diucapkan Doni. Penampilan Ratno sekarang memang tidak lagi mengesankan sebagai mantan pejabat tinggi. Biar pun sudah pensiun, seorang mantan pejabat biasanya masih menyisakan aroma kekuasaannya. Entah itu lewat penampilan, perilaku, atau pencantuman nama dalam berbagai event kegiatan. Paling tidak dia suka menghadiri acara-acara yang berhubungan dengan kegiatan di masyarakat. Para mantan pejabat masih bisa mendapatkan tempat istimewa di lingkungan mana saja, bahkan untuk jadi beking.

Tapi tidak dengan Ratno. Berbagai undangan untuk hadir dalam berbagai event atau kegiatan tak ada yang mau didatanginya. Dia bahkan enggan untuk sekedar menyampaikan pidato di depan rapat RT. Dia tidak mau ditunjuk sebagai ketua dewan penyantun, ketua penasehat, ketua pembina, atau apa sajalah jabatan di organisasi masyarakat yang sebenarnya bisa mengangkat kembali namanya. Banyak rekan-rekannya sesama pejabat yang telah pensiun justru kian populer karena bisa merangkap berbagai jabatan bergengsi. Ada yang jadi ketua Parpol, ketua paguyuban, komisaris perusahaan, ketua organisasi olah raga, atau jadi tokoh elite yang disegani.

Ratno justru menenggelamkan dirinya di dalam ruang sunyi kamarnya membaca buku-buku, bersembahyang, atau berasyik masyuk dengan burung perkutut kesayangannya di belakang rumah. Seperti seorang pertapa yang sedang menyepi. Hari-harinya jauh dari gebyar duniawi. Hal inilah yang membuat istri dan anak-anaknya jadi heran, kecut, sekaligus mangkel. Bagaimana tidak mangkel, karena penampilan Ratno ikut mempengaruhi hidup mereka.

“Saya sekarang dikucilkan teman-teman, Bu. Mereka tidak ada yang mau bergaul dengan saya. Mereka menganggap saya tidak lagi selevel, karena Bapak bukan lagi pejabat. Bahkan ada yang tidak percaya Bapak mantan pejabat, karena mereka tidak pernah mengenal nama Bapak lagi,” demikian kata Doni, pelajar di sebuah SMU favorite itu mengeluh.

“Seharusnya Bapak masih bisa berperan di tengah masyarakat, biar kita bisa tetap dikenal sebagai keluarga pejabat. Bapak kan bisa jadi ketua Parpol, ketua yayasan, ketua ormas, atau apa saja kek, asal punya jabatan lagi. Dengan begitu kita jadi enak mau ngapa-ngapain gampang. Orang akan tahu kalau kita anaknya Bapak Ratno,” sambung Ratna.

“Aku juga kena dampaknya setelah Bapak tidak lagi menjabat. Kini tidak ada lagi proyek-proyek yang bisa kudapatkan dari rekanan. Biasanya dulu kalau mau ikut tender aku cukup bilang punya memo dari Bapak, jadinya gampang dapat. Tapi sekarang jadi sepi…” keluh Bagus yang punya perusahaan kontraktor.

“Yaah, ibu juga ikut turun pamor setelah bapakmu tidak menjabat lagi. Dulu kalau ada event-event tertentu ibu suka diundang untuk gunting pita, jamuan makan, dapat free card, atau sekedar duduk jadi juri di berbagai festival. Tapi sekarang boro-boro gunting pita, dapat undangan makan saja tidak pernah. Ini karena Bapak tidak mau lagi ikut dalam kegiatan di masyarakat. Cukup jadi ketua yayasan sosial saja kek, yang penting namanya masih dikenal!” cetus Maryati ikut mengeluh seperti anak-anaknya.

“Sepertinya kita harus berbuat sesuatu, Bu. Kita suruh Bapak supaya aktif lagi di dunia luar?” cetus Ratna memberikan gagasan.

“Benar, Bu. Jangan biarkan keadaan ini terus berlarut. Jangan-jangan Bapak mengalami sakit jiwa beneran. Kita harus membangkitkan kembali semangatnya!” sambung Doni mendukung.

Maryati hanya menganggukkan kepalanya. “Ya, sepertinya kita memang harus bicara sama Bapak. Tapi sebaiknya kita melakukannya bersama-sama, biar Bapak memahami keinginan kita!” ujarnya menyanggupi permintaan anak-anaknya.

Dan malam itu Maryati bersama anak-anaknya mengajak bicara Ratno. Dengan lugas mereka satu persatu mengungkapkan keinginan mereka agar Ratno bisa berkiprah lagi di dalam kegiatan masyarakat. Mereka tidak ingin kewibawaan dan kehormatan keluarga mereka menjadi turun derajatnya setelah Ratno pensiun. Ratno masih bisa berbuat sesuatu untuk mengangkat kembali namanya. Toh, usianya belum begitu tua amat dan tenaganya masih kuat.

Ratno tercenung sejenak mendengar semua curahan hati istri dan anak-anaknya. Wajahnya terlihat muram.

“Ketahuilah, Istri dan anak-anakku. Kenapa aku memilih untuk tidak aktif lagi setelah pensiun? Karena aku takut dan cemas dengan perilaku kalian. Aku tidak mau hidup keluargaku dihiasi kemunafikan dan kepalsuan. Kalian tahu bahwa jabatan yang pernah kuperoleh itu adalah sebuah amanah dan kepercayaan. Aku mesti mempertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya. Tapi oleh kalian jabatan yang kududuki itu dijadikan sarana untuk memenuhi kepentingan, kesenangan, egoisme, dan ambisi pribadi kalian. Dengan membawa-bawa nama Bapak kalian bisa menikmati berbagai fasilitas negara dengan seenaknya, meminta keistimewaan dalam pergaulan, mencaplok proyek yang semestinya harus didapatkan dengan fair, atau dijadikan senjata buat memenangkan perkara. Apakah semua itu benar?” cetus Ratno dengan nada tajam.

Istri dan anak-anaknya malah diam terpekur. Kata-kata Ratno tampaknya sangat mengena telak dalam hati mereka.

“Bapak sudah memberikan yang terbaik buat kalian. Seperti kamu Bagus, sekarang kamu sudah punya perusahaan sendiri. Jalankan perusahaanmu dengan segenap kemampuan dan potensimu, jangan mengandalkan lagi nama Bapak. Lalu kamu Ratna, sekarang kamu sudah dapat gelar S1. Buat apalagi gelar itu? Kamu menunggu Bapak memberikan memo biar bisa masuk ke instansi atau perusahaan besar, begitu? Dan kamu Doni? Apakah hanya karena teman-temanmu sekarang tidak lagi mau bergaul denganmu gara-gara Bapak sudah pensiun, akan membuat kamu kehilangan nilai bagus di sekolah? Justru ini bisa jadi pelajaran berharga buat kamu bahwa teman-temanmu yang dulu itu tidak pernah tulus dalam bersahabat. Lebih baik kamu berteman dengan orang biasa, tapi bernilai dalam menjalin persahabatan,” lanjut Ratno kemudian menasehati anak-anaknya.

“Dan terakhir buat kamu, istriku. Kita sekarang sudah sama-sama tua. Buat apa lagi mengejar hal-hal yang bersifat duniawi? Sudah saatnya kita memikirkan tentang bekal akherat. Kita harus lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memperbanyak amal kebajikan. Karena hanya itu yang akan kita bawa bila kelak mati!” tandas Ratno.

Semuanya hanya diam termenung.

Tirtomoyo, 14 Agustus 2004

1 komentar:

Q11901 mengatakan...

Siip... Setuju