11 Juni 2009

Bunuh Diri

Cerpen ini dimuat di Harian SOLOPOS, 19 Maret 2006
buka situsnya di: www.solopos.co.id
Oleh Eko Hartono


Seutas tali di sudut kamar membuatku terbujuk untuk melakukan tindakan nekad. Bunuh diri. Ya, mungkin itu satu-satunya jalan yang bisa membebaskanku dari segala beban yang merongrong jiwaku. Kubayangkan, bagaimana kematian datang menjemputku. Mungkin akan terasa amat sakit, seperti dirajam tujuhpuluhribu pedang. Namun kupikir hanya sekejap.

Aku tahu, semua orang akan mencibirku. Menganggapku manusia picik. Tak punya pikiran panjang. Tapi sudah terlalu panjang pikiran kuulur, namun jalan penyelesaian masalah tak kunjung datang. Bahkan kurasakan himpitan beban itu semakin berat menindih batinku. Satu persatu persoalan datang dan tak satupun yang berhasil diselesaikan.

Sejenak kucoba mengenang perjalanan hidupku sebelum mengambil tindakan bunuh diri. Masih terbayang masa kanak-kanakku saat di desa, berkumpul bersama orangtua dan saudara-saudara. Walau aku lahir dari keluarga miskin –bapakku seorang petani—, namun hidup kami terasa damai dan tenang. Kami makan seadanya dan saling berbagi. Aku hanya tamat SD, karena tak ada biaya untuk meneruskan sekolah.

Beranjak dewasa aku ikut saudaraku merantau ke kota. Bekerja serabutan. Menjadi kuli bangunan, tukang parkir, kernet angkot, dan pekerjaan kasar lainnya pernah kulakoni. Kehidupan yang kujalani sungguh tak menentu. Sampai kemudian aku mengenal seorang gadis, menikah, dan dikaruniai tiga orang anak. Mereka masih kecil-kecil. Kami tinggal di rumah kontrakan yang sempit. Istriku menjadi buruh cuci. Sementara aku…

Sejak diPHK dari pabrik plastik, aku jadi pengangguran. Sudah hampir tiga bulan ini aku tidak bekerja. Padahal kami butuh makan, bayar sewa rumah, bayar listrik, dan kebutuhan penting lainnya. Penghasilan istriku dari jasa mencuci tak mencukupi lagi. Hutang kami di warung juga sudah menumpuk. Sementara anakku yang sudah duduk di bangku sekolah merengek minta dibelikan buku, seragam, dan iuran sekolah.

Kepalaku rasanya mau pecah mendengar rengekannya. Istriku juga tak tahan lagi menghadapi situasi ini. Dia mendesakku untuk segera mencari pekerjaan, tapi apa daya usahaku tak berhasil. Tiap hari aku menyusuri jalanan, berharap ada pekerjaan kudapat. Kudatangi semua rekan dan kenalan, meminta bantuan, tapi tak ada satupun yang bisa menolongku. Mereka sendiri rata-rata orang susah.

Hari-hari di rumah seperti di neraka. Panas. Aku sering cekcok dengan istri karena masalah uang. Setiap kali menyinggung soal uang, kami jadi sangat sensitif dan emosional. Aku sadar, sebagai kepala keluarga, aku dituntut tanggung jawab menafkahi keluarga. Tapi kalau keadaannya sedang susah begini, mau bagaimana lagi? Aku hanya berharap istriku mau mengerti.

Tapi alih-alih mau mengerti, dia malah menekanku. Dia terus mengungkit-ungkit soal tanggung jawabku sebagai suami dan ayah. Ujung-ujungnya, dia akan merendahkan harga diriku. Dia menganggap aku tak becus cari uang, pemalas, bodoh, dan cemoohan kasar lainnya. Hal ini semakin menghimpit dadaku, membuatku terpuruk pada jurang keputusasaan paling dalam.

Untunglah, aku bukan suami temperamental yang mudah melakukan kekerasan. Aku hanya bisa menyimpan rasa sakit hati dan pedihku dengan diam. Jika suasana sudah demikian panas, aku memilih pergi dari rumah. Mencari tempat sepi untuk menenangkan diri. Tapi menyendiri dalam kesepian justru menyeretku pada keinginan gila. Aku berpikir ingin mengakhiri hidupku agar beban penderitaan di dunia ini tak kurasakan lagi.

Bagi sebagian orang bunuh diri mungkin dianggap tindakan pengecut. Tidak berani menghadapi tantangan hidup. Tapi aku sudah tidak punya pilihan. Bagiku, tantangan hidup itu sudah demikian berat dan menyesakkan. Hampir tiap hari berbagai kesulitan menantang di hadapanku, tapi tak ada satupun yang bisa kuselesaikan. Semua persoalan menumpuk dan menghimpitku hingga rasanya sulit bagiku untuk bernafas. Aku merasa diriku sudah tidak berguna, tidak berharga. Aku manusia tak punya arti, bahkan untuk keluargaku sendiri!

Memikirkan kematian, membuat urat syarafku bergetar. Ada perasaan yang sulit digambarkan. Mungkin seperti memasuki dunia gelap dan kosong. Ada rasa gugup, cemas, takut, bingung, dan was-was. Aku lalu membayangkan, apa yang terjadi nanti jika aku mati. Sudah pasti, istri dan anak-anakku akan menangisi kepergianku. Tapi itu tak lama. Waktu yang terus berjalan akan mengobati kesedihan mereka.

Nasib istriku mungkin akan berubah. Dia masih cukup muda dan berwajah lumayan, kukira ada laki-laki yang tertarik untuk menikahinya. Mudah-mudahan orang kaya, sehingga bisa menjamin kehidupannya dan anak-anakku juga. Tapi bagaimana kalau orang itu miskin? Istriku akan semakin menderita, dan anak-anakku tak terurus. Apalagi kalau punya anak dari suaminya yang baru, anak-anakku tak diperhatikan lagi. Mereka disisihkan, bahkan mungkin dibuang.

Oh, tidak!

Aku tak sanggup membayangkan hal itu terjadi. Biar bagaimana pun aku tidak ingin anak-anakku hidup menderita seperti aku. Biarlah aku saja yang mengalami kemiskinan dan menaggung beban berat ini, jangan sampai anak-anakku mengikuti jejakku. Tapi membiarkan mereka hidup tanpa seorang ayah, apakah itu sebuah tindakan bijaksana? gugat nurani dalam diriku.

Tidak! Mereka akan kuat dan baik-baik saja. Aku tahu, istriku wanita yang kuat dan mandiri. Dia rajin bekerja dan sangat menyayangi anak-anaknya. Dia akan berbuat apa saja untuk membahagiakan hidup mereka. Mungkin dia tidak akan menikah lagi agar bisa selalu dekat dengan anak-anaknya, meskipun beban yang dipikulnya semakin berat. Tapi aku yakin dia mampu!

Berpikir seperti itu membuat aku tergerak melaksanakan niatku. Pelan-pelan kuraih tali itu, tanganku gemetar. Tali ini cukup panjang. Mungkin perlu melipat dua kali agar tidak mencapai tanah saat dipasang di balok kayu penyangga atap rumah. Suasana sepi sangat mendukung rencanaku. Istriku sedang berada di rumah tetangga dan anak-anakku bermain di luar. Aku hanya butuh keberanian untuk melaksanakan niatku.

Suasana terasa mencekam dan menegangkan saat aku berdiri di sebuah kursi, sementara tali yang terbuat dari nylon ada di tanganku. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Sejenak aku merenungkan kembali niatku ini. Bayangan wajah istri dan anak-anakku berseliweran di benakku, tangan mereka melambai-lambai. Kupejamkan mata rapat-rapat, mencoba mengusirnya. Ketika tali yang sudah kurangkai simpulnya itu hendak kumasukkan ke dalam leherku, tiba-tiba…

“Bapak! Bapak…! Ada nenek-nenek kecebur sumur!” suara nyaring anakku mengagetkanku.

Bocah berusia lima tahun itu sudah memasuki kamarku dengan wajah tegang. Sejenak dia bingung melihatku berdiri di atas kursi sambil memegang tali.

“Ada apa, Ton?” tanyaku.

“Nenek Marijah kecebur sumur!” jawabnya gugup.

Aku langsung berlari keluar sambil membawa tali yang hendak kupakai bunuh diri. Aku menuju ke rumah nenek Marijah. Kulihat beberapa orang perempuan terlihat panik dan bingung di dekat sumur. Mereka menjerit-jerit histeris. Tak ada seorang pun laki-laki dewasa yang bisa dimintai bantuan. Ketika aku datang, mereka langsung menyuruhku menuruni sumur menolong nenek Marijah.

Entah, keberanian darimana membuat aku nekad memasuki sumur. Kebetulan aku membawa tali, dan tali itu kugunakan sebagai alat menuruni sumur. Sesampai di dasar sumur aku segera mengangkat tubuh nenek Marijah yang sudah hampir tenggelam. Kurasakan denyut jantungnya masih bergerak. Dia masih hidup, hanya pingsan. Setelah melakukan perjuangan cukup berat, akhirnya nenek Marijah berhasil diangkat ke atas. Semua orang bertepuk tangan meriah.

Keluarga nenek Marijah langsung merubung perempuan tua itu sambil menangis tersedu-sedu.

“Aduh, Nek. Kenapa nenek mau bunuh diri? Kami kan sayang sama nenek!” ujar mereka menyesalkan.

“Siapa yang mau bunuh diri? Biar sudah tua begini aku masih ingin menikmati hidup di dunia ini lebih lama. Aku tadi terpeleset ketika mau menimba air. Makanya, kalau bikin sumur pagarnya dibuat agak tinggi, biar tidak bikin celaka!” gerutu Nenek Marijah.

Semua yang mendengarnya jadi tertawa terpingkal-pingkal. Suasana yang tadinya tegang dan mencekam berubah riang gembira.

Sementara itu beberapa orang tak hentinya menyalami aku. Mereka mengelu-elukan aku sebagai pahlawan. Mereka menyanjung dan memuji keberanianku. Salah seorang anak nenek Marijah langsung menyelipkan uang ke dalam sakuku sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pertolonganku. Tapi bagiku, semua penghargaan dan sanjungan itu tidak lebih berarti dari tatapan mata istri dan anak-anakku. Mereka memandangku penuh rasa bangga dan kagum.

Istriku langsung memelukku dan membisikkan kata-kata indah dalam telingaku.

“Kamu sangat hebat, Mas. Aku bangga padamu. Maafkan kata-kataku selama ini yang selalu merendahkanmu. Kamu suami yang patut dibanggakan!”

Mendengar hal itu, tiba-tiba aku jadi malu. Karena sebenarnya tadi aku sempat berniat mengakhiri hidupku. Tapi sekarang, keinginan itu kubuang jauh-jauh. Karena aku sadar, hidupku masih cukup berguna bagi orang lain, setidaknya bagi istri dan anak-anakku!

Tirtomoyo, Pebruari 2006

Tidak ada komentar: