30 Juli 2009

Bisma

Oleh Eko Hartono
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu, 12 Juli 2009


Sebatang anak panah menancap di dada Bisma, tepat pada jantungnya. Darah mengalir deras. Semula ia mengira anak panah itu berasal dari busur Arjuna, tapi ternyata bukan. Sosok mirip Arjuna itu berdiri gagah di hadapannya. Wajahnya terlihat dingin dan kaku. Namun dari sorot matanya memancar geletar perasaan dalam. Perasaan seorang perempuan yang memendam rindu dendam. Bisma terpana.

“Siapa kau?” tanyanya diliputi gundah.

“Namaku Srikhandi!” jawab orang itu dengan mantap.

“Srikhandi?”

“Ya! Aku adalah titisan kekasihmu yang dulu mati di tanganmu. Aku hendak menunaikan tugas yang diberikan dewa sekaligus janji dari kekasihmu untuk menjemputmu!”

Bisma tercekat. Wajahnya pucat pasi. Hatinya bergetar hebat. Tanpa sadar dari bibirnya terucap sebuah nama, “Dewi Amba…!”

***

Aku berangkat ke negeri Kasi dengan sebuah janji terpikul di pundakku. Ibunda Dewi Durgandini meminta aku mengikuti sayembara yang diadakan Raja Darmahambara untuk mendapatkan tiga putrinya yang cantik jelita. Isi sayembara itu menyebutkan; siapa saja yang berhasil mengalahkan Ditya Wahmuka dan Arimuka dalam perang tanding berhak mengawini ketiga putri raja tersebut.

Tapi aku mengikuti sayembara itu bukan untuk diriku sendiri, melainkan untuk kedua adik tiriku; Citragada dan Wicitrawirya. Lagipula aku tak mungkin menikah, karena aku pernah bersumpah wadad. Hal ini kulakukan demi baktiku kepada ayahanda Prabu Sentanu. Ketika beliau hendak memboyong Dewi Durgandini dari kerajaan Wiratha, perempuan itu meminta syarat agar aku mau bersumpah wadad dan merelakan tahta kerajaan Astina kepada anak-anak yang akan dilahirkannya.

Setiba di kerajaan Giyantipura sudah banyak kesatria yang datang dari berbagai negeri untuk memperebutkan tiga putri raja yang cantik jelita. Mereka berkumpul di alun-alun. Satu persatu maju untuk menghadapi Ditya Wahmuka dan Arimuka yang sakti mandraguna. Satu persatu berguguran di tangan kakak beradik itu. Ketika tiba giliranku, dengan mengerahkan segenap kekuatan aku berperang tanding dengan keduanya. Mereka berhasil kukalahkan.

Raja Darmahambara terkesima melihatku. Beliau lalu memanggilku.

“Siapa namamu?”

“Nama saya Dewabrata,” jawabku dengan santun.

“Kau berhak memboyong ketiga putriku…”

“Maaf, Baginda. Saya mengikuti sayembara ini bukan untuk diri saya, melainkan untuk kedua adik saya.”

Raja tertegun, tapi sejurus kemudian dia tersenyum. Dia lalu menyerahkan sepenuhnya hal ini kepada ketiga putrinya; Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika. Ketika Raja menanyakan kepada ketiga putrinya, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika menyatakan tidak keberatan sementara Dewi Amba hanya diam saja. Namun sikap diam Dewi Amba dianggap sebagai pernyataan menerima.

Maka, segera kuboyong ketiga putri jelita itu ke negeri Astina. Mereka naik kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda, sementara aku mengiringi di sampingnya. Perjalanan dari Giyantipura menuju Astinapura sangatlah jauh, melewati gunung, hutan, ngarai, dan lembah. Di perjalanan hatiku dibuat gundah gulana. Dewi Amba yang duduk dalam kereta sering menatapku. Sinar matanya menyimpan perasaan yang dalam. Hatiku jadi berdebar-debar.

Sungguh, belum pernah aku merasakan geletar perasaan seperti ini. Aku terpesona melihat kecantikan Dewi Amba. Setiap kali menatapnya ada getar perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Wajahnya selalu membayang di pelupuk mata. Apakah ini berarti aku jatuh cinta padanya? Oh, tidak! Aku segera menepis perasaan ini. Aku tak boleh jatuh cinta pada perempuan. Aku harus teguh memegang sumpah!

Begitulah. Meski perasaan dalam hatiku bergejolak tak karuan, tapi aku berusaha meredamnya. Tidak sekali-kali aku membiarkan diriku hanyut dalam gelombang nafsu. Ya! Kuyakini bahwa apa yang kurasakan ini hanya dorongan nafsu yang bisa merusak segalanya. Darah muda yang mengalir dalam diriku membuatku mudah tergoda kepada perempuan. Aku berusaha mematikannya!

Namun gejolak perasaan itu semakin memuncak tatkala Dewi Amba datang menghampiriku di saat kami sedang beristirahat di tengah perjalanan.

“Kakang Dewabrata, bolehkah aku bicara denganmu?” ucapnya dengan suara lembut mendayu.

Duh, Gusti. Suaranya begitu merdu membelai kalbuku. Tolong para dewa, singkirkan dia dari hadapanku! Jeritku dalam hati tak kuat menahan perasaan.

“Kakang Dewabrata? Kenapa kakang diam saja?” tegurnya membuatku terjaga dari lamunan. Aku menjadi gugup.

“Ada apa, yayi Dewi?” kataku dengan kaku tanpa berani menatapnya.

“Aku ingin tahu, Kakang. Kenapa aku harus diberikan kepada kedua adik kakang. Kenapa bukan kakang sendiri yang mengawiniku?”

“Aku… aku sudah berjanji jika aku memenangkan sayembara itu, aku akan memberikannya kepada adik-adikku!”

“Tapi itu tidak adil, Kakang. Bukankah kakang Dewabrata yang berperang tanding dan memenangkan sayembara itu, tapi kenapa adik-adik kakang yang mendapatkan kami? Lagi pula adik kakang hanya dua, sementara kami bertiga. Apakah tidak lebih adil bila kakang juga mendapatkan salah satu dari kami. Aku rela diperistri oleh kakang Dewabrata!”

“Tidak, Yayi. Janji seorang ksatria tidak boleh diingkari!”

“Tapi Kakang…?”

“Jangan pengaruhi aku, Yayi! Kembalilah ke kemahmu! Jangan sampai aku kehilangan kesabaran karena menghadapi ulahmu ini!” ujarku dengan marah.

Dewi Amba menggigit bibirnya. Dari matanya mengalir air bening. Ia menangis, hatiku teriris. Dengan suara lirih ia lalu berkata, “Ketahuilah, Kakang Dewabrata. Sejak pertama melihatmu aku sudah jatuh hati pada kakang. Aku mengagumi kakang, aku mencintai kakang, aku rela hidup bersama kakang…!”

***

Setelah mengucapkan kalimat itu, ia kemudian berbalik pergi. Dan aku hanya bisa terpaku, terpasung oleh gejolak perasaan tak menentu!

Aku tak habis mengerti dengan sikap Dewabrata. Kenapa dia begitu teguh memegang janji. Biasanya seorang lelaki begitu mudah mengingkari janji, apalagi bila berhadapan dengan perempuan. Sekeras-keras hati lelaki, dia akan mudah bertekuk lutut di sudut kerling wanita. Bukankah godaan terbesar bagi seorang lelaki di dunia ini hanya tiga; tahta, harta, dan wanita. Tapi kenapa hati Dewabrata begitu sulit untuk ditundukkan?

Jangan-jangan dia seorang wandu atau banci? Oh, tidak! Itu tidak mungkin. Aku yakin dia lelaki tulen. Lihatlah aksinya ketika menghadapi dua kakakku yang kesaktiaannya tak tertandingi di negeri kami. Dengan mudahnya dia mengalahkan kakang Ditya Wahmuka dan Arimuka. Gerak gerik dan sikapnya menunjukkan bahwa dia seorang kesatria sejati. Sejak pertama melihatnya aku sudah jatuh hati; bukan hanya pada ketampanannya tapi juga kesaktiannya!

Namun, aku harus menelan kecewa ketika tahu dia mengikuti sayembara itu untuk kedua adiknya. Aku memang tak bisa menolak ketika ayahanda memintaku pergi ke Astina. Tapi diam-diam aku punya rencana. Aku akan berusaha merayu Dewabrata agar mau mengawiniku. Meski lelaki itu menolak dengan alasan tidak ingin mengingkari janji dan mengkhianati kedua adiknya, tapi aku akan terus berusaha.

Aku yakin Dewabrata sebenarnya juga menyukaiku. Aku bisa membaca perasaannya itu dari gerak-geriknya. Setiap kali aku memergoki dia mencuri pandang ke arahku. Maka, untuk kesekian kali aku berusaha meluluhkan hatinya. Saat kami beristirahat di tepian hutan yang sepi, aku mendekati Dewabrata yang sedang duduk menyendiri. Aku ingin meyakinkan hatinya bahwa aku sungguh-sungguh mencintainya!

“Kakang Dewabrata, apakah kau tega membiarkanku hidup merana? Aku tak bisa hidup tanpamu, Kakang. Aku rela melakukan apa saja asal bisa bersamamu!” tegasku.

“Tidak, Yayi! Aku tidak bisa…,” jawabnya dengan gugup.

“Kenapa tidak bisa, Kakang. Kakang tidak melanggar sumpah jika mau mengawiniku. Percayalah! Aku tahu, kakang Dewabrata sebenarnya juga mencintaiku. Pancaran sinar mata kakang tidak bisa berbohong!”

“Tapi, Yayi…?”

“Cinta itu bukan dosa, Kakang. Cinta adalah hasrat naluri yang suci dan agung. Apakah kakang tidak ingin menikmati indahnya cinta. Coba kakang rasakan getaran cinta dalam hatiku…!”

Aku lalu mendekap tubuh Dewabrata yang kekar. Lelaki itu terkejut. Tapi dia hanya diam saja. Dia tidak berusaha menyingkirkanku. Hatiku sangat bahagia. Kurasakan getaran jantungnya bagai gemuruh alun samudra!

***

Sungguh, aku tak menyangka Dewi Amba senekad ini. Meski sudah kutolak, dia terus berusaha merayuku. Dia kembali datang untuk menggoyahkan keteguhan hatiku. Saat ia memelukku, gejolak perasaanku jadi tak menentu. Di satu sisi aku merasakan indahnya getaran cinta yang terpancar dari dekapan mesra Dewi Amba, namun di sisi lain ada perasaan bersalah yang menghunjam begitu dalam. Aku seperti berada di persimpangan.

Tapi sebuah kesadaran tiba-tiba menyeruak di benakku. Seketika aku mendorong tubuh Dewi Amba agar menjauh. Kutarik sebatang anak panah dari punggungku dan kupasang pada gendewa yang kutarik kencang. Kuarahkan mata anak panah itu ke Dewi Amba, tepat pada jantungnya.

“Menyingkirlah, Dewi Amba. Kalau tidak, anak panah ini akan mengakhiri riwayatmu!” ancamku dengan suara bergetar.

“Silahkan, Kakang Dewabrata! Aku tidak takut mati. Cintaku tak akan goyah meski aku harus mati di tanganmu!” jawabnya tak peduli.

“Jangan buat aku kehilangan kesabaran, Yayi. Jangan jatuhkan aku ke dalam kenistaan. Jangan permalukan aku di hadapan para dewa. Ketahuilah bahwa aku sudah bersumpah wadad!”

“Persetan dengan sumpah wadad! Kakang Dewabrata bukan dewa atau malaikat. Kenapa kakang mesti mengorbankan perasaan dan hidup kakang demi sumpah bodoh itu? Tidakkah kakang ingin merasakan indahnya cinta? Bukankah cinta itu juga suci dan agung? Ayolah, Kakang Dewabrata! Dekaplah aku…!”

Dewi Amba maju selangkah demi selangkah mendekatiku, sementara aku mundur dengan gugup. Tanganku terasa gemetar memegang gendewa. Sekali lagi aku memperingatkan dan menakut-nakutinya, tapi dia tidak menggubris. Dia terus mendekatiku. Sementara dalam dadaku berkecamuk perang batin, antara menolak dan menerima Dewi Amba dengan segenap cintanya yang tulus. Hatiku goyah!

Di puncak kebimbangan tanpa sadar cengkeraman jariku terlepas. Anak panah meluncur deras, menancap tepat di jantung Dewi Amba. Perempuan itu terpekik dan tersungkur, bersimbah darah. Aku tercekat. Tak kukira hal ini terjadi. Aku segera memeluk Dewi Amba, memohon maaf atas kekhilafan ini. Tapi Dewi Amba tidak marah, dia malah tersenyum. Dengan suaranya yang lemah dia berkata, “Aku bahagia bisa mati di tanganmu, Kakang. Sekarang kau tahu kan, betapa aku sungguh-sungguh mencintaimu…”

“Aku juga mencintaimu, Yayi. Maafkan aku yang telah mengingkari isi hatiku. Maafkan aku atas perbuatanku ini. Sungguh, aku tak bermaksud mencelakaimu!” ujarku dengan suara serak diberati penyesalan.

“Tidak apa-apa, Kakang. Aku sudah cukup bahagia mendengar pengakuanmu. Kakang tidak usah sedih. Jika aku nanti mati, aku tidak akan pernah meninggalkan kakang. Suatu saat aku akan datang menjemput kakang Dewabrata. Kita akan hidup bersama di Nirwana…”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Dewi Amba menutup matanya. Aku tak kuasa menahan goncangan jiwa. Aku menangis dan menjerit sekuatnya!

***

Kini, Dewi Amba datang memenuhi janjinya. Dia datang menitis dalam jiwa Srikhandi. Dewabrata yang mendapat julukan Bisma karena keteguhan hatinya dalam memegang sumpah dan janji tersenyum bahagia melihat kehadiran kekasih yang begitu lama dirindukan. Tangan Dewi Amba terulur ke arahnya. Dengan hangat ksatria-brahmana itu menyambutnya. Keduanya lalu berjalan beriringan menuju nirwana. Langit membelah, menampakkan cahaya terang benderang. Menyambut kembalinya pasangan cinta sejati! (*)

Tirtomoyo, November 2008

Tidak ada komentar: