30 Juli 2009

Kampung Pinggiran

Oleh Eko Hartono
Cerpen ini dimuat Solopos, Minggu, 19 Juli 2009


Dulu, kampung tempat tinggal kami ini masih terasa lapang. Sejauh mata memandang hamparan hijau membentang. Anak-anak pun bebas berlarian menyusur tanah lapang, bermain bola atau menguluk layangan. Berenang di sungai yang jernih airnya. Rumah warga antara satu dan lainnya berjarak rata-rata duapuluh meter, dengan halaman pekarangan yang luas ditumbuhi aneka tanaman bunga dan apotek hidup.

Sungguh, kampung ini laksana desa nan indah permai. Kami masih sempat berjumpa udara segar setiap hari, mendengar kicau burung di pagi hari, atau lenguh ternak saat membajak sawah. Pepohonan besar nan rindang berdiri berjajar di sepanjang pinggir jalan, membuat siapa pun yang melintas tidak merasa kepanasan. Bahkan lebih nyaman duduk di selasar sambil mendengarkan lagu keroncongan atau klenengan dari radio kesayangan.

Padahal kampung ini tak begitu jauh dari kota. Saat keluar dari pintu masuk jalan kampung yang berada di ujung, hilir kendaraan yang menuju pusat kota tak henti mengalir. Warga kampung biasa naik angkot jika ada keperluan ke kota. Dengan membayar seribu perak mereka sudah bisa melihat gemerlap kota dengan segala bentuk godaannya. Mulai dari supermarket, salon, gedung bioskop, restoran, sampai tempat hiburan malam.

Kampung ini biasa disebut wilayah pinggiran. Karena hanya tinggal dua kilometer batas antara wilayah kota dengan kampung ini. Bahkan santer terdengar kampung ini akan dimasukkan dalam wilayah kota, tentu saja dengan alasan pengembangan dan perluasan kota. Tanda-tanda itu sudah terlihat ketika terjadi pembebasan lahan di beberapa wilayah pinggiran yang kemudian disulap menjadi kompleks perumahan, pertokoan, dan perkantoran.

Mungkin tinggal menghitung hari kampung ini akan berubah menjadi gadis seksi dengan gemerlap gincu, bedak, dan rok mini. Keperawanan kami akan segera hilang, bukan oleh sentuhan cinta tapi oleh hawa nafsu untuk menguasai. Satu persatu tangan keserakahan menjamah tubuh kami. Beberapa lahan kosong yang tadinya dipenuhi tanaman hijau, kini rimbun oleh bangunan-bangunan beton. Aku tak tahu pasti, kenapa pemilik tanah itu merelakan tanahnya dibeli. Mungkin karena kilau uang lebih menggiurkan ketimbang setumpuk ubi yang tak laku lagi.

Aku mencoba memahami persoalan yang dihadapi penduduk kampung ini. Mereka hidup miskin. Dengan hanya mengandalkan penghasilan dari bertanam palawija, sayuran, dan buah-buahan tak mampu membuat mereka bertahan lebih lama. Apalagi dengan kewajiban memberi makan dan menyekolahkan anak-anak. Menjual lahan warisan keluarga hanya satu-satunya harapan untuk bisa melangsungkan hidup.

Aku tak habis mengerti, kenapa gelombang manusia tiba-tiba datang menyerbu kampung ini. Seperti terjadi eksodus besar-besaran, bukan lagi dalam hitungan tahun, bulan, minggu, atau hari, tapi dalam hitungan jam. Makin banyak orang datang, makin banyak bangunan berdiri, makin sesak kampung ini. Belum satu rumah jadi, rumah baru sudah menyusul, begitu seterusnya. Lahan semakin ciut, pandangan mata semakin sempit, udara pun semakin sesak dihirup.

“Pak, ayo main bola!” ajak seorang anak kecil kepada ayahnya.

“Main bola di mana? Di sini sudah tidak ada lapangan,” ujar sang ayah.

“Main di jalan, Pak!”

“Jangan! Nanti bisa ketabrak motor!”

“Ayolah, Pak. Aku mau main bola!”

“Main di rumah saja!”

“Dimarahin ibu, Pak. Nanti mecahin barang-barang!”

“Ya, sudah. Tidak usah main bola, main mobil-mobilan saja!”

“Tidak, Pak. Aku mau main bola!”

“Kamu ke rumah Bang Didin sana. Kamu bisa nyewa PS yang ada permainan bolanya. Kamu bisa main bola lewat PS!”

“Tapi mana duitnya, Pak?”

Sang ayah terpaksa merogoh koceknya. Tak ada lapangan, tak ada bola beneran, main bola maya lewat permainan PS boleh juga. Tapi masak sepak bola dimainkan dengan tangan? Dunia sudah terbalik dan aneh!

Di lain kesempatan ada seorang anak ingin menguluk layangan, tapi dia kena semprot banyak orang. Sebab, benang yang digunakan untuk menerbangkan layangan nyangkut di kabel listrik, atap rumah, bahkan nyasar ke jendela rumah warga. Tapi yang bikin orang-orang jengkel, saat layangan tak berhasil melayang di angkasa dan nyungsep di balik tembok rumah warga, benang yang melintang di tengah jalan bikin orang yang lalu lalang tersendal. Pasalnya, ukuran benang yang super tipis apalagi berwarna gelap tak tertangkap mata telanjang.

Seorang anak penggemar layangan menangis pulang ke rumah sambil membawa layangannya yang robek. Kepada ayahnya dia mengadu.

“Layanganku dirobek, Pak!” ujar anak itu.

“Kurang ajar, siapa yang berani merobek layanganmu? Biar kupatahkan lehernya!” sahut sang ayah gusar.

“Yang merobek banyak, Pak!”

“Siapa saja mereka? Bapak tidak takut menghadapi mereka. Pasti mereka teman-teman kamu. Iya, kan?”

“Bukan, Pak!”

“Lalu siapa?”

“Yang merobek Pak Satpam, Pak RT, Bang Jayadi, sama Pak Tentara!”

Sang ayah meneguk ludah. Hatinya ciut mendengar yang merobek ternyata Pak Satpam yang tak lain kepala keamanan kampung ini, Pak RT, Bang Jayadi yang terkenal sebagai preman, dan Pak Tentara yang dimaksud tak lain Darman, anggota TNI berpangkat sersan dua. Tentu saja mereka bukan tandingannya.

“Bagaimana mereka bisa merobek layangan kamu?” tanya sang Ayah kemudian dengan suara lunak.

“Soalnya layanganku nyangkut di tiang listrik. Tiba-tiba listrik jadi padam. Pak RT lalu memanggil Bang Jayadi buat mengambil layanganku. Bang Jayadi berhasil mengambil layangan itu, tapi dia melorot jatuh. Layangannya robek. Pak Satpam dan Pak Tentara datang menolong Bang Jayadi. Layanganku diinjak-injak mereka sampai robek!”

Sang ayah tertegun mendengar cerita anaknya.

“Ya, sudah. Besok tidak usah main layangan lagi.”

“Tapi aku suka main layangan, Pak!”

“Nanti bapak belikan kamu pesawat terbang mini mainan yang pakai remote control. Itu lebih hebat dari layangan. Kamu tinggal duduk di atap rumah dan menerbangkan pesawat terbang mini itu pakai remote control!”

Begitulah. Semakin padat kampung ini, semakin sempit lahannya, banyak anak yang tak bisa bebas bermain. Mereka kemudian beralih pada permainan lain yang sifatnya modern dan praktis. Mereka memainkan bola di dalam layar televisi, mereka memainkan layangan dari remote control, mereka berlari-lari di atas treatmill, mereka berenang di lorong gang dengan skate board, mereka bermain dengan maut di sepanjang jalan raya!

Aku termangu menghadapi pemandangan aneh itu. Selama ini aku terbiasa hidup dengan lingkungan yang adem dan asri. Tinggal di balik semak belukar, rerumputan, dan pepohonan rindang. Jika sudah tidak ada lagi pepohonan, rerumputan, semak belukar, apalagi tempat untuk bersarang, maka apa yang bisa dilakukan selain pergi. Dengan langkah terseok-seok aku berjalan mencari tempat baru. Sebuah kampung yang masih alami, masih perawan, masih ada sungainya, masih ada sawahnya, karena di tempat seperti itu aku bisa tetap bertahan.

Karena aku hanya seekor ular. Kehidupanku terancam bila tinggal di tengah kota. Bukan hanya tikus yang takut berjumpa denganku, manusia pun tak mau tinggal berdampingan denganku. Tapi di kampung atau di desa aku bisa tinggal dengan nyaman, hidup berdampingan dengan manusia. Meski mereka takut kepadaku, tapi mereka tak hendak mengusirku. Mereka malah senang, sawah mereka terjaga dari serangan hama tikus. Para tikus pun enggan tinggal di kampung atau desa. Mereka lebih nyaman tinggal di kota, hidup berdampingan dengan tikus-tikus lain berwajah manusia! (*)

Tirtomoyo, 26 Mei 2009

Tidak ada komentar: