03 November 2009

Obyekan

Cerpen ini diimuat di Solopos, Minggu, 11 Oktober 2009
Oleh Eko Hartono


“Sampeyan sudah sepuluh tahun kerja di pabrik, masak gajinya masih segitu saja. Lihat itu Mas Supri, baru tiga tahun kerja di pabrik sudah bisa beli tivi, motor, dan kulkas!” ucap istriku pagi itu tiba-tiba ngomongin soal Supri, tetangga dekat kami.

Belakangan ini Yatmi memang kerap menyinggung soal penghasilanku sebagai buruh pabrik yang sangat kecil. Yatmi iri melihat kehidupan tetangga kami yang lebih sejahtera.

“Supri anaknya cuma satu, sedang kita anak tiga. Biaya hidup dia lebih kecil dibanding kita, lagian istri Supri juga kerja di luar!” dalihku.

“Itu bukan alasan. Sampeyan kan lebih lama kerja dibanding dia. Soal istrinya yang kerja, aku juga bisa. Aku akan kerja, tapi nanti siapa yang mengurus anak di rumah? Sampeyan mau tinggal di rumah, aku yang kerja? Mau?”

Aku terdiam. Istriku pintar bicara. Selalu saja punya argumen untuk mematahkan pendapatku. Lagian percuma juga berdebat soal begini. Ujung-ujungnya, akulah yang dituntut, akulah yang mesti bertanggung jawab. Istriku menimpakan semua beban ini ke pundakku.

“Kalau gajiku memang cuma segitu, mau bagaimana lagi, Mi? Apa aku mesti merampok? Maling?” sergahku ingin mengakhiri perdebatan ini.

“Istilahnya jangan maling atau merampok, Mas. Kan bisa ngobyek atau cari kerja sampingan. Itu Mas Supri bisa ngobyek. Kalau mengandalkan gaji buruh, aku kira Mas Supri tidak bakal bisa beli motor. Dia tentu ngobyek. Entah ngobyek apa, yang penting dapat duit!” tandas Yatmi sekali lagi membandingkan.

Aku terdiam. Apa yang dikatakan istriku benar. Kalau tidak ngobyek alias cari sampingan, orang sepertiku tidak bakal dapat tambahan uang. Supri yang dibangga-banggakan istriku itu kelihatannya suka ngobyek. Dia orangnya memang ulet, lincah, dan gesit. Pergaulannya juga luas. Tak heran, dia bisa dapat uang di luar gajinya sebagai buruh.

Tapi aku dengar-dengar obyekannya berbau kriminal. Dia dan teman-temannya mencuri barang-barang pabrik untuk dijual keluar. Meski barang itu dalam kondisi rejeck alias gagal produk, tapi aturan pabrik tak boleh dibawa keluar. Karena bisa menjatuhkan pasaran produk yang sebenarnya. Tapi itulah, beberapa karyawan ada yang nakal melanggar aturan. Padahal bila ketahuan resiko dan sanksinya sudah jelas; dipecat tanpa pesangon!

Apakah aku mesti melakukan seperti Supri?

“Zaman sekarang, kalau tidak main serobot sana serobot sini tidak bakal dapat apa-apa, No. Mengandalkan kejujuran? Basi! Kita mesti berbuat sedikit licik dan kotor agar dapat uang. Yang namanya bisnis itu ya mesti pandai memanfaatkan peluang dan kesempatan. Tak peduli peluang itu menantang bahaya dan melanggar aturan. Di mana-mana bisnis itu mengandung resiko!” cerocos Supri ketika suatu hari aku berkesempatan ngobrol dengannya.

Aku meneguk ludah. Begitu enaknya Supri bicara. Bisnis di matanya seakan hanya sebuah perjudian. Bukan lagi berdasar etika dan aturan, tetapi bagaimana menjaring keuntungan dengan segala cara, tak peduli merugikan pihak lain. Bisnis ugal-ugalan namanya!

“Kita tidak usah munafik, No! Kamu pikir, para pengusaha yang punya pabrik itu tidak main licik dan kotor? Mereka lebih serigala dibanding kita, mereka adalah monster. Kalau serigala cuma makan bagian sedikit, tapi monster mencaplok semuanya. Bayangkan, untuk bisa mendapatkan keuntungan besar mereka memeras tenaga ribuan buruh, memainkan pasal-pasal perburuhan, mengelabui pajak, memanipulasi laporan keuangan, dan banyak lagi kecurangan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya!” tandas Supri.

Aku terdiam. Apa pun alasan yang dikatakan Supri, tindakannya main sikat barang orang, meskipun dirinya juga termasuk dirugikan oleh pemilik perusahaan, hal itu tetaplah salah! Tidak benar! Aku tak mau meniru cara Supri. Aku ingin mencari cara lain. Sejak ‘diteror’ istriku dengan tuntutan mencari uang tambahan di luar gaji buruh, aku memang berusaha mencari obyekan yang menguntungkan. Tentu saja obyekan ini harus bisa dilakukan di luar jam kerjaku sebagai buruh. Cuma kerja sampingan!

Tiba-tiba aku ingat Ipul, tetanggaku yang bekerja sebagai pedagang asongan. Kulihat dia cukup sukses. Bisa beli motor dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Aku punya kesempatan belajar pada Ipul saat bertemu di jalan sepulang kerja. Kami duduk-duduk di pinggir trotoar. Aku menanyakan, bagaimana suka duka Ipul berjualan asongan, berapa penghasilannya sehari, plus tips menghindar razia petugas ketertiban kota.

“Itu sih, tergantung pintarnya kita, Bang. Supaya dagangan laris, kita cari tempat yang ramai. Biar tidak kepergok petugas Tramtib kita saling kontak sama teman-teman lain. Jadi sebelum ketangkap, kita sudah kabur dulu!” tuturnya.

“Berapa penghasilanmu sehari?” tanyaku.

“Yaah, cuma pas-pasan, Bang. Paling banter limapuluh ribu!”

“Tapi kayaknya kamu kok sukses. Bisa beli motor, televisi, perabotan…?”

“Kalau itu mah, hasil sampingan, Bang.”

“Kamu masih kerja sampingan juga?”

“Iya, Bang!”

“Apa itu?”

“Rahasia, Bang.”

“Alaah, tidak usah pakai rahasia. Kita kan sudah lama temenan. Aku janji tidak akan membuka rahasiamu. Suer!”

Ipul tampak resah. Seperti orang ketakutan. Dia tengok kanan kiri sebentar sebelum kemudian berbisik ke telingaku. Mataku terbelalak mendengar bisikannya. Busyet! Pantesan penghasilan Ipul gede banget. Sampingannya jauh lebih besar dari kerja utamanya! Tapi kemudian aku tercenung. Haruskah kuikuti cara Ipul? Memang gede hasilnya, tapi kerjanya berbau kriminal. Jualan narkoba!

Ah, hatiku tiba-tiba dibuat kelu dan kecut. Hampir semua orang yang kudatangi semuanya memiliki kerja sampingan. Tapi kerja sampingan yang mereka lakukan kebanyakan tidak benar, melanggar hukum, dan berbau maksiat. Ah, kenapa semua orang mudah tergoda oleh uang? Seakan pekerjaan halal yang sudah dijalani, walau dengan hasil kecil, tak cukup lagi!

Jika dipikir-pikir, orang seperti Supri, Ipul, atau yang lainnya sudah cukup hidup dengan gaji mereka, meski pas-pasan. Mereka masih bisa ngasih makan keluarga. Hanya karena tuntutan kepantasan dan kepatutan untuk bisa hidup seperti tetangga atau dengan standar hidup yang tinggi; diukur dengan benda-benda sekunder seperti televisi, motor, perabotan, dan lain-lain, sehingga mereka merasakan hidup yang dijalani terasa kurang. Merasa paling miskin!

Hal sama juga terjadi padaku. Jika dikalkulasi, gajiku sebagai buruh pabrik sebenarnya sudah cukup untuk makan, bayar sewa rumah, listrik, bayar sekolah anak-anak, dan keperluan lain yang wajar. Tapi semua itu tidak cukup lagi ketika distandarkan dengan kebutuhan yang sifatnya sekunder dan insidentil macam biaya berobat, kegiatan sosial, nengok orang sakit, sumbangan, dan lain-lain.

Semua orang sepertinya tidak ada yang puas dengan pekerjaannya, dengan penghasilan yang didapat. Seorang PNS yang punya gaji tetap dan kelak dapat pensiun pun masih cari sampingan. Bahkan seorang pengusaha dan konglomerat yang bergelimang harta, masih berusaha ngobyek. Mereka main proyek dan tender gelap. Semua orang punya kerja sampingan. Semua orang ingin dapat hasil lebih. Mereka tidak puas dengan apa yang sudah didapat!

Seperti sopir omprengan yang dikejar setoran, semua orang sibuk mencari obyekan. Mungkin di dunia ini hanya aku satu-satunya orang yang terlalu jujur dan menerima apa adanya keadaan. Aku sebenarnya tak berkeinginan mencari obyekan kalau tidak dipaksa istri. Karena kerja sampingan bisa mengganggu dan merugikan kerja utama. Bayangkan, jika seorang PNS ngobyek di tengah jam kerja, bukankah itu sama artinya memanipulasi waktu kerja? Merugikan negara yang telah menggajinya!

Belajar mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Tuhan dan menerima apa pun keadaan memang sulit. Sama sulitnya dengan mengekang hawa nafsu!

Tirtomoyo, 28 Juli 2009

Tidak ada komentar: