22 April 2010

Misteri Hutan

Dimuat di Harian Seputar Indonesia, 11 April 2010
Oleh Eko Hartono
buka situsnya di: www.seputar-indonesia.com


Pagi selalu datang bersama kabut di dusun terpencil pinggiran hutan itu. Seperti lembaran sutera berlapis-lapis, menghalangi mata dari pemandangan sekitar. Udara pun terasa dingin menusuk tulang.

Menjelang siang, saat matahari menampakkan sinarnya yang keemasan dari balik bukit cadas, tampaklah wajah dusun dengan lekuk liku jalannya yang belum diaspal, deretan rumah, ladang, dan liuk sungai bagai badan ular memanjang.

Di sebelah utara dusun terdapat hutan lebat. Warga dusun biasa memasuki hutan untuk mencari rumput, kayu bakar, madu hutan, atau damar. Namun hutan yang akrab dengan kehidupan warga itu menyimpan banyak misteri. Salah satu misteri yang menyelimuti hutan itu adalah tentang orang hilang di dalam hutan dan tak pernah kembali.

Kisah yang kerap diceritakan oleh para ibu kepada anak mereka. Membuat anak-anak jadi takut bermain ke dalam hutan, sekalipun di tepiannya. Mereka meyakini ada makhluk gaib penunggu hutan yang siap menangkap dan memangsa mereka. Menjadikannya hidangan makan malam.

Makhluk itu digambarkan seperti raksasa jahat dalam cerita pewayangan. Tinggi besar dengan mata menyala merah, bulu tebal, dan bergigi runcing tajam. Meski belum pernah ada yang benar-benar memergokinya, namun semua orang sepertinya sepakat bahwa makhluk itu ada.

Di pojok dusun berdiri sebuah rumah kecil. Didiami oleh seorang perempuan tigapuluhan bernama Rusmi bersama putrinya yang bernama Winarni. Rusmi harus menghidupi putrinya seorang diri setelah ditinggal pergi suaminya tiga tahun silam. Dia menjadi buruh pemecah batu dan pengumpul kayu bakar.

Winarni, tigabelas tahun, hanya tinggal di rumah setelah berhenti sekolah. Hati Rusmi diliputi kegalauan setiap kali memikirkan anaknya. Perilaku Winarni telah banyak berubah. Dia kerap duduk menyendiri dan melamun. Orang bilang, Winarni mengalami gangguan jiwa. Kelakuannya mirip orang tidak waras.

Rusmi tak terima anaknya disebut gila. Dia yakin, Winarni masih waras. Hanya karena dia tampak sedikit berbeda dari anak-anak pada umumnya, sehingga mereka menganggapnya tidak waras. Rusmi sangat tahu dengan keadaan putrinya. Winarni masih normal, walau kadang terlihat aneh.

Sebelum kepergian ayahnya, Winarni adalah anak yang lincah dan periang. Dia suka bermain bersama teman-temannya. Rusmi masih ingat betul, suaminya begitu menyayangi dan memanjakan Winarni. Anak itu kerap diajak pergi ke mana saja. Bahkan ke hutan saat mencari rumput atau kayu bakar.

Tindakan Darto yang nekad membawa serta putrinya ke dalam hutan pernah ditegur oleh rekannya.

“Anakmu masih sangat kecil, Dar. Jangan diajak ke dalam hutan, nanti kenapa-kenapa,” kata Sumarto.

“Tenang saja, Kang. Aku bisa menjaga dan melindunginya!” tukas Darto meyakinkan.

“Ya, aku percaya kamu bisa menjaga dan melindunginya. Tapi bukan itu masalahnya. Kamu kan tahu, hutan itu sangat angker. Ada penunggunya. Aku khawatir anakmu nanti kena sawang penghuni hutan!”

“Alaah, itu cuma takhayul! Buktinya, selama ini tidak pernah terjadi apa-apa pada kami!”

Darto memang keras kepala. Dia tidak takut pada siapapun dan cenderung nekad. Hal yang membuat Rusmi jadi resah dan khawatir. Bukan hanya khawatir melihat kenekadan suaminya membawa putri mereka jalan-jalan ke dalam hutan, tapi juga khawatir suaminya dimusuhi banyak orang karena sifat keras kepalanya.

Pernah suaminya berselisih paham dengan rekannya saat pembagian kayu hasil penebangan. Hampir saja mereka saling menghunus golok andai tidak ada yang melerai. Peristiwa itu sempat membuat jantung Rusmi berguncang hebat. Tak terbayangkan jika sampai terjadi pertumpahan darah, salah satu bakal ada yang mati sementara yang lain masuk bui.

***

Hari itu Darto berpamitan akan pergi untuk suatu urusan. Tidak seperti biasa, Winarni tidak diajak serta. Tentu saja anak itu menangis. Dia meronta ingin ikut bapaknya. Rusmi berusaha menenangkan putrinya. Dia heran, tidak biasanya Darto pergi meninggalkan putrinya. Wajah laki-laki itu tampak keruh, seperti ada sesuatu yang menganggu pikirannya.

“Sebenarnya ada urusan apa, Kang?” tanya Rusmi waktu itu.

“Kamu tidak perlu tahu, Rus. Yang penting kamu jaga anak kita. Aku hanya pergi sebentar saja,” kata Darto.

“Sampeyan mau ke mana?”

Darto tidak menjawab. Dia terus bergegas tanpa menoleh lagi. Sementara Winarni masih meraung-raung memanggil bapaknya. Rusmi mendekap putrinya. Rusmi menatap kepergian suaminya dengan perasaan tak karuan. Dia masih ingat betul, saat pergi suaminya memakai baju hitam dengan membawa sebilah golok di pinggang. Dan itulah terakhir kali Rusmi melihat suaminya.

Tidak seperti janjinya, Darto ternyata tidak pernah pulang. Winarni terus menunggu bapaknya. Anak itu duduk di dekat pintu, pandangannya menerawang ke arah hutan. Rusmi sedih melihatnya. Dia sudah mencari keterangan pada orang-orang sekampung, tapi tak ada yang tahu ke mana perginya Darto. Laki-laki itu seperti raib ditelan bumi.

Muncul berbagai dugaan atas hilangnya Darto. Ada yang bilang Darto pergi ke kota, ada pula yang bilang menyeberang ke luar pulau, tapi dugaan yang lebih kuat tertanam di benak orang-orang adalah Darto dimangsa makhluk gaib penunggu hutan. Sebab, ada yang bersaksi melihat Darto memasuki hutan sebelum dinyatakan hilang.

Rusmi tak mau dipermainkan oleh berbagai dugaan itu. Hatinya sudah cukup pedih kehilangan suami. Apalagi melihat keadaan putrinya yang tiba-tiba berubah semenjak ditinggal pergi ayahnya. Gadis kecil itu menjadi pendiam dan suka menyendiri. Dia kerap duduk termenung di depan rumah sambil memandang ke arah hutan. Rusmi pun jadi penasaran.

“Sedang memandang apa kamu, Nduk?” tanyanya suatu kali.

“Bapak…,” jawab anak itu seraya menunjuk ke hutan. “Bapak di sana!”

Rusmi tercekat. Jawaban putrinya membuat jantungnya berdesir. Dia tak yakin anaknya memiliki indera keenam. Namun setiap kali anak itu memberikan kejutan-kejutan yang cukup mencengangkan. Pernah tanpa sebab, anak itu tiba-tiba berlari menuju ke arah hutan. Rusmi terkejut bukan main. Dia segera mengejarnya. Mereka sampai ke dalam hutan.

Rusmi berhasil menangkap putrinya. Gadis kecil itu meronta-ronta sambil berteriak memanggil-manggil ayahnya.

“Bapaaakkk…! Bapaaakkkkk…!!!”

Entah suatu kebetulan, Rusmi menemukan sarung golok milik suaminya tergeletak di tempat dia menangkap Winarni. Dengan tangan gemetar Rusmi memegang sarung golok yang sudah lusuh itu. Kini dia tahu, kenapa Winarni berlari ke dalam hutan. Rupanya dia tahu ada benda milik ayahnya yang tertinggal.

Kenyataan ini justru membuat Rusmi jadi ngeri. Hatinya diliputi ketakutan. Anaknya bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa. Rusmi lalu mengobatkan Winarni ke seorang dukun. Dia tak mau terjadi apa-apa pada putrinya. Sudah cukup anak itu dianggap aneh karena perilakunya yang tidak biasa, jangan sampai dia dianggap gila karena kemampuannya itu.

***

Tiga tahun telah berlalu. Rusmi tak memikirkan lagi kepergian suaminya. Dia sudah mengikhlaskan jika memang dia telah tiada. Kalau pun dia masih hidup dan pergi ke tempat jauh untuk membangun hidup baru, Rusmi juga sudah merelakan. Mungkin suaminya punya alasan melakukan hal itu. Rusmi tak ingin mengingatnya lagi.

“Rus…!” Sebuah suara menghentikan langkahnya di jalan setapak. Di punggungnya segepok kayu bakar memberati tubuhnya.

Rusmi menengadah. Sesosok laki-laki empatpuluhan, berkulit gelap dengan baju hitam-hitam menghadang jalan. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Tapi bagi Rusmi senyuman itu lebih mirip seringai serigala.

“Bagaimana, Rus? Aku menunggu keputusanmu?”

Rusmi mendengus. Dia tak mempedulikan laki-laki itu dan meneruskan langkahnya.

“Tunggu, Rus. Aku mohon, berikanlah jawaban?” kejar laki-laki itu.

Rusmi berhenti sebentar. “Sudah aku bilang, jangan ganggu aku! Peduli setan dengan keinginanmu. Aku masih punya suami!”

“Suamimu sudah lama pergi, Rus. Semua orang tahu, suamimu lenyap dimangsa penghuni hutan. Tak ada untungnya kamu menunggu dia pulang. Dia sudah mati. Aku kasihan sama kamu, Rus. Lebih baik kamu jadi istriku. Nanti semua kebutuhanmu dan anakmu akan aku cukupi. Meskipun kamu menjadi istri ke dua, tapi aku akan bersikap adil. Percayalah, aku mencintaimu!”

Rusmi mendecih. Dia muak mendengar ucapan laki-laki itu. Bukan sekali dua Jiman mengungkapkan hasrat ingin memperistrinya. Bahkan sebulan setelah Darto menghilang, laki-laki itu gencar melancarkan rayuan pada Rusmi. Tapi Rusmi tak pernah menanggapi. Dirinya bukan perempuan murahan yang mudah silau oleh harta benda.

Rusmi tahu, Jiman orang kaya. Tanahnya luas dan rumahnya penuh perabotan mewah. Di kampung ia termasuk orang yang disegani. Namun Rusmi tak suka pada kelakuannya yang gemar berjudi dan mabok. Apalagi dia pernah berselisih dengan Darto hingga mereka hampir saja saling membunuh. Rusmi pun heran, kenapa Jiman mengejar dirinya yang janda dari mantan seterunya!

Jiman tak patah arang meski Rusmi terang-terangan telah menolaknya. Berkali-kali ia menemui Rusmi di tengah jalan atau di rumah. Yang membuat Rusmi kesal, laki-laki itu kerap membuat Winarni ketakutan. Setiap kali bertemu Jiman, wajah anak itu terkesiap seperti melihat hantu. Matanya melotot sambil berteriak menghalau Jiman, “Pergi kamu! Pergiii…!”

Belum pernah Rusmi menyaksikan putrinya seketakutan ini berhadapan dengan orang lain. Terbit perasaan heran dan ganjil dalam hati Rusmi. Namun ia tak sampai berpikir jauh. Penolakan putrinya pada Jiman justru semakin memperteguh keyakinannya. Bagaimana mungkin dia menikah dengan laki-laki yang tidak disukai putrinya!

***

Matahari belum sampai ke ubun-ubun. Pekerjaan Rusmi memecah batu belum juga rampung. Tapi perempuan itu sudah beranjak pulang. Perasaannya tiba-tiba tak tenang. Wajah putrinya yang ada di rumah mendadak mengganggu pikiran. Padahal biasanya tak seperti ini.

Dengan langkah tergesa Rusmi menuju ke rumah. Dari kejauhan dia melihat ada yang ganjil. Putrinya tidak terlihat duduk di depan rumah, sebagaimana kebiasaannya selama ini. Ketika tiba di halaman terlihat pintu rumah tertutup. Dengan perasaan tegang Rusmi mendobrak pintu.

“Winarni…!” serunya memanggil putrinya.

Rusmi menghambur ke dalam dan hampir-hampir ia tak bisa menahan jeritan melihat pemandangan di depannya. Wajahnya terkesiap pucat, tangannya memegang mulutnya seperti tak percaya. Di ruangan tengah tampak membujur tubuh setengah telanjang berlumuran darah.

Tak jauh darinya Winarni duduk meringkuk di sudut sambil memegang sebuah golok. Dengan suara terbata anak itu berkata, “Dia mau memperkosaku, Mak! Dia yang membunuh bapak…!” Rusmi mengenali golok yang dipegang Winarni adalah milik suaminya. Golok yang ikut dibawanya pergi. Tapi bagaimana sekarang ada di tangan Winarni?

Rusmi tak mau berpikir terlalu jauh lagi. Dia tahu, apa yang mesti dilakukan. Sebelum ada yang memergoki perbuatan putrinya, Rusmi mesti bertindak cepat menyembunyikan jasad Jiman. Tak ada tempat yang paling aman selain di dalam hutan. Tapi di hari terang begini akan sangat mencolok pandangan. Mereka menunggu hari menjadi gelap.

Ketika malam menjelang, Rusmi dan putrinya membawa karung berisi jasad Jiman menuju ke dalam hutan. Bersama gelap mereka mengendap-endap menyambangi lambung hutan. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Sesampai di tepi sebuah jurang mereka segera melempar tubuh tak bernyawa itu ke dasarnya, berbaur dengan tulang belulang Darto yang dibunuh Jiman tiga tahun lalu.

Usai melakukan pekerjaan, mereka lalu melangkah pulang. Sepanjang perjalanan mereka diam membisu. Hanya suara burung hantu dan pekik serangga mengikuti mereka. Rusmi tahu, akan ada banyak dugaan dan pertanyaan tentang hilangnya Jiman. Tapi seperti halnya Darto yang menghilang secara misterius, mereka pasti akan menduga Jiman juga hilang ditelan angkernya hutan.

Esok hari bersama datangnya pagi dengan kabut yang berlapis-lapis seperti lembaran sutera, kisah tentang hilangnya Jiman semakin melengkapi misteri yang menyelimuti gelapnya hutan. Seperti misteri perilaku Winarni yang dianggap aneh dan ganjil. Gadis kecil itu masih kerap duduk di depan rumah dengan pandangan menerawang ke arah hutan! (*)

Tirtomoyo, 3 April 2010

Tidak ada komentar: