06 Mei 2010

Karma Dorna

Cerpen ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 2 Mei 2010
OLEH EKO HARTONO


Meski terlahir sebagai keturunan brahmana, namun kehidupanku jauh dari kemapanan. Aku harus melalui masa-masa yang sulit karena kungkungan kemiskinan. Namun di balik kesulitan hidup aku sempat mengecap manisnya kehidupan masa kanak-kanak. Saat berguru di sebuah padepokan, aku berteman akrab dengan Drupada, pangeran dari negeri Pancala. Kami saling berbagi dalam suka maupun duka.

Suatu hari Drupada berkata padaku, “Kelak jika aku sudah menjadi raja, aku akan membagi separo wilayah kerajaanku kepadamu. Kita akan sama-sama berbagi kekuasaan di negeri Pancala!”

Aku terharu mendengar pernyataannya. Bukan karena akan mendapatkan wilayah kerajaan yang membuatku senang, tetapi ketulusan Drupada sebagai sahabat. Sungguh, jarang ada sahabat seperti Drupada. Karenanya, betapa sedih hatiku ketika kami harus berpisah. Drupada kembali ke negerinya setelah dirasa cukup menimba ilmu, sementara aku masih harus banyak belajar di padepokan.

Ketika aku dewasa dan selesai dari pendidikan, aku segera pergi ke kerajaan Pancala mencari Drupada. Aku mendengar Drupada telah diangkat menjadi raja. Aku lalu menemuinya di istana. Tapi apa lacur? Perasaan gembira yang sempat menyala dalam dadaku seketika padam begitu mendapati kenyataan sikap Drupada telah banyak berubah.

Drupada tak menganggapku lagi sebagai sahabat, bahkan dia sudah lupa dengan janjinya akan membagi kerajaannya kepadaku setelah menjadi raja. Dengan nada sombong dan angkuh dia berkata padaku.

“Persahabatan hanya terjadi antara dua orang yang memiliki derajat sama. Jadi mana mungkin aku memberikan wilayah kerajaanku pada seorang brahmana miskin? Mungkin omonganku saat itu hanya kelakar seorang anak kecil saja! Tapi kalau kamu meminta bantuan, sekadar sedekah untuk membantu kehidupan seorang brahmana, aku akan berikan…”

Hatiku terluka mendengar ucapannya. Tanpa banyak kata aku kemudian pergi dengan membawa segumpal dendam dalam dada. Aku baru sadar bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sandiwara belaka. Begitu mudah orang berubah sikap dan berbalik kata. Tak ada lagi nilai-nilai kekesatriaan dan keprawiraan yang menjunjung tinggi semboyan sabda pandhita ratu tan kena wola-wali!

Inilah penyakit manusia, bila sudah menduduki jabatan tinggi lupa akan asal-usul dan janji. Aku pun mengambil hikmah atas peristiwa ini. Hidup ternyata tak cukup bermodal kejujuran dan kepolosan. Hidup adalah perjuangan. Dan perjuangan itu sangat keras, penuh tantangan. Tak ubahnya sebuah perang. Dalam perang taktik dan strategi diperlukan. Karena perang adalah penaklukan.

Aku tahu, sulit bagiku menaklukkan Drupada yang sombong itu dengan hanya bermodal nekad. Aku membutuhkan ilmu dan kekuatan. Ketika aku mendengar ada seorang brahmana sakti yang memiliki ilmu peperangan tingkat tinggi aku segera datang kepadanya. Namanya Parasurama. Orangnya sangat sederhana dan rendah hati. Tadinya Parasurama enggan menularkan ilmunya kepadaku dengan alasan semua ilmunya sudah disalurkan kepada para brahmana.

Aku berusaha mengambil hatinya dengan menceritakan kepedihanku. Tersentuh oleh kisah hidupku yang pahit, pandhita baik hati itu akhirnya bersedia mengajarkan ilmunya kepadaku. Cukup lama aku berguru pada Parasurama. Selesai menyerap semua ilmu Parasurama aku berpamitan pulang. Parasurama sebenarnya menginginkan aku tetap berada di padepokannya untuk ikut mengajar para brahmana muda dan hidup secara sederhana, tapi aku menolak halus.

Jika aku tetap tinggal di padepokan Parasurama, tentu cita-citaku tak bakal terwujud. Lagi pula Parasurama pasti juga tidak setuju dengan niatku yang ingin merebut wilayah Pancala. Karena Parasurama paling benci pada kehidupan para kesatria yang hanya mementingkan kedudukan dan kekuasaan. Aku lalu pergi ke negeri Hastinapura. Aku tertarik menjadi guru para pangeran Kuru, Pandawa dan Kurawa. Aku melihat potensi mereka menjadi raja-raja besar.

Ketika aku mengajukan lamaran pada Prabu Drestarastra untuk menjadi guru anak-anaknya, raja Astina yang buta itu tak keberatan. Aku lalu membangun sebuah padepokan di pinggiran kota Hastinapura dan mulai mendidik para pangeran Kuru. Aku tahu, antara anak-anak Kurawa dan Pandawa terjadi persaingan. Mereka tak pernah akur. Anak-anak Kurawa sombong dan mau menang sendiri, meski kemampuan mereka terbatas. Sementara anak-anak Pandawa yang sebenarnya pandai lebih suka mengalah dan bersikap rendah hati.

Namun demikian, aku lebih menyukai Kurawa. Kenapa demikian? Sudah jelas, karena mereka bodoh sehingga mudah disetir. Lebih dari itu, merekalah nantinya yang akan menggantikan kedudukan sebagai penguasa Astina. Aku membutuhkan dukungan negeri sebesar dan sekuat Astina untuk mewujudkan cita-citaku. Tapi agar tidak terkesan pilih kasih, maka aku menjadikan Arjuna, penengah Pandawa, sebagai murid kesayangan.

Ketika mereka sudah dewasa dan ilmu yang didapat sudah memadai, mulailah aku mempengaruhi mereka. Mula-mula aku menceritakan kehidupanku di masa lalu. Aku mengungkapkan rasa kecewa dan kepedihan hatiku telah direndahkan oleh raja Drupada. Aku memprovokasi para pangeran muda itu agar mau membantuku merebut sebagian wilayah kerajaan Pancala yang kuanggap sebagai hakku sekaligus membalaskan rasa sakit hatiku pada Drupada.

Anak-anak Kurawa menyatakan persetujuan dan kesiapannya menyerang Pancala. Mereka memang hobi berkelahi, karenanya tanpa berpikir panjang langsung menyanggupi ajakanku. Sebaliknya, anak-anak Pandawa terlihat ragu dan bimbang. Sebenarnya aku lebih berharap anak-anak Pandawa yang maju di garis terdepan karena kemampuan berperang mereka sangat tinggi. Tapi sayang, mereka terlalu banyak pertimbangan.

“Apakah tidak ada jalan selain berperang, Guru?” tanya Yudhistira, sulung Pandawa yang berhati lembut dan tak suka berperang.

“Aku sudah mencoba bicara baik-baik pada Drupada, tapi hasilnya nihil,” kataku dengan wajah sendu.

“Kita tidak perlu berperang, karena perang akan menimbulkan korban rakyat yang tak berdosa. Cobalah guru pertimbangkan hal ini,” cetus Arjuna.

“Aku tidak memerangi rakyat Pancala, aku hanya memerangi Drupada. Aku akan meminta kalian menyerang istana Pancala dan mengambil alih tahta Drupada yang sombong itu!” tegasku menekankan.

“Tapi, Guru…?” Bima mencoba membantah, tapi segera kupotong.

“Sudahlah! Kalian tak perlu banyak alasan. Bilang saja kalau kalian tidak mau. Aku sangat kecewa jika itu yang terjadi. Percuma aku menularkan ilmu kepada kalian bila tidak ada setitik pun perasaan balas budi. Kalian tidak tahu, tiap malam aku tak bisa tidur karena terus dihantui oleh ucapan Drupada yang menyakitkan hati!” ucapku pura-pura ngambek.

Anak-anak Pandawa diam tertegun. Mereka tampak bimbang. Aku tahu, persoalan ini menjadi sebuah dilema buat mereka. Sebagai murid yang baik mereka tak mau dibilang tidak tahu balas budi. Tapi sebagai kesatria mereka harus menjunjung tinggi perikemanusiaan. Mereka tidak mau berperang bila tidak didasari oleh alasan yang benar. Menyerang Pancala adalah urusan pribadi Dorna dengan Drupada. Bila mereka ikut campur, mereka bisa disalahkan!

Tiba-tiba Arjuna mengungkapkan sebuah gagasan.

“Maaf, Guru. Sebagai murid kami tak bermaksud mengabaikan perasaan guru. Kami juga tak mau dibilang tak tahu balas budi. Tapi menurut kami, berperang mengerahkan bala tentara bukanlah pilihan bijaksana. Saya punya gagasan, bagaimana kalau kita menundukkan raja Pancala dengan cara halus.”

“Maksudmu?” tanyaku belum mengerti.

“Begini, Guru. Raja Drupada memiliki seorang putri cantik bernama Drupadi. Saya dengar raja Drupada akan mengadakan sayembara memanah untuk memperebutkan putrinya. Saya akan mengikuti sayembara itu dan memenangkannya. Jika nanti Drupadi berhasil kita miliki maka sama artinya kita mendapatkan kerajaan Pancala, karena kelak raja Drupada akan mewariskan tahta kepada keturunannya!”

Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Arjuna. Apa yang dikatakannya cukup masuk akal. Ini adalah jalan damai tanpa harus menumpahkan darah. Aku setuju dengan gagasannya. Maka, aku kemudian mengutus Pandawa berangkat ke negeri Pancala untuk mengikuti sayembara itu. Aku yakin Pandawa bakal sukses menjalankan misinya. Benar saja, tak berapa lama mereka kembali lagi sambil membawa Drupadi. Hatiku senang bukan main.

Namun ambisi membuatku kurang puas. Diam-diam aku memerintahkan anak-anak Kurawa membawa pasukannya menuju negeri Pancala. Mereka berhasil menghancurkan kerajaan Pancala. Raja Drupada ditawan dan dihadapkan kepadaku. Dengan ekspresi penuh kemenangan aku berdiri di hadapan Drupada. Aku memaksa dia untuk menandatangani kesepakatan membagi wilayah kerajaannya kepadaku. Wajah Drupada terlihat gusar dan marah.
“Kamu benar-benar licik, Kumbayana 1). Kamu menggunakan kekuatan orang lain untuk mengalahkanku. Dasar, pengecut!” desis Drupada geram.

“Aku bukan licik dan pengecut, tapi aku menggunakan otak. Dalam peperangan apa pun sah dilakukan untuk mencapai kemenangan!” ujarku dingin.

“Baiklah! Sekarang kamu boleh senang dengan kemenangan ini. Tapi ingat, aku akan memohon pada dewa untuk mendapatkan seorang putra yang kelak akan membalaskan dendamku kepadamu. Dia akan memenggal kepalamu!” sumpah Drupada.

Aku terlalu mabuk kemenangan sehingga tak menghiraukan sumpah Drupada yang dicatat dewata. Aku tak sadar bahwa hidup bukan hanya perang, tapi juga karma. Semua perbuatan, baik atau buruk, akan mendapatkan karma atau balasan! (*)

Tirtomoyo, 14 April 2010

Catatan: 1) Kumbayana : nama kecil Begawan Dorna

Tidak ada komentar: