27 Mei 2010

Ladang Jagung

Cerpen ini dimuat di Harian Seputar Indonesia, Minggu, 23 Mei 2010
Oleh Eko Hartono
Buka website di: www.seputar-indonesia.com


Selimut senja menghampar dari ujung utara hingga selatan desa. Semburat lembayung bagai selendang bidadari memayungi langit kelam. Suara kepak sayap kelelawar keluar dari sarang memecah keheningan.

Jalan sepanjang dusun terlihat lengang tak nampak sebatang hidung manusia pun. Kehadiran malam sepertinya menjadi momok tersendiri bagi warga desa terpencil itu. Sejak hilangnya beberapa anak kecil yang konon diculik oleh wewe, para ibu diliputi ketakutan atas keselamatan anak-anak mereka. Sebelum maghrib datang anak-anak sudah digiring masuk ke dalam rumah.

Pintu dan jendela dikunci rapat. Bukan hanya anak kecil saja yang takut berkeliaran di luar rumah, tetapi juga para orang dewasa. Berita tentang anak-anak kecil yang diculik wewe dan dibawa ke alam gaib menghantui benak mereka. Sudah ada tiga anak kecil di dusun itu yang lenyap tanpa ketahuan di mana rimbanya. Peristiwa itu sudah dilaporkan ke polisi, namun belum ada hasilnya.

Hilangnya ketiga anak kecil itu sangat misterius. Tak ada jejak maupun mayat yang ditemukan bila mereka memang sudah mati. Karenanya warga sangat yakin ketiga anak kecil itu digondol wewe. Meski belum ada seorang pun pernah bertemu makhluk gaib itu, namun ia hidup dalam keyakinan mereka. Di pojok dusun berdiri sebuah rumah sederhana dihuni pasangan suami istri, Dirun dan Tini.

Sudah belasan tahun keduanya membina rumah tangga, namun belum juga dikaruniai anak. Meski tak berbuah anak, kehidupan perkawinan mereka berlangsung rukun dan harmonis. Tak pernah terdengar pertengkaran dari mulut mereka. Mungkin karena mereka punya sifat pendiam. Keduanya juga terlalu sibuk menggarap ladang, sehingga energi mereka sudah terkuras habis.

Karena tak memiliki anak, keduanya sering dicemooh dan diejek oleh para tetangga. Ada yang bilang mereka mandul, menanggung kutukan, diteluh orang, bahkan ada yang menuduh mereka sengaja tak ingin punya anak karena tak mau dibuat repot. Dirun dan Tini tak menggubris semua omongan itu. Biasanya jika dalam sebuah perkawinan tak dikaruniai anak, pihak istrilah yang dijadikan kambing hitam.

Sang suami akan menceraikan istri dan mencari wanita lain yang bisa memberinya anak. Namun, hal itu tak dilakukan Dirun. Dia sangat menyayangi istrinya. Dia tak mau menjadikan ini sebagai persoalan besar. Dirun tahu, istrinya sudah cukup tertekan dengan cemoohan orang. Dia tak mau menambah bebannya. Sebagai seorang perempuan Tini tentu memiliki angan-angan bisa menimang anak.

Karena kehadiran anak akan melengkapi kehidupannya. Hal ini pernah diungkapkan Tini kepada suaminya.

“Sepertinya enak ya, Pak, kalau kita punya anak?” ucapnya lirih nyaris seperti gumaman.

“Kamu menyesal karena tidak bisa punya anak dari aku?” tukas Dirun.

“Bukan begitu, Pak. Semestinya sampeyan yang menyesal karena tidak bisa mendapatkan anak dari aku. Seharusnya…”

“Sudahlah Tin, tidak usah diteruskan. Ada atau tanpa anak bagiku sama saja. Yang penting hidup kita tenang dan damai. Kita tidak usah menjadikan ini sebagai ganjalan!” tandas Dirun. Laki-laki itu tak tahu, apakah istrinya masih terobsesi untuk memiliki anak. Yang jelas sejak percakapan itu, Tini tak pernah lagi mengungkit-ungkit soal anak. Dirun pun tak mau membuat rusuh hati istrinya gara-gara soal anak. Dia mengajak istrinya menerima kenyataan apa adanya.

Namun, namanya perempuan terkadang sulit untuk memupus perasaan. Diam-diam Dirun sering mendapati Tini duduk melamun di bale bambu depan rumah pada sore hari selepas mereka pulang dari ladang. Pandangannya menerawang jauh, menembus hamparan tanaman jagung di seberang jalan. Dirun tak tahu, apa yang sedang dipikirkan istrinya. Jika ditanya, Tini berdalih sedang melepas lelah. Namun, Dirun tak yakin. Kebiasaan Tini duduk melamun di bale bambu depan rumah menjelang senja terkesan aneh.

Bisa berjam-jam lamanya dia seperti itu. Jika tidak diingatkan Dirun untuk masuk ke dalam, mungkin sampai malam perempuan itu betah berada di tempatnya. Dirun khawatir sesuatu terjadi pada istrinya. Karena memendam hasrat besar untuk memiliki anak jiwanya jadi terganggu. Dia ditekan oleh perasaannya sendiri. Namun lepas dari soal itu ada hal lain dikhawatirkan Dirun. Senja adalah waktu yang rawan.

Konon, pada permulaan malam para setan dan dedhemit keluar dari sarangnya. Apalagi akhir-akhir ini santer kabar beberapa anak kecil hilang diculik makhluk halus. Banyak warga takut keluar rumah menjelang malam tiba. Meski Tini bukan lagi anak kecil, tapi bukan hal mustahil kejadian itu bisa menimpanya. Dirun pun gundah saat mendengar gunjingan warga yang mengaitkan hilangnya anak-anak kecil itu dengan mereka.

Dia pernah mencuri dengar obrolan ibu-ibu di warung. “Kayaknya yang menculik anak-anak itu bukan makhluk wewe, tapi orang biasa…”

“Maksudmu orang biasa seperti kita ini?”

“Ya, begitulah!”

“Tapi buat apa menculik anak yang masih kecil?”

“Buat apalagi kalau bukan untuk dijual di kota. Dijadikan pembantu atau pekerja kasar. Sekarang di mana-mana kan lagi ngetren penculikan anak!”

“Bisa juga menculik karena ingin memiliki anak. Banyak orang tidak punya anak berusaha dapat anak dengan jalan menculik.”

“Jangan-jangan pelakunya Dirun dan istrinya. Mereka kan tidak punya anak…?”

Wajah Dirun berubah pucat. Hatinya jadi tak tenang. Dia bergegas pulang ke rumah. Dia tahu, pembicaraan ibu-ibu itu itu bila sudah menyebar luas dan diyakini kebenarannya, maka hidup mereka akan terancam.

***

Petang itu…

Selesai mandi dan berganti baju, Dirun beranjak ke depan menemui istrinya.

Tapi betapa kaget karena Tini tak ada di tempatnya. Dirun kemudian mencari ke sekitar rumah sambil memanggil-manggil nama istrinya, “Tiniii…!” Tak ada sahutan.

Tiba-tiba Dirun teringat sesuatu. Dia bergegas menuju ke ladang jagung yang ada di seberang jalan. Benar saja. Sesampai di gubuk yang ada di tengah ladang jagung, dia mendapati perempuan itu duduk bengong seperti orang linglung. “Ya, ampun, Tin. Ngapain kamu di sini?” tegur Dirun dengan nada cemas.

“Aku mencari seorang anak kecil, Pak,” jawab Tini.

“Anak kecil?”

“Ya! Aku tadi melihat ada anak kecil berdiri di pinggir jalan. Aku memanggilnya, tapi anak itu malah lari ke ladang jagung ini. Aku kemudian mengejarnya. Tapi sampai di sini anak itu menghilang. Aku kira dia sembunyi di dalam gubuk, tapi ternyata tidak ada…” Bulu kuduk Dirun merinding mendengar penuturan istrinya. Tanpa banyak kata dia segera membawa perempuan itu kembali ke rumah.

Tak salah lagi, istrinya sudah kerasukan. Dia berpikir seolah telah melihat anak kecil, padahal itu hanya halusinasi saja. Dia terlalu ditekan oleh perasaan ingin punya anak, sehingga berpikir yang bukan-bukan. Makhluk halus biasanya gampang merasuk ke dalam pikiran orang yang jiwanya kosong. Kejadian itu rupanya tidak berlangsung sekali. Beberapa kali Tini mengigau melihat anak kecil. Bahkan pada tengah malam dia terjaga dari tidur dengan tubuh berkeringat deras.

Dia mengaku baru saja bermimpi melihat anak-anak kecil berkerumun di rumahnya. Dirun hanya bisa tertegun mendengarnya. Hatinya tiba-tiba diliputi ketakutan! Ocehan Tini yang mengaku melihat anak kecil bisa menjadi bumerang. Jika ucapannya didengar orang, mereka bisa menuduhnya sebagai pelaku penculikan. Apa yang dicemaskan Dirun menjadi kenyataan. Entah, siapa yang mengomando, tiba-tiba serombongan warga datang menyerbu ke rumahnya.

Mereka menuduh Tini telah menculik anak-anak yang hilang. “Mana Tini? Di mana anak-anak yang telah diculiknya?!”

“Ayo, keluar! Jangan sembunyi!”

“Bakar saja rumahnya!” Seru mereka dengan lantang di depan rumah. Diantara mereka ada yang membawa golok, parang, sabit, dan senjata tajam lain. Dengan wajah tegang Dirun keluar dari dalam rumah menemui warga. Tubuhnya gemetar hebat.

“Saudara-saudara jangan sembarangan menuduh istri saya menculik anak-anak yang hilang itu. Apa buktinya?” ujar Dirun memberanikan diri.

“Buktinya sudah jelas! Dia sering mengoceh melihat anak-anak kecil itu. Dia pasti tahu di mana keberadaan anak-anak itu?” ujar salah seorang warga.

“Istri saya mengoceh begitu karena pikirannya sedang terganggu. Dia begitu menginginkan anak, sehingga sering berkhayal melihat anak kecil.”

“Bohong! Mana ada orang berkhayal berkali-kali. Dia pasti tahu tentang anak-anak itu!”

“Saya tidak bohong. Sungguh!”

Ketika terjadi perdebatan seru antara Dirun dan warga, tiba-tiba Tini muncul di pintu. Padahal Dirun sudah mewanti-wanti agar istrinya jangan keluar, tapi perempuan itu sepertinya tak bisa menahan diri. Begitu melihat Tini, orang-orang berniat menghampirinya tapi segera ditahan oleh Dirun.

“Jangan! Istri saya jangan diapa-apakan. Dia tidak bersalah!”

“Kami cuma ingin tahu, di mana dia menyembunyikan anak-anak itu?” desis salah seorang warga dengan gusar.

“Anak-anak itu ada di dalam gubuk ladang jagung sana!” ujar Tini sambil mengacungkan jarinya ke arah ladang jagung. Saat mengucapkan kalimat itu wajah Tini terlihat datar tanpa emosi. Sorot matanya hampa. Beberapa orang bergegas menuju ke ladang jagung, sementara yang lain menunggu di rumah Dirun.

Ketegangan nampak membayang di wajah Dirun. Hatinya diliputi cemas. Tak berapa lama orang-orang itu kembali. “Tidak ada! Tini berbohong!” seru mereka memberitahu.

Orang-orang menjadi gusar dan marah. Mereka menoleh ke arah Tini. Tapi sebelum mereka bertindak, tiba-tiba tubuh Tini ambruk tak sadarkan diri. Kini Tini dirawat di rumah sakit jiwa. Dia masih terus mengigau tentang anak-anak kecil yang dilihatnya. Bahkan dia kerap tertawa-tawa sendiri dan omong sendiri seperti ada yang diajak bicara.

Melihat perilaku istrinya itu Dirun hanya bisa termenung sedih. Dia menatap istrinya dengan perasaan tak karuan. Ada yang menusuk tajam dalam batinnya. Tiba-tiba ingatannya dibawa melayang kepada malam-malam dingin yang menghiasi ranjang mereka. Malam-malam yang membuatnya tersiksa karena tak mampu menunaikan hasrat kepada sang istri. Mungkin kenyataan itu yang membuat mereka tidak bisa memiliki anak, tapi bukan itu saja yang membuat Dirun tersiksa.

Entah, setan apa yang telah mempengaruhi jiwanya, setiap kali melihat anak-anak kecil yang polos dan lugu, hatinya menjadi bergetar. Hasratnya menggebu luar biasa. Ada kegairahan yang sulit ditahan! Diam-diam dia mendekati beberapa anak kecil yang sedang bermain sendirian. Dirayunya mereka dengan makanan atau uang, lalu dibawanya ke dalam gubuk ladang jagung yang sepi. Deretan tanaman jagung yang sudah tinggi menghalangi pandangan mata orang ke arah gubuk.

Di sanalah Dirun meluapkan hasrat purbawinya! Takut perbuatannya diketahui orang, terutama istrinya, Dirun lalu menghabisi nyawa anak-anak tak berdosa itu dan menguburnya dalam liang di bawah gubuk. Dia pikir semuanya akan aman dan baik-baik saja. Tapi sejak istrinya menceracau melihat anak-anak kecil itu, hati Dirun diliputi risau. Entah, sampai kapan dia akan bertahan menyembunyikan aibnya! (*)

Tirtomoyo, 12 Mei 2010

Tidak ada komentar: