12 Juni 2010

Sesal

Cerpen ini dimuat di SOLOPOS, 23 Mei 2010
Oleh Eko Hartono
Buka websitenya di: www.solopos.co.id


Kedatangan Bayu dengan membawa seorang gadis yang diakui sebagai kekasih dan calon istri membuat wajah Bu Rahma muram. Padahal gadis itu berwajah cantik, putih, langsing, dan modis. Penampilannya mirip artis. Dia juga seorang wanita karir. Dia bekerja di sebuah perusahaan bonafide.

“Kamu beneran mau menikahinya?” ujar Bu Rahma dengan nada tinggi.
“Ya, Bu. Makanya, saya ajak dia datang ke sini, berkenalan dengan Ibu sekalian meminta restu!” jawab Bayu yakin.

“Ibu tidak akan memberi restu! Ibu kan sudah bilang, kamu akan ibu jodohkan dengan Yasmin!”

“Tapi, Bu…?”

“Jangan bilang kamu tidak mencintainya! Yasmin itu gadis yang baik, cantik, pintar, dan yang penting solehah. Ibu yakin dia bakal jadi istri yang setia buat kamu. Dia bisa menjadi ibu rumah tangga yang pandai menjaga dan merawat keluarganya. Dia sangat amanah!”

“Kenapa sih, ibu ngotot menjodohkan saya dengan Yasmin. Kenapa saya tidak diberi kebebasan memilih istri sesuai kehendak hati saya?”

“Karena ibu lebih berpengalaman menilai mana gadis baik-baik dan mana yang tidak baik. Gadis yang kamu bawa ke sini tadi dilihat dari penampilannya saja sudah bisa ibu nilai kalau dia tidak bisa menjaga aurat. Lihatlah pakaiannya, terlalu ketat dan seksi. Dia pasti juga terbiasa bergaul bebas. Ibu yakin, kamu bukan laki-laki pertama yang pernah jadi kekasihnya. Bagaimana kamu bisa katakan dia bakal jadi istri yang baik?”

Bayu bersungut-sungut. Hatinya sangat kesal. Setiap kali dia datang membawa calon istri, ibunya selalu menyatakan ketidaksetujuannya. Sementara hatinya juga berat menerima Yasmin. Gadis itu adalah teman sepermainannya sejak kecil. Orang tuanya bersahabat baik dengan orang tua Bayu. Hubungan persahabatan mereka layaknya saudara.

Bayu tak memungkiri bila Yasmin cantik, baik, dan alim. Tapi… satu kekurangannya, dia cacat! Dia pernah mengalami kecelakaan yang membuat pita suaranya rusak. Sejujurnya Bayu suka pada Yasmin. Tapi bukan berarti dia harus menikahinya. Kalau pun dia memaksakan diri, dia justru kasihan pada Yasmin. Dia takut akan menyakiti hatinya. Karena Bayu menyadari dirinya bukan laki-laki yang baik. Dirinya tak pantas untuk perempuan sebaik dan sealim Yasmin. Dia takut tak akan bisa membahagiakan Yasmin.

***

“Yasmin!”

Gadis berjilbab yang sedang asyik menyirami tanaman bunga di halaman rumah menoleh saat ada yang memanggil namanya. Sejenak dia tertegun. Di hadapannya berdiri sosok Bayu dengan wajah tampak sayu.

Dengan gerakan tangannya yang khas gadis itu berbicara dalam bahasa isyarat. “Ada apa, Yu?” begitu kira-kira.

“Aku mau bicara sebentar denganmu,” ucap Bayu lirih nyaris seperti gumaman. Sedikit banyak Bayu bisa membaca bahasa isyarat Yasmin.

“E… maaf, Yas. Kedatanganku ke sini ingin meminta tolong sama kamu…,” ucap Bayu hati-hati.

Yasmin mengisyaratkan dengan tangannya agar Bayu bicara pelan. Tak perlu sungkan.

Bayu menarik napas sebentar. Dia lalu mulai bercerita tentang persoalan yang sedang dihadapinya. Dia sangat kecewa pada ibunya yang selalu menolak gadis yang ingin dijadikannya calon istri. Bayu sampai putus asa. Dia pun berterus terang kalau ibunya lebih menginginkan dirinya menikahi Yasmin. Tapi Bayu menolak dengan alasan Yasmin sudah dianggap seperti saudara.

Selanjutnya Bayu meminta bantuan Yasmin untuk membujuk ibunya agar tidak memaksakan kehendak padanya. Bayu yakin, jika Yasmin yang bicara ibunya pasti mau mendengar. Yasmin tertegun mendengar penuturan Bayu. Wajahnya yang tadi terlihat cerah tiba-tiba berubah. Seperti ada yang tercerabut dari dalam hatinya. Tapi Bayu tak begitu memperhatikannya. Yasmin hanya mengangguk pelan, menyanggupi permintaan Bayu. Pemuda itu tersenyum senang.

Dua hari kemudian, saat Bayu berada di kantor dan membuka inbox email, ada pesan datang dari Yasmin. Dalam surat elektronik itu Yasmin memberitahu bahwa dirinya sudah bicara dengan Bu Rahma.

“… sepahit apa pun kenyataan yang telah terjadi, alangkah baiknya bila mas Bayu berterus terang pada Ibu. Percayalah, ibu pasti bisa memahami dan menerima mas Bayu dengan hati lapang. Ibu mana yang tega mencampakkan darah dagingnya sendiri?”

***

Pulang dari kantor, Bayu mendapati ibunya duduk di beranda sendirian. Wajah wanita setengah baya itu terlihat muram. Bayu membaca gelagat buruk.

“Ada apa, Bu?” tanya Bayu berdebar-debar.

“Duduklah, Yu,” pinta Bu Rahma. Pemuda duapuluhan itu menuruti perintah ibunya. Dia duduk di sampingnya.

“Kenapa kamu tidak pernah bercerita pada Ibu tentang keadaanmu?”

“Yasmin pasti yang telah bercerita pada Ibu,” cetus Bayu dengan lesu.

“Kemarin Yasmin memang datang ke sini, tapi dia hanya menyampaikan maksud agar Ibu tak lagi menjodohkanmu dengannya. Dia bilang, kalau dia juga sudah punya pilihan sendiri. Bagi ibu itu tak jadi soal. Ibu menghargai pilihan Yasmin, meski ibu tahu Yasmin sebenarnya belum punya calon. Yasmin mengatakan semua itu pasti karena suruhan kamu. Iya, kan!” ujar Bu Rahma.

Bayu menundukkan kepalanya. Dia tak sanggup membantah ucapan ibunya. Bu Rahma menarik napas panjang.

“Tadi Lina, gadis yang pernah kamu bawa ke sini itu, mengadu pada Ibu kalau kamu telah menularinya penyakit kelamin. Dia sangat marah dan kecewa sama kamu. Kenapa kamu berbohong pada Ibu, Yu? Kenapa kamu terjerumus begitu dalam? Ibu benar-benar sangat sedih dan prihatin!”

“Maafkan aku, Bu. Aku telah mengecewakan hati ibu,” Bayu menubruk kaki ibunya sambil menangis sesenggukan.

“Ibu telah memaafkanmu, Nak. Tapi yang lebih penting lagi, mohonlah maaf pada Allah. Bertobatlah, Nak. Kembalilah ke jalan yang lurus. Ibu tak mau melihatmu tenggelam dalam kesesatan yang lebih jauh lagi!”

Bayu hanya mengangguk.

“Dan satu lagi, mintalah maaf pada Yasmin. Kamu telah menyakiti hatinya. Padahal dia sebenarnya sangat mencintaimu. Kamu telah menyia-nyiakan mutiara yang telah ibu berikan!” pinta Bu Rahma kemudian.

Bayu kembali mengangguk. Rasa sesal yang begitu dalam terasa menghimpit dadanya!

Tirtomoyo, Pebruari 2010

Tidak ada komentar: