Cerpen ini dimuat di Harian Kedaulatan
Rakyat, Minggu 9 Juni 2013
Oleh Eko Hartono
Sejenak
suasana di ruangan itu berubah hening. Tak ada suara. Bahkan udara pun seakan berhenti
mengalir. Durgandini bisa merasakan sesak dalam dadanya menahan gemuruh
perasaan tak karuan. Ia sadar telah melakukan permainan berbahaya. Ia sedang
berjudi dengan nasibnya.
Masih
jelas terngiang ucapan yang belum lama keluar dari bibirnya. Ia meminta syarat
untuk dijadikan prameswari tanpa ada selir di sampingnya. Ia juga meminta hanya
anak keturunannya yang berhak mewarisi tahta Astina. Syarat itu sebagai jawaban
atas pinangan Prabu Sentanu.
Mungkin
orang akan bilang, siapa kamu Durgandini? Hanya seorang perempuan miskin. Bahkan
statusmu bukan perawan lagi. Kamu sudah pernah bersuami dan memiliki seorang
anak. Jika ada sesuatu pada dirimu yang bisa dibanggakan adalah kecantikan
wajahmu dan harum tubuhmu!
Itulah,
Durgandini ingin memanfaatkan kelebihannya. Siapa laki-laki di dunia ini yang
tak tertarik pada perempuan ayu dan wangi? Hanya laki-laki wandu yang tak bergetar hatinya melihat perempuan secantik
Durgandini. Namun ada rasa bimbang membelit hati Durgandini mengingat Prabu
Sentanu adalah seorang Raja di sebuah kerajaan besar. Laki-laki itu bisa mendapatkan
seribu perempuan seperti dirinya.
Tapi
resi Dasabala, ayah angkatnya, menenangkan hatinya. Boleh ada seribu bahkan
sejuta perempuan seperti Durgandini tapi tidak ada yang memiliki wahyu kedaton. Begitulah yang dikatakan
resi Dasabala. Meski pernah mengalami nasib buruk dibuang oleh keluarganya dan terlunta-lunta
hidupnya, tapi Durgandini diramalkan akan melahirkan raja-raja besar!
Itulah
yang membuat Durgandini merasa yakin dan percaya diri. Ia bakal bisa
menaklukkan hati Prabu Sentanu, lebih dari itu membuatnya seperti kerbau
dicocok hidungnya. Namun tetap saja ada rasa masygul membayangi hati Durgandini
menyaksikan Prabu Sentanu diam untuk beberapa lama. Dia sepertinya sedang
berpikir keras dan mempertimbangkan permintaan Durgandini.
Kebekuan
itu akhirnya mencair setelah Prabu Sentanu mengeluarkan suaranya.
“Baiklah,
Dewi Durgandini. Pada prinsipnya aku tak keberatan, tapi aku mesti berembug
dulu dengan Dewabrata, putraku. Karena sebagai putra mahkota dia yang berhak
menentukan,” kata sang Prabu.
Setelah
itu dia berpamitan pulang. Durgandini mengantarnya sampai di depan pintu. Ia
menghembus napas panjang ketika bayangan laki-laki itu hilang di ujung jalan. Keresahan
tiba-tiba menyergap hati Durgandini. Bagaimana kalau Dewabrata tak setuju
dengan keinginan ayahnya? Bagaimana kalau putra mahkota itu menentang syarat
yang diajukannya? Siapa sih, yang rela melepaskan kekuasaan dari tangannya?
Durgandini
tak bisa menyembunyikan keresahan ini di hadapan Dasabala. Tapi sekali lagi
Dasabala berusaha meyakinkan hati putri angkatnya.
“Tak
usah cemas, Nduk! Dewabrata bukanlah laki-laki ambisius. Dia sangat berbakti
kepada orang tuanya. Dia pasti akan menyetujui permintaan ayahnya. Dia tidak
akan menentang!” Demikian tegas Dasabala.
“Tapi
bagaimana dengan Sang Prabu sendiri. Kudengar dia sangat menyayangi Dewabrata. Dia
tentu tak ingin melukai hati putranya? Dia pasti akan berpikir ulang untuk
meneruskan niatnya memperistriku?” cetus Durgandini masih galau.
“Percayalah!
Itu tidak akan terjadi. Aku sudah makan asam garam kehidupan. Aku hapal tabiat
laki-laki. Ketika dia sudah memegang harta dan kekuasaan, maka akalnya akan
berpindah ke bawah perutnya. Dia akan memburu kesenangan duniawi satunya, yakni
perempuan! Dia tidak akan pernah melepaskanmu!”
“Tapi,
Bapa…?”
“Sudahlah,
Durgandini. Yakinlah pada bapa. Tali kendali kekuasaan kini ada di tanganmu. Sejatinya
Prabu Sentanu bukan lagi seorang raja tapi hambamu. Manfaatkan sebaik-baiknya
kesempatan ini!”
Durgandini
tercenung. Kata-kata ayahnya membesarkan hatinya.
Apa
yang dikatakan Dasabala benar. Tak berapa lama datang utusan dari kerajaan Astina
menyampaikan pesan dari Sang Prabu. Mereka akan menjemput Durgandini karena
Prabu Sentanu berkenan memenuhi syaratnya. Dewabrata bersedia menyetujui permintaannya.
Hati Durgandini senang bukan main. Tapi ia tak serta merta menerima semua ini.
Ia
tahu, kendali kekuasaan kini ada di tangannya. Ia lalu mengatakan kepada sang
utusan bahwa dirinya tidak akan datang ke istana Astina jika bukan Dewabrata
sendiri yang datang menjemputnya. Durgandini juga meminta Dewabrata
menjemputnya dengan kereta kencana. Ia ingin mendapat keyakinan bahwa Dewabrata
benar-benar tulus dengan persetujuannya. Lebih dari itu, ini merupakan bentuk
lain dari penaklukan.
Akhirnya,
sang utusan pulang. Beberapa hari kemudian Dewabrata datang dengan kereta
kencana seperti yang diminta Durgandini. Sumringah membias di wajah perempuan
itu. Perasaannya semakin dilambung ke awan. Dadanya sesak oleh rasa kebanggaan.
Namun kehormatan itu ternyata tak cukup baginya. Ambisi yang meluap dalam
dadanya membutakan mata hatinya.
“Baiklah,
Dewabrata. Aku terima persembahanmu. Namun aku masih punya satu syarat lagi
yang harus kamu penuhi,” kata Durgandini dingin.
“Apa
itu, Dewi?” tanya Dewabrata.
“Aku
minta kamu menjadi wadag. Tidak akan
menikah dengan perempuan mana pun seumur hidup. Bagaimana?”
Dewabrata
tertegun. Sejenak ia menatap perempuan di hadapannya dengan sorot tak mengerti.
Entah, syetan apa merasuki jiwa perempuan ini sehingga dia mengajukan permintaan
segila itu? Tapi Dewabrata segera menepis rasa ciut hatinya. Demi kebahagiaan
orang tua yang dikasihinya dia rela melakukan apa saja. Tanpa ragu lagi dia pun
menganggukkan kepala. Menyetujui permintaan Durgandini.
Dan
Durgandini pun tak bisa menahan lagi senyum kemenangannya! (*)
Tirtomoyo
- Wonogiri
Mei
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar