Cerpen ini dimuat di
Harian Republika, Ahad 5 Mei 2013
Di
pinggiran kota, tepatnya di bawah jembatan layang, berdiri sebuah gubuk reot
terbuat dari potongan papan dan seng. Penghuninya sepasang suami istri parobaya
yang tidak memiliki anak. Parno dan Wartini.
Parno,
sang suami, bekerja sebagai pemulung. Tapi dia bukan pemulung sembarangan. Dia
memulung air mata dan serpihan hati orang-orang yang sedang diliputi kesedihan,
kemalangan, dan penderitaan. Dia tak segan mendatangi orang-orang yang sedang
menangis di beberapa tempat, khususnya di rumah sakit dan rumah duka. Dengan
santun dia meminta ijin menampung tetesan air bening yang keluar dari mata
mereka.
Mulanya
orang-orang agak risih dan jengah saat Parno berniat mewadahi air mata mereka.
Pikir mereka, Parno benar-benar gila. Buat apa air mata ditampung? Kurang
kerjaan saja! Tapi kemudian mereka berpikir, apa salahnya. Mereka toh tak
memerlukan air mata itu. Mereka bahkan terbantu dengan pekerjaan Parno. Mereka
tak memerlukan berlembar-lembar tisu untuk menghapusnya, cukup ditampung di
mangkok yang dipegang Parno.
Jika
air mata yang dikumpulkan sudah banyak, Parno lalu membawanya pulang. Sesampai
di rumah Wartini, sang istri, sudah siap dengan panci dan tungku pembakar.
Wanita itu tiap hari membuat permen. Bahannya terdiri dari air mata yang
dikumpulkan suaminya. Begitulah, Parno dan Wartini bekerja sama membuat permen.
Hasil produksi mereka dipasarkan pada warga sekitar, terutama kepada anak-anak
jalanan.
Ada
kelebihan dan keistimewaan dari permen buatan pasangan suami istri itu. Selain
rasanya enak dan lezat, juga tahan lama karena tanpa bahan pengawet. Lebih dari
itu, konon siapa saja yang menghisap permen buatan mereka dijamin tahan
banting. Maksudnya, tidak gampang sedih, sakit, kecewa, atau frustrasi. Yang
ada hanya perasaan senang dan bahagia. Meskipun dihantam persoalan seberat apa
pun tidak akan down!
Selain
mengumpulkan air mata, Parno juga mengumpulkan serpihan hati orang-orang yang
sedang berduka. Dia kerap menemukan serpihan hati itu berserakan di jalan,
taman, mal, pasar, dan di mana-mana. Sepertinya di kota ini banyak orang yang
sedang hancur hatinya, entah oleh sebab apa. Mereka membuang puing-puing hati
mereka di mana saja. Hati yang seharusnya menjadi rahasia pribadi dibiarkan
berceceran tak terawat.
Oleh
Parno serpihan hati itu dikumpulkan lalu dirangkai kembali menjadi lukisan mozaik
yang indah. Parno dan istrinya berpengalaman merawat hati, karena sebagai orang
miskin mereka kerap berhadapan dengan berbagai kesulitan hidup. Mereka sering
dihina, direndahkan, dan tidak dihargai. Tapi mereka tak pernah berkecil hati.
Meski hati mereka kadang sedih, sakit, dan hancur, namun mereka mampu menjaga
agar kepingan hati mereka tidak berserakan. Mereka menguatkan kembali hati
mereka dengan kesabaran, ketabahan, dan ketegaran.
Lukisan
yang terbuat dari serpihan hati dijual kepada siapa saja. Parno memajang hasil
karyanya di pinggir jalan agar semua orang bisa menyaksikan. Beberapa dari
mereka ada yang tertarik dan membelinya. Ada keistimewaan tersendiri dari
lukisan hasil karya Parno. Siapa saja yang memandangi lukisan itu akan
merasakan ketentraman dan kesejukan. Hati mereka seakan diliputi kedamaian. Tak
ada lagi rasa susah, sedih, dan kecewa. Semua perasaan seakan tersedot ke dalam
lukisan itu.
***
Akhir-akhir
ini Parno dan Wartini kebanjiran pesanan. Entah, siapa yang memberitahu tentang
keajaiban permen dan lukisan hasil karya mereka. Mungkin dari mulut ke mulut,
setelah ada yang merasakan keajaiban dari karya mereka lalu memberitahu kepada
yang lain. Anehnya, pesanan itu bertepatan dengan hiruk pikuk pesta demokrasi Pemilukada.
Parno
sendiri tak curiga kenapa banyak orang membeli permen dan lukisan karyanya. Dia
sempat bertanya pada salah seorang pemesan.
“Wah,
banyak sekali pesanan bapak. Kalau boleh tahu, untuk siapa pesanan itu?” tanya
Parno.
“Ini
pesanan bos saya, Mas. Beliau sangat terkesan dengan hasil kerajinan sampean dan berniat membagi-bagikan pada
rakyat kecil!” jawab orang itu.
Mendengar
keterangan itu Parno merasa senang. Dia terkesan dengan maksud pemesan
barangnya yang berniat membagikan pada rakyat kecil. Hal ini memberikan kesan
bahwa dia orang baik-baik. Parno memang bercita-cita agar produk permen dan
lukisan hasil karyanya bisa dinikmati semua lapisan masyarakat, khususnya
rakyat kecil. Agar mereka merasa bahagia dan tidak terbebani oleh berbagai
persoalan hidup yang menghimpit.
Tapi
banyaknya pesanan membuat Parno dan istrinya cukup kewalahan juga. Siang malam
mereka bekerja keras. Parno sampai bingung ke mana lagi mencari air mata dan
serpihan hati, karena hampir semua tempat telah didatangi. Air mata dan
serpihan hati makin langka didapat. Bahkan meski dibantu oleh beberapa tenaga
upahan, Parno tak mendapatkan banyak air mata dan serpihan hati. Mungkin ini
dampak dari membeludaknya penjualan permen dan lukisan!
Banyak
yang telah mengonsumsi permen dan lukisan hasil karyanya, sehingga semua orang
merasa senang dan bahagia. Tak ada lagi yang sedih, susah, dan menderita. Meski
hidup dililit banyak masalah, tetapi dengan menikmati permen dan lukisan hasil
karyanya, semua menjadi sirna. Kenyataan ini semestinya membuat Parno dan
istrinya bahagia. Kini tak ada lagi pemandangan orang menangis dan murung di
mana-mana!
Tapi
tidak! Parno dan istrinya justru sedih. Bukan karena mereka sudah kehilangan
mata pencaharian, tapi karena mereka merasa tertipu. Mereka tak menyangka bila
permen dan lukisan karya mereka dijadikan komoditas politik. Pemborong permen
dan lukisan ternyata para calon kepala daerah. Mereka sengaja membagikan permen
pengubah rasa sedih dan duka, lukisan pembebas masalah, kepada para
konstituennya agar mereka lupa sejenak terhadap berbagai persoalan yang
menggayuti hidup mereka.
Para kandidat kepala daerah sengaja ingin mengelabui
masyarakat dengan cara memanipulasi perasaan. Mereka diiming-imingi berbagai
program yang manis dan menjanjikan. Karena sudah dipengaruhi oleh keajaiban
permen air mata dan lukisan serpihan hati, sehingga mereka tak terlalu peduli
dan kritis terhadap program-program yang ditawarkan. Mereka dipaksa melupakan
penderitaan, kemiskinan, kelaparan, dan segala persoalan yang menghimpit hidup
mereka.
Anehnya,
masyarakat merasa tidak ditipu atau dibodohi. Hal ini dikarenakan jiwa mereka
telah terpengaruh oleh permen dan lukisan pengubah rasa. Kenyataan ini sangat
disesali Parno dan istrinya. Mereka lalu berhenti memproduksi permen dan
lukisan. Mereka tak mau dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab
yang mengeruk kepentingan pribadi di atas penderitaan rakyat kecil. Diam-diam
mereka pergi meninggalkan gubuk reot itu.
Tak
ada yang tahu, di mana keberadaan mereka sekarang. Ada
yang bilang mereka bersembunyi di sebuah tempat terpencil dan jauh dari kota.
Tapi ada pula yang bilang mereka telah dibunuh oleh pihak yang menginginkan
resep membuat permen dan lukisan ajaib pengubah rasa. Karena menolak akhirnya
nyawa mereka dihabisi. Mayat mereka dibuang ke hutan. Entah benar atau tidak
kabar itu, wallahu alam. Yang jelas
mereka telah menghilang! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar