04 Mei 2009

Ketika Seorang Pencuri Diadili

Cerita Anak ini dimuat di majalah BOBO No.40/11 Januari 2007
Terpilih Sebagai Pemenang Harapan Lomba Mengarang Dongeng Majalah Bobo 2006
Oleh : Eko Hartono.

Dahulu kala, hiduplah seorang raja yang arif dan bijaksana. Raja itu bernama Raja Rangga. Ia suka sekali berkelana ke seluruh pelosok negerinya. Dengan menyamar sebagai orang biasa, Raja Rangga berusaha mengetahui keadaan rakyatnya yang sebenarnya.

Suatu hari, ia mendatangi sebuah kadipaten dengan menyamar sebagai petani. Raja Rangga memakai caping yang menutupi sebagian wajahnya. Tiba-tiba ia melihat kerumunan orang di alun-alun kota. Ia segera mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi.

Di tengah alun-alun tampak Adipati Sujiwo berdiri di atas panggung dengan gagahnya. Ia adalah penguasa kota kecil itu. Di dekat kakinya duduk seorang anak menangis sedih. Rupanya anak itu tertangkap ketika mencuri. Adipati Sujiwo akan menghukum pencuri kecil itu dengan hukum cambuk sebanyak seratus kali.

Pencuri kecil berlinangan air mata. Ia tampak pasrah menerima hukuman dari juru cambuk. Namun, ketika juru cambuk siap mengayunkan cambuknya, tiba-tiba ada yang menyela…

“Tunggu dulu!”

Semua mata langsung tertuju ke arah empunya suara. Adipati Sujiwo menatap tajam ke laki-laki yang memakai caping.

“Hei, siapa kamu, orang asing? Beraninya kamu memotong perintahku!” marahnya.

“Apakah Kanjeng Adipati sudah mengadili pencuri ini, sebelum menjatuhi hukuman?” tanya pria bercaping itu.

“Tidak perlu diadili lagi. Dia telah tertangkap ketika sedang mencuri. Banyak saksi mata yang melihatnya!”

“Tapi Kanjeng Adipati perlu tahu, apa yang menyebabkan dia mencuri…”

Ucapan orang asing itu membuat sang Adipati kesal. Rakyat yang berkerumun saling bergumam. Mereka membenarkan ucapan orang asing itu. Namun, sang Adipati tak ingin kehilangan kewibawaannya.

“Baiklah. Sebelum hukuman dilaksanakan, silakan tanya kepada pencuri itu, apakah dia bersalah atau tidak,” kata Adipati Sujiwo dengan sinis.

Orang asing yang memakai caping itu kemudian maju mendekati si pencuri. “Nak, apa yang kamu curi?” tanyanya.

“Makanan dan buah-buahan, Tuan,” jawab anak itu lirih.

“Kenapa kamu mencuri? Apakah orang tuamu tidak memberimu makan?”

“Tidak, Tuan. Orang tua saya miskin.”

Orang bercaping itu kemudian menoleh kepada sang Adipati.

“Dengarlah, Kanjeng Adipati. Anak ini mencuri karena tidak diberi makanan oleh orangtuanya. Jadi orang tuanya yang bersalah. Orangtuanya yang bersalah. Orang tuanya harus bertanggung jawab!” ujarnya

Maka, dipanggillah orang tua anak itu. Mereka dihadirkan di hadapan sidang pengadilan terbuka, disaksikan seluruh rakyat.

“Hei, orang tua. Kenapa kalian biarkan anak kalian kelaparan sehingga mencuri makanan?” tanya sang Adipati lantang.

“Ampun beribu ampun, Kanjeng Adipati. Kami mengaku bersalah. Kami tidak memberi makanan pada anak kami, karena kami tidak punya uang,” jawab ayah si pencuri.

“Apa kamu tidak berkerja atau menggarap ladang?”

“Saya bekerja pada seorang saudagar, Kanjeng Adipati. Tapi majikan saya sudah lama tidak memberi saya gaji…”

“Kalau begitu, panggil majikan kamu kemari!” perintah Adipati Sujiwo.

Maka, majikan ayah si pencuri itu lalu dipanggil. Sang saudagar tidak merasa bersalah. Ia tidak terima dirinya diadili.

“Kenapa saya harus ikut diadili, Kanjeng Adipati? Semua ini bukan salah saya,” ujarnya.

“Kamu tidak memberi gaji kepada pegawaimu, sehingga pegawaimu tidak bisa memberi makan kepada anaknya. Jadi kamu dianggap bersalah!” tegas sang Adipati.

“Saya tidak sanggup lagi memberi makan kepada anaknya. Jadi kamu dianggap bersalah!” tegas sang Adipati.

“Saya tidak sanggup lagi memberi gaji kepada pegawai saya. Usaha yang saya jalankan tidak pernah mendapat untung, Kanjeng Adipati. Semua keuntungan habis untuk membayar pajak yang ditarik petugas kadipaten. Karena pajaknya terlalu besar, saya tidak bisa memberi gaji pada pegawai saya…”

Ucapan saudagar itu membuat wajah Adipati merah padam. Ia menjadi salah tingkah.

“Dengarlah, Kanjeng Adipati. Ternyata Kanjeng Adipati sendiri yang menyebabkan anak ini mencuri. Kanjeng Adipati membebani rakyat dengan pajak yang tinggi. Mereka menjadi kelaparan dan akhirnya mencuri. Jadi Kanjeng Adipati yang sebenarnya bersalah dan harus mendapat hukuman,” kata orang bercaping itu.

Sang Adipati menjadi marah. “Hei, orang asing. Beraninya kamu bicara seperti itu kepadaku!”

Raja Rangga yang sedang menyamar itu kemudian membuka capingnya. Ketika terlihat wajahnya yang sebenarnya, sang Adipati menjadi pucat pasi. Tubuhnya gemetar. Ia langsung bersujud menghaturkan sembah. Semua orang ikut bersujud di hadapan Raja Rangga.

Adipati memohon ampun atas kesalahannya. Raja Rangga mengampuninya. Namun ia harus mengembalikan pajak yang diambilnya dari rakyat. Raja Rangga tidak ingin melihat rakyatnya hidup sengsara karena kesalahan pemimpinnya! (*)

Tidak ada komentar: