18 Desember 2011

Istri Suamiku

Cerpen ini dimuat di Majalah Diffa
Edisi No. 11 - November 2011


Perempuan yang duduk di hadapanku masih cukup muda. Umurnya sekira duapuluh lima tahun. Berpakaian sederhana dan memakai make up sederhana pula. Rambutnya yang lurus panjang diikat ke belakang. Meski penampilannya sangat sederhana terpancar keayuan dan kelembutan. Tutur katanya pun halus dan sopan, sehingga tak terkesan dia perempuan jalang.

Tapi perempuan muda inilah yang telah merebut mas Bambang, suamiku. Ya! Dia telah memikat hati suamiku, sehingga laki-laki yang sudah beranak dua itu lupa diri. Aku tak tahu, siapa diantara mereka yang lebih dulu memulai merayu sehingga tercipta hubungan gelap itu. Yang jelas, mereka telah mengkhianati aku. Mereka membokong aku dari belakang.

Mungkin seumur hidup aku tidak akan pernah tahu tindakan suamiku yang bermain api di belakangku, andai saja perempuan ini tidak datang kepadaku dan mengakui bahwa dirinya telah dinikahi mas Bambang setahun lalu. Aku sendiri heran, kenapa perempuan muda ini nekad menemuiku? Dia menceburkan dirinya ke sarang macan. Namun dia punya alasan kuat atas tindakannya ini.

Kedatangannya ke sini tak lain hendak menuntut pertanggung jawaban suamiku. Sudah berkali-kali dia menghubungi mas Bambang, tapi laki-laki itu selalu menghindar. Ibarat pepatah habis manis sepah dibuang, mas Bambang telah mencampakkannya setelah menikmati manis madunya. Kenyataan itulah yang mendorong Sari, demikian nama perempuan itu, nekad menemuiku. Tanpa ragu dan takut lagi, dia menceritakan apa yang terjadi.

“Saya tahu, ibu pasti sangat shock dan sakit hati atas kenyataan ini. Tapi kebenaran ini harus diungkap. Saya tak bisa selamanya hidup dalam kebohongan. Saya pun tak ingin dianggap perusak rumah tangga orang. Saya menikah dengan mas Bambang secara sah. Kami menikah di depan penghulu. Mas Bambang mengaku kalau dirinya masih bujang. Jadi tak ada alasan bagi saya dan orangtua saya menolaknya. Apalagi saat itu mas Bambang berperilaku baik dan berjanji akan mengayomi saya…,” tutur Sari dengan suara tenang.

Bencana ini berawal dua tahun silam. Saat itu mas Bambang mendapat tugas ke daerah pelosok sebagai tenaga pengajar. Waktu itu aku dan anak-anak tak bisa ikut, karena situasi yang tak memungkinkan. Aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku sementara anak-anak tak mau pindah sekolah. Akhirnya, kami harus hidup terpisah selama dua tahun.

Mas Bambang pulang seminggu sekali menengok kami yang tinggal di kota. Tapi pernah sampai tiga bulan mas Bambang tidak pulang. Aku sendiri tidak curiga atau menaruh prasangka buruk. Aku percaya mas Bambang akan menjaga kesetiaannya. Aku tak menyadari bila hati mas Bambang yang kesepian di tempat terpencil itu telah tertambat pada seorang gadis desa!

Ketika mas Bambang kembali dimutasi ke kota, aku merasa sangat senang. Kami bisa berkumpul lagi seperti sedia kala. Saat itu aku tak menaruh curiga sama sekali bila suamiku kembali dalam keadaan tidak utuh. Sebagian hatinya telah diberikan pada perempuan lain. Aku tak tahu, apakah aku harus marah, kecewa, sedih, atau bagaimana setelah mendengar pengakuan Sari.

Selama ini bahtera perkawinan yang kami arungi berjalan lancar tanpa pernah ada badai yang mengoyak. Aku mencintai suamiku, begitu pun sebaliknya. Apalagi setelah kami dikaruniai dua orang anak yang manis-manis. Kebahagiaan hidup kami rasanya telah sempurna. Mas Bambang orangnya baik, pendiam, lembut, dan tak pernah menyakiti hati istri maupun anak-anaknya. Banyak perempuan yang iri kepadaku.

Tapi sekarang, dengan kenyataan pahit ini, semua keindahan dalam kehidupan rumah tangga kami seolah sirna seketika. Mukaku seperti tertampar keras. Aku tak tahu, bagaimana harus menyembunyikan aib yang memalukan ini. Bagaimana perasaan anak-anakku bila mengetahui ayah yang mereka puja selama ini menyimpan kebusukan?

Aku sebenarnya ingin marah dan mencakar muka perempuan ini, tapi aku mencoba menahan diri. Aku tidak ingin terlihat kampungan dan merendahkan diriku sendiri bila berbuat seperti itu. Kemarahanku tidak akan merubah apa yang telah terjadi. Lagi pula, kesalahan ini tidak mutlak terletak pada Sari. Kulihat ia pun memendam beban yang berat. Ekspresi wajahnya menyimpan penderitaan!

“Maaf, Bu. Kedatangan saya ke sini bukan untuk mengacaukan kehidupan keluarga ibu. Saya hanya ingin menuntut hak saya. Sudah lima bulan lebih mas Bambang tidak menafkahi saya. Apalagi sekarang saya sudah mengandung. Saya tahu, mas Bambang tidak mau mengakui pernikahan kami karena dia terganjal oleh peraturan di kantornya. Dia juga tidak ingin meninggalkan keluarganya. Tapi bukan itu yang saya tuntut, Bu. Jika sekiranya mas Bambang tidak ingin meneruskan pernikahan kami, dia harus menceraikan saya secara baik-baik. Dia harus memenuhi kewajibannya terhadap saya dan calon anaknya ini. Saya tidak ingin hidup terombang-ambing. Orang-orang di kampung banyak yang mencemooh dan mencibir saya, karena saya hidup tanpa suami. Hal itu sudah cukup membuat saya menderita….,” lanjut Sari dengan suara serak.

Ia seperti ingin menangis, tapi ditahannya sehingga tampak memerah pipi dan kupingnya. Aku tertegun.

Entah kenapa, tiba-tiba kemarahan yang tadi membara dalam dadaku mendadak luruh. Pengakuan Sari yang dituturkan dengan polos membuka pintu kesadaran dalam diriku. Bisa kupahami apa yang dirasakan Sari. Sebagai sesama perempuan aku tahu, bagaimana pedihnya hati disakiti dan dikhianati. Aku mencoba berpikir jernih dan berdiri dalam posisi seperti Sari.

Mungkin Sari hanya sekadar sebagai korban. Seperti halnya diriku, dia telah dikadalin oleh mas Bambang. Dia telah tertipu oleh pesona mas Bambang. Seharusnya mas Bambang tahu kalau dirinya sudah berkeluarga. Kenapa dia nekad menikahi Sari? Apa pun alasannya, mas Bambang telah berbuat salah. Dia telah mengkhianati istri dan anak-anaknya.

“Apakah kamu mencintai mas Bambang?” Tiba-tiba aku melontarkan pertanyaan itu pada Sari.

Perempuan itu mendongak, sejenak memandangku penuh kegalauan. Dia lalu menundukkan kembali kepalanya. Dengan agak ragu-ragu ia berkata, “Ya, Bu. Saya mencintainya. Tapi….”

“Tapi kenapa?” kejarku.

“Saya tahu, mas Bambang sangat mencintai keluarganya. Mas Bambang juga sangat mencintai ibu. Saya tidak ingin merusak kebahagiaan orang lain. Demi keutuhan dan kebahagiaan keluarga ibu, saya rela berpisah dengan mas Bambang. Saya berjanji tidak akan mendatangi ibu lagi setelah mas Bambang menyelesaikan urusannya dengan saya. Setelah ini saya akan hidup sendiri sambil merawat anak dalam kandungan ini…”

Aku tercenung. Perempuan ini tampak begitu tegar. Ia rela berpisah dengan orang yang dicintai. Aku tahu, mungkin akan sangat berat baginya hidup sendirian menanggung beban seorang anak. Apalagi dia hanya perempuan desa miskin yang tak memiliki penghasilan. Haruskah aku mengalah, karena aku sendiri tak sanggup hidup berbagi dengan perempuan lain? Tapi… ah, begitu peliknya persoalan ini!

“Baiklah. Kamu boleh pulang. Nanti aku yang akan bicara dengan mas Bambang. Aku akan membujuknya,” kataku akhirnya.

“Terima kasih, Bu.”

Perempuan itu lalu pergi dari hadapanku. Hatiku seperti disiram jarum gerimis.
***

Ketika aku bertemu dengan suamiku di rumah, hati ini tidak karuan rasanya. Ingin sekali aku melampiaskan emosi kemarahan yang meluap-luap, namun aku berusaha menahan diri. Aku tak ingin menimbulkan kehebohan di rumah. Aku tak ingin anak-anakku tahu tentang apa yang terjadi. Jiwa mereka masih terlalu rapuh untuk menerima kenyataan pahit ini. Aku harus menjaga perasaan mereka.

Maka, sambil menekan perasaan yang penuh lebam, aku mengajak bicara suamiku di dalam kamar. Tanpa basa-basi aku menceritakan tentang kedatangan Sari. Suamiku tampak terkejut. Dia menundukkan kepalanya, tak berani menatapku. Selama aku mengatakan apa yang kudengar dari Sari, tak sekalipun mas Bambang membantahnya. Hal ini makin menguatkan keyakinanku bahwa apa yang dikatakan Sari benar. Luka dalam hatiku semakin menganga!

“Sekarang mas boleh pilih. Antara aku atau dia!” ujarku akhirnya memberi ultimatum.

Tiba-tiba mas Bambang bersimpuh di bawah kakiku sembari memohon.

“Maafkan aku, Yan. Semua ini terjadi karena kekhilafanku. Tak sedikit pun ada maksud hatiku ingin mengkhianatimu. Aku sangat mencintaimu, Yan. Aku mencintai anak-anak. Aku tak ingin berpisah dengan kalian,” tuturnya terbata-bata.

“Tapi bagaimana dengan nasib Sari dan bayi yang dikandungnya? Apakah mas ingin mengabaikan tanggung jawab pada mereka?”

“Aku akan menceraikan Sari, Yan. Aku lebih memilih kamu dan anak-anak!”

Aku tersenyum sinis. “Laki-laki memang egois dan ingin menangnya sendiri! Begitu mudahnya mas mempermainkan hati perempuan. Tidakkah mas sadar, tindakan mas meninggalkan Sari dan anak dalam kandungannya juga sangat menyakitkan? Tidakkah mas berpikir bagaimana kehidupan mereka nanti? Mas sungguh tidak adil! Mas hanya ingin mencari enaknya sendiri. Setelah mas mengecap manis madu Sari sebagai gadis desa dan menanamkan benih di rahimnya, sekarang mas tinggalkan dia begitu saja. Mas tidak punya rasa tanggung jawab sama sekali!” kecamku.

“Lalu, aku harus bagaimana, Yan? Bukankah kau suruh aku untuk memilih?” tukas mas Bambang tampak bingung.

Aku diam sebentar sambil menggigit bibirku dan menahan lahar yang hendak menjebol dinding ketegaranku. Dengan menarik satu napas dalam, aku kemudian berkata, “Ceraikan aku, Mas!”

“Apa???” Mas Bambang tersentak kaget.

“Ceraikan aku. Titik!” tandasku.
Mas Bambang mendesah panjang sambil menggeleng. Kulihat bola matanya berkaca-kaca. Pecah menjadi beling menancap dalam batinku. Perih!
***

Aku sudah pikirkan matang-matang ketika memutuskan untuk bercerai dari mas Bambang. Meski pahit, tapi ini adalah harga yang harus ditebus atas semua yang terjadi. Aku tahu, ini sangat berat. Bukan untuk hatiku sendiri, tapi juga anak-anak. Aku tak peduli, orang akan menganggap aku terlalu emosional dan tidak memikirkan perkembangan jiwa serta masa depan anak-anakku. Justru aku ingin melatih anak-anakku untuk menerima kenyataan pahit ini. Mereka mesti tahu, bahwa hidup ini tidak selamanya mulus dan berisi keindahan.

Lebih baik mereka mengecap buah pahit kehidupan dari pada harus hidup dalam bayang-bayang kepalsuan dan kebobrokan. Agar mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang lebih kuat dan tegar. Tidak lemah dan cengeng menghadapi badai atau prahara. Apalah artinya mereka hidup utuh sebagai sebuah keluarga, tapi di balik itu ada kebobrokan yang tersimpan. Aku tidak bisa hidup berpura-pura, menganggap seolah tidak terjadi apa-apa.

Mungkin ada solusi yang lebih fair, aku berbagi suami dengan Sari demi menjaga keutuhan keluargaku. Karena hal itu diperbolehkan oleh agama. Tapi sekali lagi, hatiku tak sanggup melakukannya. Bukan aku tak mau berkorban, tapi kurasakan hal itu hanya akan memperbesar beban dalam hatiku. Aku tak sanggup hidup dengan bayangan perempuan lain dalam pelukan suamiku. Lagi pula aku tak yakin, mas Bambang bisa bersikap adil untuk membagi cinta dan perhatiannya!

Selama ini aku sudah mampu hidup mandiri, tanpa bergantung pada suami. Aku punya pekerjaan dan sanggup menghidupi anak-anakku, meski tanpa suami. Jadi tak ada masalah jika aku harus berpisah dengan mas Bambang. Justru aku ingin memberikan kesempatan mas Bambang untuk menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada Sari dan bayi yang dikandungnya. Mereka lebih membutuhkan kehadiran mas Bambang dari pada diriku! (*)

Tidak ada komentar: